Bersepeda

Dalam dua minggu terakhir ini, saya aktif sekali bersepeda di jalanan kota New York. Saya sangat bergairah melakukannya: memacu kencang laju sepeda sebelum lampu hijau berubah kuning; menyelip di antara deru mesin mobil yang tak pernah henti berseliweran, lalu melepas lelah di bawah rimbunan pohon nan lebat.

Ya, jalanan kota NY mengingatkan saya akan Jakarta plus. Padat tapi tidak macet. Ketika masih bemotor ria di Jakarta, untuk menghindari hantu kemacetan, saya sering sekali melaju di atas trotoar. Di sini juga demikian, saya suka bersepeda di trotoar untuk menghindari serempetan mobil yang melaju kencang. Tapi, jangan harap anda menemukan motor melaju di trotoar.

Bersepeda mengingatkan saya akan masa kanak-kanak dulu. Ceritanya, sejak masuk bangku sekolah dasar, ketahuan kalau saya tak bisa menulis dengan tangan kanan. Orang tua saya heboh, guru-guru tercinta saya juga panik. Kok bisa anak ini menulis dengan tangan “kotor?”

“Tangan kiri itu dipake untuk cebok, bukan untuk menulis apalagi makan,” ujar ibu tercinta saya.

Maka dimulailah sebuah proyek untuk menghancurkan kebiasaan saya yang jelek itu. Di sekolah, guru-guru saya, terutama almarhumah enci Masita, menyuruh saya untuk menduduki tangan kiri saya setiap hari. Kalau ketahuan melanggar perintahnya, kuping saya pasti dikoleto (dicubit) hingga memerah. Dari hari ke hari, proyek itu terus berlangsung. Tapi, tampaknya akan berujung gagal. Si kanan ini tak juga menampakkan tanda-tanda kemajuan.

Akhirnya, semua pada menyerah. Ada kompromi memang. Makan harus pake tangan kanan.

Hingga tiba saatnya, saya dipersilahkan ayah untuk belajar mengendarai sepeda. Kalau tak salah, saat itu saya duduk di bangku kelas empat SD. Oh ya, ayah saya adalah seorang pencinta sepeda luar biasa. Ia bisa tak peduli pada anaknya yang berlumuran debu tapi, tidak dengan sepeda ontel tercintanya. Setiap hari ia melap sepedanya, hingga sepeda itu tetap nampak baru.

Rupanya, belajar bersepeda tak sesulit belajar menggunakan tangan kanan. Dari hari ke hari tampak kemajuan yang nyata. Hingga suatu hari saya ingin pamer pada keluarga. Dengan penuh percaya diri, saya melaju di depan rumah, Mungkin saking PD-nya, saya tak melihat ada kayu melintang di jalanan. Dan bruuk. Saya meringis kesakitan tapi, malu untuk menangis.

Ibu saya tergopoh-gopoh datang dari dapur. Kalau sang ibu sudah mendekat, baru saya mengeluh kalau tangan kanan saya tertimpa setang.

“Mami, sakit sekali.”

Ibu saya panik bukan main. Apalagi tangan yang tak bisa menulis dan dipake makan ini mulai membengkak perlahan-lahan.

“Papi Is (panggilan ibu saya untuk suaminya), cepat panggil Mai Anice (tukang urut paling terkenal di seantero kampung).”

Tapi sayanya yang tak mau diurut. Saya menolak keras, sakitnya minta ampun. Apalagi mai Anice terkenal sebagai tukang pijat yang aneh. Ada banyak cerita beredar, jika ada orang yang kaki atau tangannya patah, agar bisa disambung lagi seperti semula, oleh mai Anice tangan atau kaki itu sebelumnya dipatahinnya seutuhnya. Hanya dengan begitu baru bisa disambung lagi.

“Ngeri khan?

Tapi, dari hari ke hari bengkak di tangan makin membubung. Sakitnya juga makin parah. Saya tak bisa lagi meluruskan si kanan, apalagi menggerakkannya. Maka mai Anice tak bisa lagi ditolak.

Orang tua tinggi besar berkopiah hitam itu pun datang. Ia duduk di depan saya, mulutnya komat-kamit. Tangannya lalu mengambil segelas air putih dan membilaskannya perlahan ke tangan saya. Pelan-pelan ia mengurut si kanan, sakit memang. Tapi, tangan saya tak dipatahkannya seperti kata cerita. Saya meringis kesakitan, membenamkan kepala saya di punggung ayah. Hingga akhirnya prosesi itu usai.

Saya merasa ada kelegaan yang sangat. Dan perlahan-lahan, si kanan mulai bisa digerakkan dan diluruskan. Walaupun tak lagi utuh seperti semula.

"Terima kasih mai Anice, semoga Allah SWT membalas budi baikmu."

Ajaibnya, usai kejadian itu, si kanan ini bisa difungsikan untuk menulis, sementara si kiri menjadi tertatih-tatih. Maka dimulailah pembagian kerja yang unik. Untuk yang berat-berat, saya menggunakan tangan kiri. Sementara untuk menulis dan merangkai sesuatu, saya menggunakan tangan kanan. Di meja makan, jika menggunakan sendok dan garpu, yang kiri pasti memegang sendok dan garpu di tangan kanan. Tapi, jika makan menggunakan tangan, maka yang kiri pasti kehilangan akal. Mestinya disuapin ke mulut malah nyasar ke hidung.

Bersepeda, memang sungguh menggairahkan.***

Gambar diambil di sini

Newer Posts Older Posts Home