Bermain Tenis

Sejak dua minggu lalu, saya punya hobi baru: Bermain Tenis. Jangan banyangkan, saya bermain di stadion Flushing Meadows, yang hanya berjarak 15 menit, dari tempat saya tinggal jika menggunakan kereta api bawah tanah (subway). Flushing Meadows, terletak di daerah Flushing, adalah tempat dimana setiap tahunnya diselenggarakan kejuaraan tenis Amerika Terbuka.

Ide bermain tenis ini datang dari istri saya. Ketika itu, kami berdua hendak berbelanja ke supermarket Target. Kami berencana membeli rak buku dan topi pelindung panas. Buku sudah berserakan di mana-mana, sementara istri saya paling tak suka dengan yang namanya ketidakteraturan. Pada saat yang sama, New York sedang dilanda suhu panas tak terkira, melampaui 100 derajat Fahrenheit.

Ketika melewati taman, di daerah Elmhurst, tiba-tiba istri saya ketiban ide. “Mas, kenapa kamu nggak coba bermain tenis?” Yah, di taman itu, memang tersedia areal untuk bermain tenis, walaupun bukan lapangan tenis. Maksudnya, ada lapangan tempat orang bisa bermain tenis, dan di tengah lapangan itu, dibangun dinding beton yang cukup tinggi, yang berfungsi sebagai lawan. Jadi, kalau kita memukul bola, maka pantulannya akan sekuat bola yang kita pukul.

“Wah, seumur-umur aku nggak pernah bermain tenis.”

Permainan tenis memang sangat asing buat saya. Beda dengan tenis meja. Waktu masih di tingkat sekolah dasar, saya adalah juara kecamatan dalam olah raga ini, yang kemudian diutus untuk berlaga di tingkat kabupaten. Sayangnya kalah. Ketika menjadi penghuni penjara Kalisosok, Sidoarjo, Surabaya, antara tahun 1997-98, saya boleh bersombong ria, karena tak mendapat lawan tanding yang sepadan.

Olah raga lain yang akrab, bahkan menjadi keahlian lain saya, adalah sepak takraw. Ini permainan yang dilakukan oleh enam orang, sambil menendang bola yang terbuat dari rotan. Masing-masing tim terdiri dari tiga orang. Posisi saya dalam permainan ini, semacam striker dalam cabang sepakbola. Saya paling senang melakukan smash sambil berjumpalitan di udara.

Selain itu, bulutangkis dan terutama sepakbola, adalah kegemaran saya yang lain. Sejak mengenal Maradona, di usia tujuh tahun, saya selalu berminat terhadap olah raga terpopuler ini. Bersama sepakbola, badan ini sudah tak terhitung cacatnya: jatuh terinjak, terkilir, baku pukul di lapangan, hingga patah tulang kaki dan tangan.

“Gak masalah,” ujar istriku setengah memaksa. “Khan cuma untuk olahraga ringan,” tambahnya. “Nanti, sampai di Target, kita beli raket tenis ama bolanya, deh.”

Kalau istri sudah bicara, apalagi yang bisa menjadi argumentasi balik? Maka, ketika sampai di Target, malah yang dibeli bukannya rak buku, tapi raket dan bola tenis. Sejak itu, setiap akhir pekan, saya bersama istri bermain tenis bersama.

Bermain tenis, ternyata bukan permainan yang mudah. Bahkan sangat menguras tenaga. Semula, ketika memegang raket pertama kalinya, saya coba membayangkan diri sebagai Michael Chang, jawara tenis Amerika keturunan Cina. Setelah satu dua kali memukul bola dan berlari ke sana ke mari, saya akhirnya menghapus bayangan Chang dari pikiran saya.

“Makanya aku tak mau menganggap diriku sebagai Maria Sarapova,” ujar istriku sambil tertawa ngeledek.

Karena permainan ini dilakukan di ruang publik, maka rumus yang berlaku adalah “siapa cepat dia dapat.” Jika Anda telat datang di lapangan, maka harus siap-siap untuk sabar menunggu. Tak ada aturan bahwa setiap orang hanya boleh bermain satu jam atau dua jam. Saya, misalnya, baru berhenti kalau benar-benar napas sudah sampai di tenggorokan, dan kaki sudah tidak bisa diajak berlari.

Hari ini, saya datang ke lapangan pukul 5 pagi.

Newer Posts Older Posts Home