Sebuah Pengalaman Pribadi

Dalam waktu satu tahunan ini, saya menyaksikan dari dekat denyut salah satu kota tersibuk di dunia: New York, Amerika Serikat. Dengan populasi lebih dari delapan juta, New York selain kota yang begitu besar dan padat, jugalah kota yang paling beragam. Semua bangsa ada di sini, semua warna kulit, semua rupa rambut, dan semua macam bahasa. Ada.

Kota yang biasa disebut sebagai Big Apple ini, adalah kota yang terkenal sebagai kota berbiaya hidup termahal di Amerika Serikat, kota dengan transportasi umum terbaik, juga kota dengan iklim kebebasan yang secara kasat mata bisa dilihat di mana saja. Bebas berbicara, bebas berpikir dan mengeluarkan pendapat, bebas beragama (ataupun tidak), dan bebas berekspresi, termasuk di dalamnya adalah kebebasan berbusana. Yang terakhir ini sudah terasa begitu lumrah hingga dianggap sebagai hiburan, atau sebentuk kreasi pribadi yang patut dihormati. Sebagaimana semua orang menyaksikan dengan antusias Parade Gay di sepanjang Fifth Avenue, memotret riang kaum gay yang melenggang dengan satu atau dua helai benang saja di badan. Tidak ada yang akan meributkan hal ini apalagi sampai membuat para anggota dewan merasa perlu bertindak dengan mengeluarkan aturan-aturan berbusana. Di bawah label: pornografi.Sesuatu yang saat ini sedang terjadi di tanah air.

Tak ada yang sebetulnya jauh berbeda antara busana para New Yorker dengan busana yang dipakai kaum perempuan di Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, misalnya. Sama-sama senang dengan berbagai model busana terbaru. Sama-sama berani memakainya dengan sepenuh jiwa dan raga. Sama-sama nyaman memamerkan pusar atau sebagian pinggul yang kelebihan lemak dengan memakai celana hipster. Senang menyembulkan sebagian (besar) belahan dada, atau memakai pakaian ketat hingga yang tampak adalah cetak biru tubuh asli si pemakai busana. Dari dulu itu sudah terjadi di depan mata. Menjadi pemandangan sehari-hari tanpa harus jadi kecemasan tersendiri.

Saya terheran-heran: Ada apakah yang terjadi dengan mata orang-orang di Indonesia saat ini?

Di New York, soal berbusana bukan merupakan persoalan besar dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun sering saya melihat perempuan berpakaian minim, tidak demikian halnya saat musim dingin tiba. Baik lelaki terutama perempuan, sudah berbusana dengan style yang diperuntukkan untuk musim itu. Serba tertutup dan berlapis-lapis, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Itupun tak luput dari yang namanya model busana. Dari yang basic (asal menutupi badan dan melindungi dingin), sampai yang ketat dan berumbai-rumbai. Disini, orang begitu peduli dengan gaya, atau style, atau model busana. Maka para disainer pakaian tak hanya piawai memproduksi model bikini, namun juga pakaian musim dingin. Kita baru akan melihat tubuh-tubuh minim busana secara bebas pada musim semi dan terutama musim panas. Jika di Indonesia kita baru bisa melihat bule berbikini di pantai Sanur Bali, atau di Pulau Bunaken, Sulawesi Utara, maka di New York, pada musim panas, pemandangan seperti itu bisa kita lihat di taman kota.

Datanglah ke Central Park, sebuah taman kota terbesar di New York, dan Anda akan melihat perempuan berbikini yang sedang berbaring menjemur kulit di bawah terik mentari yang panas menyengat.Pemandangan itulah yang saya lihat ketika bersantai di Central Park pada musim panas tahun lalu. Ada yang berjemur bersama pasangannya sambil tidur tengkurap, ada pula yang berjemur sendirian. Saya lihat, mereka ada yang benar-benar hanya berjemur , ada pula yang tampak serius membaca buku. Tidak ada yang kemudian menjadi pusing dengan pemandangan kulit-kulit yang ingin dimandikan matahari itu. Yang ada saat itu, sekelompok orang sedang bernyanyi, saya sendiri sedang asyik menyaksikan pementasan gamelan Bali yang ditingkahi dengan tarian Bali yang indah. Para penarinya, laki-perempuan, tidak hanya berasal dari Indonesia, tapi juga ada bule dan sebagian Filipino. Sementara di jalan utama di kompleks Central Park, tampak serombongan orang yang tengah melakukan jogging, sebagiannya lagi bersepeda. Semua berjalan apa adanya, tak saling peduli dan tak saling ganggu. Darimanapun asal budaya sebelumnya. Sekolot apapun awalnya.

Dampak yang saya rasakan dan lihat dari rekan sepergaulan saya yang multikultural itu, memang beragam. Tapi, paling jauh hanya omongan personal. Teman saya Miguel, asal Ekuador, misalnya, ketika melihat perempuan berpakaian mini, matanya mengerling sambil tersenyum-senyum. Sesekali ia bersiul pelan, nyaris tak terdengar. Lain lagi dengan Abdul, yang dari Pakistan, pura-pura tak melihat tak pula tersenyum. Andrew yang asal Filipina, cuek saja. Atau Budatsir dari India, yang terpaku kaku melihat pameran lekuk tubuh itu.

Bagaimana reaksi Anda jika melihat adegan cium yang panas di depan mata? Saya pernah melihat orang saling berciuman mesra di sebuah mall besar di daerah Jakarta Selatan. Tidak ada yang meributkan adegan itu. Sebagian saya lihat menjadi jengah sendiri. Tapi tidak ada yang kemudian datang ke tempat itu dan menegur si pelaku adegan cium itu untuk berhenti. “Sirik tanda tak mampu,” begitu kata istri saya iseng jika benar ada petugas yang datang menegur. Sama seperti halnya orang-orang saat melihat sepasang kekasih berciuman panas di atas sebuah kursi taman Bryant Park, salah satu taman yang sering dijadikan sebagai tempat peragaan busana para disainer di seluruh dunia. Saya adalah salah satu saksi adegan panas ciuman di Bryant Park. Tepatnya ketika saya dipotret untuk kebutuhan buku terbitan yayasan Pantau. Semeter dari tempat saya dipotret, adegan itu berlangsung beriringan dengan komando visualisasi dari Rohana, juru potret saya.

“Apakah mereka tak takut ditangkap polisi atau petugas penjaga taman?” iseng-iseng saya bertanya pada sang fotografer bule itu.

“Tidak, kecuali kalau mereka sudah sampai pada berhubungan seksual di tempat itu,” jawabnya singkat.

Kedengarannya memang begitu bebas ya, tetapi tidak demikian. Kota besar seperti New York membebaskan warganya untuk berbuat apa saja, berekspresi apa saja, namun semuanya berjalan di koridor yang memiliki batas normal. Seperti apa sih yang disebut keluar dari batasan normal itu disini?

Sekali waktu, suatu pagi musim gugur, bertempat di Queens Mall, yang terletak di Woodhaven Boulevard, Queens, saya melihat seorang perempuan cantik keturunan Cina, berjalan pelan-pelan sambil mencopoti satu persatu pakaiannya. Dengan santai ia berjalan dan akhirnya berlari-lari sampai akhirnya tak ada satu helai pun benang menempel di tubuhnya. Tubuh montok dan mulusnya itu dipertontonkan dengan suka cita. Ia pun menjadi tontonan orang ramai. Sebagian orang tampak terkejut dan terhenyak. Saya sendiri tertawa tak percaya pada apa yang saya lihat. Tak berapa lama kemudian, sebuah mobil polisi mendekat. Perempuan cantik berkulit kuning itu pun segera dipakaikan jas penutup badan dan tangannya diborgol. Masyarakat sekitar tak lagi gempar. Dan perempuan tadi pun telah diamankan.

Di sini, perempuan tampaknya lebih dilindungi oleh UU ketimbang laki-laki. Suami yang memukul istrinya, entah dilaporkan entah tidak, jika ketahuan polisi, si suami bisa diajukan ke pengadilan. Tak ada alasan bahwa ini masalah pribadi atau urusan rumah tangga. Jika ada perempuan seksi lewat di depan hidung kita lalu kita bersiul dan si perempuan tersinggung, ia bisa melaporkan kita ke polisi. Dan polisi akan langsung bertindak, tanpa harus membuat perempuan si pelapor merasa malu terlebih dahulu atau keluar duit banyak untuk bisa membuat laporannya diproses. Tak ada yang porno dalam soal ini.

Porno, mengutip Romo Franz Magnis Suseno, adalah segala apa yang merendahkan manusia menjadi obyek nafsu seksual saja.

Tentu saja hal itu ada di kota sekompleks New York.

Salah satu salurannya adalah TV kabel. Bagi penggemar tontonan pornografi, televisi kabel di New York, siap memuaskan kebutuhan seksual para pemirsanya. Ada yang gratis, ada pula yang harus dibayar. Yang gratis digeber selepas jam dua belas malam hingga menjelang subuh. Kategori seks tontonan ini melebihi adegan seks Sharon Stone dan Michael Douglas dalam Basic Instinct atau Angelina Jolie dan Antonio Banderas dalam Original Sin. Untuk mencegah anak-anak menonton film gratisan ini, setiap TV Kabel selalu melengkapi penggunanya dengan pengunci channel. Hanya bisa dibuka dengan password yang diketahui oleh si pengunci (biasanya adalah orangtua atau siapapun yang merasa bertanggung jawab mengontrol konsumsi mata anak-anak usia remaja).

Sekarang, bagaimana dengan peredaran majalah yang dikategorikan porno? Di New York, seperti juga di Jakarta atau di kota-kota lainnya di Indonesia, ada banyak pedagang kaki lima yang menjual koran dan majalah. Di sini, kios-kios kecil itu bersebut Newstand. Kehadiran newstand ini hampir selalu ada di setiap sudut kota. Begitu mudah dijangkau siapa saja. Di Newstand, koran atau majalah yang dijual bervariasi. Mulai dari koran kuning hingga koran serius, dari majalah gosip hingga majalah yang isinya adalah pamer badan, seperti Maxim dan FHM.

Jika ingin melihat majalah pamer badan, tinggal datang ke 42 Street Port Authority. Tempat ini adalah salah satu spot tersibuk di New York: stasiun kereta api dan bis di New York. Di Newstand yang ada di dalam kompleks stasiun itu, kita bisa menjumpai majalah bergambar syur yang bebas dibuka. Majalah ini tidak diberi sampul, ada yang berbahasa Inggris, ada pula yang berbahasa Spanyol. Saya sempat membuka-buka majalah tersebut tapi tidak tahu apakah majalah ini dijual terbatas pada kelompok umur tertentu. Yang jelas, mayoritas para penjual itu selalu menanyai setiap orang yang membeli rokok dengan “Can I See Your ID, Please?”
Saya belum pernah mendengar pertanyaan yang sama untuk mereka yang membeli majalah seperti Maxim atau FHM yang tingkat buka-bukaanya tak sesyur Playboy atau Penthouse. Entah kenapa, saya juga tidak pernah menemui majalah Playboy atau Penthouse di setiap Newstand yang saya datangi.

Berdasarkan laporan kriminal FBI tahun 2004 yang dirilis di New York Crime Statistic 2004, statistik jenis kriminal dan kekerasan di New York sebagian besar melebihi angka statistik kriminal dan kekerasan secara nasional di Amerika, diantaranya yang menonjol adalah pembunuhan (sebanyak 570 kejadian), dan perampokan (24373 kejadian). Tapi tidak demikian halnya dengan angka pemerkosaan yang jumlah kejadiannya lebih kecil dari angka statistik kriminal dan kekerasan secara nasional di Amerika. Artinya, kebebasan berekspresi pada busana tak ada hubungannya sama sekali dengan pikiran ngeres atau naiknya birahi yang ingin saluran tak berjuntrung.

Maka, sekali lagi, saya terheran-heran dengan apa yang terjadi di tanah air tercinta. Minim busana sudah tercipta dari dulu di beberapa kota di Indonesia: Bali, atau Papua. Juga yang memasukkan unsur gaya seperti yang terjadi di beberapa kota besarnya. Berekspresi kian bebas terjadi, tanpa membuat orang menjadi huru-hara mengerem birahi. Dari dulu itu sudah terjadi di depan mata. Menjadi pemandangan sehari-hari tanpa harus jadi kecemasan tersendiri.

Jadi, ada apakah yang terjadi dengan mata orang-orang di Indonesia saat ini?

Newer Posts Older Posts Home