MLM


Penghujung Desember 2006. New York (NY) sudah memasuki musim dingin. Tapi, salju belum lagi turun. Orang-orang membicarakan, inilah untuk kali kedua sejak 1930an, musim dingin datang sepoi-sepoi. Udara NY, lagi tak beraturan. Kadang panas, kadang dingin, sebentar berangin, sebentar hujan. Hari ini pakai baju hangat, besoknya sudah pakai kaos oblong.

Suatu hari, menjelang senja, saya lagi berjalan santai di 39st, 7Av. Ini adalah area yang merupakan jantung kota Manhattan. Walaupun lagi musim dingin, Manhattan tetap penuh sesak dengan gerombolan orang. Trotoar yang lebarnya dua meter, seperti tak sanggup menahan hentakan ribuan pasang sepatu. Mendadak seorang perempuan muda cantik berkulit kuning, dengan mengenakan blazer dan celana panjang hitam, menghampiri saya. Saya pikir ia keturunan Cina, dan umurnya saya taksir lebih dari 17 tapi, kurang dari 25.

“Excuse me sir. Would you like to join us?”

“I am sorry, what is this about?”

“We are from an electronic company, still new and now expanding. Our branches are in Mexico and Puerto Rico. We sold home telephone.”

“How to join with you?” Saya pura-pura tertarik.

“You just give me your ID, your credit card, and $400.”

“Ok let me think about it. Do you have a telephone number?”

“Sure, my cellphone is xxx.”

“Thanks. I’ll call you once I have decision about it.”

Saya lantas beranjak dari sana. Belum lagi jauh kaki ini melangkah, seorang lelaki muda, dengan berjas dan berdasi bergerak mendekati saya. Sama seperti perempuan tadi, ia menawarkan peluang bisnis pada saya. Ia katakan, jika bergabung dengan kelompoknya, saya tak perlu kerja keras, cukup dengan merekrut sebanyak mungkin orang ke dalam bisnis ini, saya akan menerima kiriman uang secara reguler ke rekening saya setiap minggunya. Di bisnis ini, saya akan menjadi bos buat diri saya sendiri.

“Oh, rupanya aku lagi jadi target rekrutmen toh.”

Saya mulai sadar kalau bisnis yang dimaksud adalah bisnis dengan pola multi level marketing (MLM).

Pertemuan ini menghela ingatan saya ke masa-masa menjelang akhir kuliah, sekira 15 tahun silam. Tepatnya pada 1992. Saat itu, saya lagi bersiap menyusun skripsi guna meraih gelar sarjana strata satu, di Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado.

Pada mulanya, semua berjalan seperti apa adanya. Memasuki semester VIII, saya mengajukan usul rencana penelitian ke pimpinan jurusan sosial ekonomi. Setelah usul penelitian saya diterima, pimpinan jurusan menetapkan tim dosen pembimbing. Seingat saya, dosen pembimbing saya tiga orang. Salah satunya adalah Enci Masie, dosen yang terkenal paling killer di jurusan kami. Tapi, dia bukan ketua tim pembimbing. Puji Tuhan. Ketuanya adalah seorang dosen perempuan yang barusan merampungkan studi masternya di Amerika Serikat.

Enci ketua pembimbing ini, pada dasarnya peramah. Bicaranya halus, suka tersenyum, dan bisa dikontak kapan saja. Tak banyak neko-neko, istilahnya. Tapi, yang jadi soal, enci ketua pembimbing ini punya bisnis sampingan. Apalagi kalau bukan bisnis MLM. Dan skornya pun sudah lumayan tinggi. Bisnis berantai ini menjual beragam produk Amway. Dari sabun mandi hingga minyak wangi.

Saya sendiri, sangat tidak tertarik dengan bisnis ini. “I am not a sales person.” Saya tak pandai promosi, tak pintar meyakinkan orang untuk membuka dompetnya. Lagi pula, saya tengah tergila-gila pada aktivitas di organisasi ekstra kampus.

Ketidakpedulian ini, rupanya berdampak pada penyusunan skripsi. Setiap kali bertemu untuk konsultasi dengan enci, obrolan kami didominasi oleh cerita sukses pebisnis MLM. Persis seperti ketika saya diajak oleh perempuan cantik di 34st, enci ini bercerita bahwa dalam bisnis ini, yang utama bukanlah kuantitas barang yang dijual. Tapi, seberapa banyak kita bisa merekrut orang. Toh setiap anak baru, harus membeli minimal satu produk.

"Kamu jangan melewatkan kesempatan emas ini." Ia lalu menawarkan saya ikut seminar di sebuah hotel terkenal di Manado.

“Di sana nanti akan ada kesaksian dari mereka-mereka yang telah sukses di bisnis ini. Ada yang melancong dengan gratis ke Yunani, ada pula yang mendapatkan hadiah mobil.”

Sejauh itu, hati saya tidak tergerak sesentipun untuk memenuhi undangannya. Namun, skripsi tak kunjung selesai. Setiap kali konsultasi, setiap kali itu pula saya harus memperbaiki laporan penelitian saya. Tanda tangan enci ketua, tak kunjung berlabuh di lembaran kertas penelitian. Padahal, tanda tangan itu adalah syarat mutlak untuk ujian. Celakanya, saya tak bisa mendesak, memaksa, apalagi protes. Di Unsrat, ketika itu, sekali anda bermasalah dengan dosen, itu adalah jalan tol untuk merengkuh gelar MA (mahasiswa abadi).

Sementara waktu terus berlalu, 1993 sudah tertinggal di belakang. Jika dihitung dari saat pertama kali masuk kuliah pada 1988, lalu kuliah kerja nyata (KKN) pada akhir 1991, mestinya pada 2003 saya sudah kelar kuliah.

Semula, saya tak berpikir ada hubungan positif antara tanda tangan dengan bisnis MLM. Saya mulai gelisah. Jangan-jangan memang ada hubungan. Tapi, bisa jadi karena kualitas laporan penelitian saya masih berantakan. Satu tahun tanpa hasil, bukan waktu yang singkat buat saya dan terutama, keluarga. Satu per satu teman saya telah menggelar pesta siram air kotor, pertanda telah lulus. Beberapa teman menganjurkan agar saya ikut saja bisnis MLM itu.

“Pura-pura iko jo, yang penting ngana dapa itu tanda tangan.”

Berat saya menerima usulan itu. Tapi, untuk terus membayar Rp. 150 ribu per bulan, hanya untuk biaya kos-kosan, bukan perkara kecil. Belum lagi tetangga di kampung yang terus bertanya, “kapan si Coen kelar kuliah?”

Saya tak punya pilihan. Ajakan tidak langsung bisnis MLM saya terima. Namun, saya tak pernah ikut seminarnya. Saya malas mendengar kesaksian. Dan benar saja, pada awal 1994, saya memperoleh tanda tangan, sebagai tiket masuk ke ruang sidang senat fakultas. Pada bulan Juni 1994, saya dinyatakan lulus dan berhak menggondol gelar sarjana peternakan.

Tak lama kemudian, saya menulis surat ke Boroko,

“Papi dan Mami yang tercinta, anakda sudah lulus kuliah. Bersiap-siaplah untuk datang ke Manado, ikut acara wisuda. Pake baju yang rapi ya.”

Dua Film

Boleh dibilang, saya seorang pecandu film. Saya benar-benar ketagihan dengan gambar hidup ini. Semuanya bermula, dari Boroko, desa terpencil, tempat saya pertama kali menangis di dunia ini.

Kira-kira itu terjadi pada dekade 1970an. Suatu malam, kami sekeluarga datang ke lapangan sepakbola yang terletak di pusat desa. Malam itu, saya kira, seluruh warga kampung tumpah-ruah di lapangan besar itu. Kami semua, warga kampung, dari kakek-nenek hingga cucu-cucu, duduk beralas daun pisang menonton film hitam-putih dari layar tancap, yang diputar oleh sebuah perusahaan obat Bodrex. Saya ingat, malam itu, ada dua film yang diputar. Satu film koboi, satu film silat.

Sejak malam itu, saya telah jatuh hati pada hiburan ini. Tetapi, hiburan dari Bodrex, tak setiap tahun datang. Boroko, tetaplah desa tertutup: tak ada generator apalagi televisi. Radio menjadi sumber berita, cerita, dan lagu. Pada 1985, saya hijrah ke Kotamobagu, ibukota kabupaten Bolaang Mongondow. Di kota ini, (ketika jalan darat masih darurat) menghabiskan waktu sehari perjalanan mobil, saya menempuh pendidikan menengah atas.

Di Kotamobagu-lah, saya kembali menikmati gambar hidup. Gratis pula. Kebetulan, paman saya dari pihak ibu, Paade Mat, adalah penjaga keamanan di salah satu bioskop terbesar di kota itu. Kalau tak salah ingat, Totabuan, nama bioskop itu. Dari Paade Mat, setiap minggu saya dapat dua karcis gratis. Free pass, istilahnya. Dan setiap dua hari, di bioskop Totabuan, pasti nongol film baru. Dari film India, Kungfu Cina, hingga film-film nasional.

Selama tiga tahun tinggal di Kotamobagu, hobi saya menonton film betul-betul terpuaskan. Aktor-aktor seperti Amitah Bachan, Ti Lung, Brigitte Lin Ching Shia, atau Roy Marten, adalah bintang-bintang yang saya hapal di luar kepala. Saya kira, masa-masa itu, masa keemasan industri perbioskopan. Dan masa dimana dua kali seminggu masuk bioskop, tinggal kenangan ketika saya harus angkat kaki dari Kotamobagu. Di Manado, tak ada lagi free pass. Kesibukan kuliah dan organisasi, memaksa saya untuk masuk bioskop pada saat-saat istimewa saja.

Lebih-lebih setelah tinggal di Jakarta, penghujung tahun 1990an. Masuk bioskop, sungguh telah menjadi sebuah kemewahan. Hobi saya pada gambar hidup ini baru kembali tersalurkan, ketika saya menjadi kontributor majalah Pantau. Suatu hari, saya menerima segepok uang sangat besar dari Pantau, sebagai honor atas dimuatnya tulisan saya. Dari uang itu, saya belanja tivi dan dvd player. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Jakarta lagi booming dvd bajakan. Jalan Sabang dan WTC Kuningan, adalah dua tempat yang mesti saya kunjungi setiap minggunya.

Ketika kemudian kaki ini menginjak tanah New York, hobi menonton tak juga berkurang. Setiap akhir pekan, saya dan istri punya dua jadwal rutin. Toko buku dan bioskop. Jika film yang kami tonton sangat berkesan, kami akan mengoleksinya dalam bentuk dvd. Minggu ini tak ada film yang cukup menarik untuk ditonton. Tapi tak apa. Kami adalah salah satu pelanggan di dua buah toko penyewaan dvd. Pada Jumat kemarin, kami menyewa tiga film. Saya milih film laga Hollywood. “Behind Enemy Lines II Axis of Evil,” judulnya. Saya pilih film ini, karena sekuel pertamanya telah saya tonton. Sekalian pikir saya.

“Kamu benar-benar mau nonton film itu?” tanya istri saya ketika sedang berjalan ke arah kasir.

Setelah mandi dan makan malam, saya mulai memutar film itu. Istri saya tak ikut, dia tidak berselera dengan film begituan. Dia sedang menunggu gilirannya untuk memutar “Traffic.” Bagi saya, menonton film lebih banyak sebagai pelepas lelah. Tetapi, “Behind Enemy Lines II,” benar-benar membuat saya lelah. Ini film propaganda, saya tahu itu sejak tangan ini menyentuhnya pertama kali. Toh saya juga menikmati “Rambo” atau “The Taylor of Panama.”

“Film bodoh, konyol, bikin tambah capek.”

Istri saya hanya bisa tersenyum. Saya jadinya males nonton “Traffic,” padahal saya ingin menyaksikan aksi dari Benicio del Toro.

Hari sabtu, istri saya mengajak cuci mata di toko buku Borders, yang terletak di 34 Street, salah satu dari area yang disebut sebagai jantungnya kota Manhattan. Baru sekitar enam bulan Borders nongol di sana.

“Aku mau beli ‘American History X’ dan ‘The Illusionist.”

Istri saya ingin mengoleksi dan melihat lagi akting Edward Norton. Di rak kecil kami, si Norton ini udah ada beberapa biji.

“Yuk nonton ‘American History X.’ Aku jamin kamu senang deh. “

Benar juga. Kesebelan yang sangat pada “Behind Enemy Lines II,” mencair. Edward Norton dan jalinan cerita yang disuguhkannya, membuat saya terpaku. Saya baru kembali tertawa lebar, ketika mendadak ada suara “Kembali ke Laptop.”

Newer Posts Older Posts Home