tag:blogger.com,1999:blog-341443672024-02-20T14:15:29.334-08:00Coen Husain PontohUnknownnoreply@blogger.comBlogger17125tag:blogger.com,1999:blog-34144367.post-90980598215010211682008-04-17T09:35:00.000-07:002008-04-17T09:42:08.426-07:00Bertemu Kawan LamaDALAM satu minggu terakhir ini, saya merasakan kebahagiaan yang sangat. Saya bertemu muka dengan kawan lama, Eri Sutrisno. Mas Eri, demikian saya menyapanya, adalah kawan lama saya ketika masih aktif sebagai kontributor majalah Pantau, sekira tahun 2001 hingga 2003. <br /><br />Selain ketemu Eri, saya juga ketemu pak RTS Masli. Pak Masli, secara personal adalah orang asing buat saya. Saya tak pernah kenal sebelumnya, juga tak pernah bertemu muka. Saya hanya mengetahui pak Masli dari jaringan surat elektronik Pantau, bahwa pak Masli, kini terlibat dalam organisasi Pantau. <span class="fullpost"><br /><br />Jadi, ketemu Eri maupun pak Masli, bagi saya ibarat ketemu kawan lama. Saya ketemu Eri pada hari Sabtu malam dan berlanjut hingga Minggu, sedangkan dengan pak Masli, keesokan harinya. Saya mengajak Eri menghabiskan setengah malam di jalan-jalan kota Manhattan, terutama yang dikenal sebagai the earth of Manhattan yakni, dari 34 St, hingga 47 St.<br /><br />Dengan iklim yang mulai cerah seperti sekarang ini, jantung kota Manhattan tak pernah sepi pengunjung. Pejalan kaki berdesakkan, sepanjang malam kota terang-benderang di penuhi lampu-lampu yang dipancarkan dari papan reklame dan penerang jalan. Saya melihat Eri asyik dengan kamera digitalnya, ia mengarahkannya ke tempat-tempat yang dikiranya menarik. Di tempat-tempat tertentu, saya memotretnya.<br /><br />Tak terasa, malam telah lewat. Saatnya pulang. Sial, kereta yang menuju ke arah hotel penginapan Eri tak beroperasi. “Ada perbaikan jalur,” begitu bunyi pengumuman. Jadi, saya terpaksa harus mengambil jalur yang berpindah-pindah. Jadinya, kami harus naik turun tangga, melewati lorang-lorang kereta bawah tanah, berpindah dari satu kereta ke kereta lainnya. Tak jarang, kami salah jalan, sehingga harus bertanya sana-sini.<br /><br />“Orang di sini lebih ramah dari orang di Jakarta,” begitu komentar Eri.<br /><br />“Lho kenapa begitu?”<br /><br />“Kalo di Jakarta kamu nanya sana-sini, orang langsung ngerti kamu orang baru. Bukannya ditunjukin jalan, malah bisa-bisa kamu di gertak.”<br /><br />Saya teringat ketika dulu masih indekos di Manado, dekade 80an. Kalau pulang malam dan tersesat, jangan coba-coba bertanya pada orang-orang yang lagi cangkringan di pinggir jalan. Bisa dikerjain.<br /><br />“Pokoknya jalan trus, pura-pura sok tahu,” begitu pesan teman saya. <br /><br />Keesokan hari, bersama dengan pak Kusoy, yang menjadi pemandu Eri selama di Amerika, kami berkeliling Manhattan, menggunakan bis wisata. Dari Midtown, melaju ke Down Town. Pak Kusoy dan Eri ingin berkunjung ke Patung Liberty yang terkenal itu. Tapi, hari ini agak dingin, sementara antrean untuk naik Feri begitu panjang. Saya lihat Eri gemetaran, rupanya ia tidak mempersiapkan pakaian musim dingin. Kasihan, ia tersiksa sekali. Saya usul agar ia beli topi kupluk dan sarun tangan. <br /><br />Seperti dengan Eri, saya juga mengajak pak Masli jalan-jalan di Times Square. Pak Masli sangat senang jalan. Pertama kali, kami minum-minum di Rockefeller Center. Pak Masli orang yang hobi ngobrol. Ia cerita apa saja, mulai dari kegiatannya selama di Amerika, kondisi tanah air yang carut-marut, Jakarta yang berantakan, hingga kebanggaannya menjadi bagian dari komunitas Pantau.<br /><br />“Setelah lima belas tahun lalu, ini kali kedua saya datang ke Amerika,” ujarnya ketika dalam perjalanan menunju ke China Town.<br /><br />Ya, pak Masli ingin makan yang pedas-pedas. Ia minta diantar ke restoran Thailand. Dan China Town adalah salah satu jawabannya. Kami makan sup Tom Yam, ikan goreng dan sayur tahu. Lahap sekali.<br /><br />Tetapi, perjumpaan saya dengan kawan lama juga terjadi di dunia maya. Di blog saya yang lain, coenpontoh.wordpress.com, seseorang yang bernama Uchelee atau Ucili, meinggalkan pesan. Saya lihat Ucili, punya blog, langsung saja saya berselancar ke sana. <br /><br />Ucili adalah nama panggilan dari Rusdi Djalil. Ia adalah kawan lama saya, sewaktu kuliah di Manado. Kami, saat itu sama-sama aktivis, Ucili di Forum Komunikasi Mahasiswa Muslim (FKMM) Manado, dan saya di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Manado. Melihat blognya Ucili, saya jadi ingat masa lalu, seorang teman yang kumal dan lusuh tapi, lucu sekali. Jangan kaget, jika Ucili kini adalah ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Halmahera, yang heboh itu.<br /><br />Ingat Ucili, ingat Katamsi Ginano. Ini dua orang yang selalu bersama. Beberapa waktu lalu, saya berkorespondensi dengannya. Katamsi boleh dibilang adalah mentornya Ucili di bidang jurnalistik. Dan seperti Ucili, Katamsi orang “gila.” Penampilannya amburadul, setiap kata yang meluncur dari lidahnya tajam seperti mata pedang. Ia juga tangkas dalam berdebat, tanpa kenal lelah. <br /><br />Saya dengar kini Katamsi bekerja di PT Newmont, salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia. Jika ini benar, saya kira para aktivis anti tambang, harus menyiapkan segudang peluru untuk “bertengkar” dengan Katamsi. Tetapi, saya punya rahasia untuk meredamnya, hehehehehe.***<br /><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-34144367.post-22371836514462957812008-04-10T22:43:00.000-07:002008-04-10T22:54:44.886-07:00I Love SummerHARI ini, mestinya saya berangkat ke Long Island, salah satu kota di New York. Lagi dalam perjalanan menuju kereta api bawah tanah, mendadak teman saya telpon, katanya, pelesiran ke Long Island batal. Ya sudah.<br /><br />Kadung ke luar rumah, saya malas balik pulang. Saya telpon istri saya, mengajaknya jalan-jalan.<br /><br />“Honey, jalan yuk, matahari terang-benderang nih?” <br /><br />“Wah aku nggak bisa ninggalin kantor, pekerjaan lagi bertumpuk. Belum lagi bos leletnya kambuh. Tapi, aku pingin jalan bareng dirimu, gimana ya?”<br /><br />“Nggak tau. Terserah lo, cuman aku mau pergi ke Union Square.”<br /><br />“Ah, neyesel deh nggak bisa ikut. Pergi sendiri nggak apa-apa khan?”<span class="fullpost"><br /><br />Lalu, saya naik kereta R dengan tujuan Union Square yang terletak di 14 Street, Manhattan. Kereta R adalah kereta lokal. Saya sebenarnya bisa ambil jalur cepat, misalnya, naik kereta E atau F tapi, dengan kereta R begitu keluar dari pintu bawah tanah, saya langsung berada di depan taman di Union Square.<br /><br />Taman ini, tidak terlalu besar tapi, ramai sekali. Kalau musim panas (<span style="font-style: italic;">summer</span>), taman ini adalah salah satu taman tersibuk di Manhattan. Ada banyak sekali kegiatan di sini. Dan benar saja. Begitu kepala saya menyongsong matahari, segera terdengar suara orang berbicara melalui pengeras suara. Saya terus melangkah. Tujuan pertama, apalagi kalau bukan toko buku Strand. Ini toko buku yang mengklaim dirinya sebagai toko buku bekas terbesar di Amerika Serikat.<br /><br />Biasanya, di toko buku ini, saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam, membolak-balik halaman buku yang menarik minat saya, sekaligus <span style="font-style: italic;">ngecek</span> harganya. Maklum, hehehehe. Tapi, hari ini saya hanya melelahkan mata saya di lembaran buku, saya lagi tak ada niatan untuk belanja. Ada sekitar dua jam saya di dalam Strand.<br /><br />Capek berdiri, saya melangkah ke luar. Perut sudah mulai keroncongan. Saya mau beli makanan kecil di pinggir jalan, untuk kemudian duduk-duduk di taman. Tapi, begitu ke luar dari Strand, di depan pintu ada begitu banyak orang berkerumun. Ada apa? Ada bom kah?<br /><br />Rasa penasaran membimbing langkah kaki saya. Di luar tampak berjejaran seperangkat kamera. Beberapa orang sibuk mengatur peralatan.<br /><br />“<span style="font-style: italic;">Can you move over there, please?</span>” ujar seseorang dengan penuh sopan santun.<br /><br />Saya pun beranjak ke seberang jalan. Dari seberang ini, kerumun orang makin berjejal. Dari bisik-bisik, saya tahu kalau lagi ada pengambilan gambar untuk pembuatan film. Seorang wanita dengan membawa beberapa alat rias, mendekati seorang wanita lain. Seketika, tangannya berayun pelan, membelai-belai wajah cantik, yang berdiri di samping tokok buku itu.<br /><br />Kerumunan ini mengingatkan saya, ketika dulu masih jadi kontributor majalah <span style="font-style: italic;">Pantau</span>. Saat itu, untuk kepentingan penulisan sosok Raam Punjabi, saya datang ke lokasi syuting salah satu sinetron produksi Multivision, milik Raam. Tempat pengambilan gambar sinetron yang dibintangi Tamara Bleszynski dan Anjasmara itu, berlokasi di salah satu perkampungan warga Betawi. Dan sama seperti di New York, saat itu ada begitu banyak orang menonton di lokasi syuting.<br /><br />“<span style="font-style: italic;">Excuse me, who is the actrees</span>?”<br /><br />“Amy Adams,” ujar seorang perempuan cantik bertampang Asia di samping saya. Amy Adams, adalah artis yang bermain bersama Leonardo DiCaprio dan Tom Hanks (ini salah satu bintang favorit istri saya), dalam film <span style="font-style: italic;">Catch Me If You Can</span>. Di film itu, ia berperan sebagai istrinya Leo.<br /><br />Lagi asyik menonton Amy Adams nan cantik, keroncongan di perut makin ramai. Mau tak mau saya mesti beli sesuatu untuk menjinakkannya. Setelah memegang sepotong roti dan satu botol plastik air mineral, saya pun menuju ke taman. Matahari sudah separuuh lebih perjalanan. Hari masing terang-benderang tapi, panas tak terasa.<br /><br />Saya pun mendudukkan diri di undakan. Samping kiri-kanan saya orang-orang juga lagi pada mengunyah sesuatu. Sambil menyantap roti, mata saya jelalatan. Begitu ramai tempat ini, begitu banyak aktivitas. Seorang lelaki berpakaian norak berkacamata buram, asyik memegang kuas. Ia tampaknya seorang pelukis. Sebentar-sebentar kepalanya mendongak, matanya tajam memandang sesuatu, sejurus kemudian tangannya mulai menari-nari.<br /><br />“Hmmm, saya mau lihat lukisannya.”<br /><br />Lagi asyik mengunyah, tiba-tiba di depan saya seorang lelaki tua dengan pakaian tak kalah noraknya, sambil menjinjing tas plastik putih dan bantal guling, menjatuhkan diri di depan saya. Ia berguling seenaknya. Kami yang duduk di situ saling berpandangan sejenak. Ini orang baunya busuk minta ampun. Di Amerika, orang beginian di sebut <span style="font-style: italic;">Homeless</span>, orang pemalas segalanya: malas mandi, malas ganti baju, malas kerja, dst. Kerjanya tidur saja. Tapi, kita tak bisa mengganggu mereka, walaupun jelas-jelas kita merasa terganggu dengan kehadirannya.<br /><br />Saatnya saya pergi. Saya mendatangi si lelaki yang lagi asyik melukis. Wooow keren sekali lukisannya. Rupanya ia tengah melukis taman itu lengkap pepohonan dan bangunan-bangunan yang mengitarinya. Di sampingnya, berdiri tenda-tenda kecil berlogo ASPCA (The American Society for The Prevention of Cruelty Animals). Kayaknya organisasi ini lagi punya hajatan. Mereka membagi-bagi popcorn gratis. Saya tentu tak mau ketinggalan.<br /><br />Agak ke bagian tengah taman, bunyi musik mulai nyaring terdengar. Rupanya ada band rock n’ Roll, yang lagi mentas, memeriahkan kegiatannya ASPCA. Saya pun mendekat. Dan luar biasa. Mereka bermain dengan sangat baik: penabuh drumnya hebat, gitar melodinya wuihh, basnya juga, apalagi yang di saksafon. Mereka silih berganti menyanyikan lagu-lagu cadas, yang membetot tidak hanya saya tapi, juga penonton yang berjubel. Saya betah berdiri berjam-jam, terpesona dengannya.<br /><br />Di tengah kenikmatan itu, hp saya bergetar. Rupanya istri tercinta lagi mau bicara.<br /><br />“Kok belum pulang? Acaranya asyik ya?”<br /><br />“Sorry, keasyikan nonton,” ujar saya sambil berjalan ke stasion kereta api bawah tanah.<br /><br />Dalam kereta, saya merasakan betapa besarnya manfaat dari taman, sebagai ruang publik. Dan di New York, taman seperti di Union Square, berserakan di berbagai tempat. Dan menjelang musim panas seperti sekarang, ada begitu banyak aktivitas yang bisa membuat urat tegang kita mencair.<br /><br /><span style="font-style: italic;">I Love Summer.***</span><br /><br /><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-34144367.post-5531746453145158342008-04-01T17:52:00.000-07:002008-04-06T01:32:57.183-07:00Diskusi Kuba Dengan Nezar PatriaBeberapa waktu yang lalu, satu peristiwa politik menarik, terjadi di Kuba. Sebabnya, adalah mundurnya Fidel Castro dari pucuk tertinggi pemerintahan negeri penghasil cerutu itu. Pengunduran diri Castro yang berkuasa hampir 50 tahun lamanya itu, tentu saja menarik perhatian banyak pihak di seluruh dunia. Bagaimana masa depan sosialisme di Kuba, mampukah Kuba bertahan dari perang ekonomi yang dilancarkan Amerika beserta sekutunya, apakah akan terjadi kegoncangan politik pasca Castro?<span class="fullpost"><br /><br />Semua pertanyaan itu melahirkan beragam penafsiran. Hal yang sama tak luput dari seorang Nezar Patria, salah satu wartawan muda majalah Tempo, paling berbakat saat ini. Nezar kebetulan membuat laporan khusus untuk Tempo, berkaitan dengan pergantian kekuasaan dari Castro ke adiknya Raul Castro. Laporan Nezar itulah yang kemudian menjadi bahan diskusi kami. Perlu saya kemukakan di sini, laporan soal Kuba juga muncul di media lain, seperti Kompas. Tapi, saya secara khusus menanggapi laporan Nezar, karena Nezar adalah kawan lama saya.<br /><br />Kami, dulu, di masa kediktatoran rejim Orde Baru, sama-sama aktif di organisasi Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Di organisasi ini, Nezar adalah senior saya, ia menempati posisi sebagai sekretaris jenderal SMID pusat, sementara saya adalah ketua departemen pendidikan dan propaganda SMID cabang Manado. Di SMID, Nezar dikenal sebagai seorang teoritikus dan organisatoris yang mumpuni dan tak banyak bicara. Di tangannya, kendali organisasi SMID berjalan secara rapi.<br /><br />Di masa-masa akhir kekuasaan Soeharto, Nezar, yang akrab dipanggil Inez, ini menjadi salah satu korban penculikan yang selamat. Setelah reformasi berlangsung, Nezar memilih karir sebagai wartawan. Dan saya kira, dengan pengetahuan dan pengalamannya, tak heran jika cepat menjadi bintang di Tempo.<br /><br />Berdiskusi dengan Nezar (melalui jaringan surat elektronik atau milis IndoPROGRSS), membuat saya terkenang dengan masa lalu, yang kerjanya adalah diskusi, rapat, mengorganisir, dan merancang aksi jalanan.<br /><br />Berikut ini jalannya diskusi tersebut:<br /><br />==============<br /><span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Tempo</span>, Edisi. 01/XXXVII/25 Februari - 02 Maret 2008<br />Luar Negeri<br /><br /><span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">Bulan di Atas Kuba</span><br /><br />Setelah hampir separuh abad berkuasa, Fidel Castro akhirnya mundur.<br />Pemimpin baru di persimpangan jalan. Jenderal Raul Castro, adik Fidel, salah satu calon penggantinya.<br /><br />TAK ada yang abadi. Begitu juga penguasa Kuba Fidel Castro dan kekuasaannya. "El Comandante"-begitu Castro disebut-membuat pernyataan penting pada Selasa pekan lalu: dia tak mau lagi dipilih sebagai Presiden Kuba pada sidang Majelis Nasional. Berita itu dirilis lewat situs berita resmi milik Partai Komunis Kuba, Digital Granma Internacional. "Saya tak akan menerima posisi sebagai Presiden Dewan Negara dan Panglima Militer," tulis Castro. Sidang majelis dilangsungkan Selasa pekan ini.<br /><br />Sejak pertengahan 2006, Castro sakit dan harus operasi di bagian perut. Sejak itu dia tak pernah lagi tampil di depan umum. Tak jelas apa penyakitnya, hanya disebut-sebut dia mengalami pendarahan usus. Itu tampaknya menjadi alasan mundur. Meski tak lagi berpidato, dia masih kerap tampil di televisi serta pada sejumlah foto resmi.<br /><br />Lelaki berjanggut yang badannya berayun-ayun ketika berpidato itu kini lebih banyak melakukan "refleksi dan meditasi". Sejak pekan lalu, setiap hari ada satu tulisannya di situs Granma. Refleksi Fidel mencakup soal politik, ekonomi, dan ideologi. Terakhir, misalnya, dia menulis tentang politik Amerika lewat lima seri tulisan. Meski kini hanya menulis, Fidel mengatakan tak akan meninggalkan politik. "Ini bukan ucapan selamat tinggal," ujarnya. Dia ingin tetap berjuang sebagai prajurit. Bukan prajurit bersenjata, tapi prajurit ide.<br /><br />Reaksi pertama tentu datang dari Presiden Amerika Serikat, musuh tradisional Fidel. Saat George W. Bush berkunjung ke Rwanda dan lima negara Afrika lain pekan lalu, ia ingin ada transisi demokratik di Kuba. "Bukan sekadar suksesi di dalam kediktatoran," ujarnya. Tentu ucapan itu sudah kerap didengar Fidel dari mulut Presiden Amerika.<br /><br />Sejak berkuasa, Fidel menyaksikan sepuluh Presiden AS naik-turun ke Gedung Putih. Pada 1959, lelaki yang lahir di Biran, Kuba Timur, itu memimpin 800 personel, mengalahkan 30 ribu prajurit diktator Fulgencio Batista. Setelah melancarkan gerilya, dia menduduki Havana, mengusir Batista, lalu menjadi legenda. Pemberontakan itu semula didukung Amerika, belakangan Fidel menyatakan pemberontakan itu sebagai kemenangan komunisme.<br /><br />Sejak itu, Amerika yang merasa tertipu mencoba menjatuhkan Fidel. Embargo ekonomi dilancarkan, tetapi "El Comandante" bertahan dengan merapat ke Uni Soviet. Lalu, berbagai upaya pembunuhan atas dirinya diorganisir CIA, termasuk peristiwa Teluk Babi pada 1961. Semua gagal dan hanya membuat dia kian membenarkan sikap menindas "elemen kapitalisme dan imperialisme" di Kuba. Ujungnya, Fidel Castro menjadi diktator.<br /><br />Tekanan Amerika juga membuat Kuba harus mencari akal untuk bertahan. Mungkin itu sebabnya Fidel Castro tetap menggenjot ideologi komunisme. Lihatlah di Calle Obispo, sepotong jalan di kawasan kolonial Old Havana. Ada plakat besar tertempel di museum Komite Pertahanan Revolusi, organisasi warga yang dibentuk Fidel pada 1960. Museum itu baru didirikan tahun lalu. Plakatnya berbunyi: Sr Bush: este pueblo no puede ser enganado ni comprado (Tuan Bush, rakyat kami tak bisa ditipu atau dibeli). Di dinding terpatri pidato-pidato Fidel dan jumlah anggota Komite, yang sampai 2007 mencapai 8,4 juta dari 11 juta warga Kuba.<br /><br />Setelah Uni Soviet bubar, Kuba memang kerepotan. Ekonominya menciut 35 persen sepanjang 1989-1993. Banyak yang menduga Kuba bakal runtuh, toh negeri cerutu itu bertahan. Fidel segera menyatakan "periode khusus" ketika Kuba boleh menerima modal asing, mempromosikan turisme, terutama hotel, pertambangan nikel, telekomunikasi, dan minyak bumi. Ekonomi sedikit membaik, tapi Fidel terpaksa menghentikannya pada 1996. Akibat modal masuk itu, ada jurang pendapatan di tengah rakyat.<br /><br />Dibanding Cina dan Vietnam, dua negara komunis yang melaju setelah mencangkok kapitalisme, Kuba memang lebih lambat. Untunglah ada Hugo Chavez, pemimpin Venezuela, yang mengidolakan Fidel. Venezuela lalu ibarat Uni Soviet bagi Kuba. Keduanya melakukan ekonomi barter. Chavez meminta 20 ribu dokter, guru olahraga, dan ahli keamanan dari Kuba untuk bekerja di negerinya. Sebagai balasan, Venezuela mengucurkan minyak sejumlah 92 ribu barel per hari ke Kuba, dan menyetor US$ 800 juta pada 2006, dan US$ 1,5 juta (setara Rp 14 miliar) pada 2007.<br /><br />Berkat Venezuela, ekonomi Kuba kembali bergerak. Negeri itu bisa punya energi listrik lumayan baik. Apalagi, ketika bantuan kredit dari Cina datang. Kuba mengganti armada bus reot mereka dengan buatan Cina yang lebih hemat bahan bakar. Meski begitu, negara itu masih terbebat problem pendapatan rendah. Biaya hidup pun melangit.<br /><br />Gaji seorang buruh pabrik, misalnya, berkisar 400 peso. Dokter? Jangan kaget, hanya 700 peso. Angka itu pun kalau ditukar ke dolar di pasar gelap hanya berkisar US$ 17-30 (setara Rp 150-180 ribu). Peso hanya cocok membeli sembako bersubsidi. Setiap bulan, lewat Komite Pertahanan Revolusi, warga dijatah 2,25 kilo beras per orang. Ditambah setengah liter minyak goreng. Kalau stok lagi ada, warga bisa kebagian kedelai, gula, sardin, daging, sabun dan pasta gigi. Ini semua cuma bisa bertahan sepekan.<br /><br />Meski begitu, soal kesehatan dan pendidikan, Kuba boleh menepuk dada. Mereka bisa menggratiskan rumah sakit dan sekolah, tetapi ada masalah besar juga. Dengan ekonomi morat-marit, sekolah kini kekurangan guru. Banyak tenaga pengajar pindah ke sektor turisme. Di sektor itu duit lebih menjanjikan. Soal fasilitas kesehatan pun kini terancam gawat. Gedung rumah sakit banyak yang lapuk. Peralatan medis dan obat pun terbatas.<br /><br />Banyak pengamat mengatakan, jika Fidel mundur, maka Kuba bakal berubah. Namun, jika Raul Castro, 76 tahun, yang menggantikannya maka perubahan mungkin tak terlalu besar. Raul adalah adik kandung Fidel, kini adalah pejabat presiden, sejak sang abang absen 19 bulan karena sakit. Dia juga Menteri Pertahanan. Meski dikenal pragmatis, Raul adalah motor dari Partai Komunis Kuba. Pada Juli lalu dia berjanji membuat "perubahan struktural dan konseptual", tapi belum begitu jelas ke mana arah ekonomi dan politik Kuba nanti.<br /><br />Jika Raul tidak naik, calon kedua menjadi penting. Namanya Carlos Lage, anggota Politbiro dan Ketua Dewan Menteri Negara. Umurnya 51 tahun. Artinya, ketika Fidel dan kawan-kawannya menggulingkan Batista, dia baru tiga tahun. Karena itu, Lage termasuk generasi muda yang tak terkait pengalaman politik kaum tua. Sebagai penasihat ekonomi Fidel, dia diharapkan menjadi motor perubahan.<br /><br />Sejak Raul Castro pegang kendali, politik Kuba sedikit lebih lega. Para seniman dan penulis agak relatif bebas. Raul juga pernah minta maaf kepada bekas pejabat yang terkena "revolusi kebudayaan" pada 1970-an. Tapi, memang, kritik hanya boleh dilakukan terbatas. Warga boleh menghujat isu ekonomi, dan korupsi birokrasi. Soal politik belum boleh disentil. "Kalau kami bicara jelek soal Fidel, kami bisa di penjara," ujar Rodrigo, warga Havana.<br /><br />Fidel dan revolusi Kuba kini berada di persimpangan. Rakyat akan mencatat dia sebagai pemimpin setia kepada revolusi. Dia bukan pemimpin korup dan kaya-raya seperti diktator lain. Fidel adalah pemimpin yang tak bisa berpisah dari rakyat, seperti cintanya kepada revolusi. Dan, revolusi baginya tak lain adalah pengabdian absolut memenuhi kebutuhan rakyat.<br /><br />Suatu kali, setahun setelah menggulingkan diktator Batista pada 1959, filsuf dan sastrawan Prancis Jean-Paul Sartre bertandang ke Kuba. Perjalanan itu akhirnya dibukukan dalam Sartre on Cuba, yang terbit sekitar 1961. Di sana, terekam satu dialog menarik antara Fidel dan filsuf eksistensialisme itu. Sartre bertanya, apakah Fidel akan memenuhi semua permintaan rakyat?<br /><br />+ "Ya, karena semua permintaan merefleksikan kebutuhan."<br /><br />- "Bagaimana jika mereka meminta bulan?"<br /><br />Fidel terdiam. Dia mengisap cerutunya dalam-dalam.<br /><br />+ "Kalau itu mereka minta, berarti rakyat memang membutuhkannya."<br /><br />Fidel baru saja menyatakan "pensiun" pekan lalu. Mungkin, dia mengingat kembali dialog setengah abad lampau. Seperti bulan, kebutuhan rakyat kini tampak terang: perubahan di Kuba.<br /><br />Nezar Patria (Granma, Economist)<br />---------------<br /><br />Re: [IndoProgress] <span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">Nezar Patria-Bulan di Atas Kuba: a critique</span><br /><br />Dear all,<br /><br />Membaca laporan Nezar ini, aku seperti membaca laporan media-media kapitalis liberal, tentang peralihan kekuasaan di Kuba. Media seperti The Independent atau Guardian banyak menulis, bahwa perubahan yang kini terjadi di Kuba, belumlah seperti yang diinginkan.<br /><br />Coba baca tulisan Rory Carroll di the <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Guardian</span> pada 25 February, <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">"The dearth of suspense underscored the authorities' tight control over the island and its 11 million people, many of whom hanker for relief from poverty harsher than that experienced in eastern Europe before the fall of the Berlin wall."</span><br /><br />Media-media ini juga menilai peralihan kekuasaan di Kuba tak lebih seperti peralihan kekuasaan di sebuah kerajaan, atau khas seperti peralihan kekuasaan di Korsel. Mereka menghendaki peralihan kekuasaan berlangsung secara "normal" dan "damai."<br /><br />Kita tentu saja mahfum argumen seperti ini sangatlah politis, tidak ilmiah. Dimanapun, jika terjadi peralihan kekuasan yang damai, rejim baru tentu berusaha melanjutkan kebijakan rejim lama. Coba lihat dari rejim Clinton yang demokrat ke rejim Bush yang Neocon, keduanya sama-sama agresor dan menjalankan kebijakan ekonomi yang sama: neoliberal. Atau peralihan kekuasaan dari Tony Blair ke Gordon Brown, apa perbedaan signifikannya? Juga dari Gus Dur ke Megawati lantas ke SBY, beda substansialnya apa?<br /><br />Kecuali perubahan kekuasaan itu berlangsung radikal seperti dari Orde Soekarno ke Orde Soeharto, jelas ada perubahan kebijakan yang juga radikal. Atau dari Batista ke Castro.<br /><br />Nezar juga menulis bahwa setelah berkuasa, Castro kemudian menjadi diktator. Patut ditanyakan, dalam pengertian seperti apa kata Diktator yang dimaksud Nezar? Kalau menggunakan teori pembagian kekuasaan atas tiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, maka benar bahwa Castro berkuasa secara diktator. Tapi, Kuba memang tidak mengadopsi demokrasi liberal, apalagi jika itu bermakna <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">the way of American politics</span>.<br /><br />Saya pernah menulis agak panjang soal demokrasi di Kuba ini di Jurnal terbitan insist Yogyakarta pada 2005, di mana saya menunjukkan bahwa partisipasi rakyat dalam setiap jenjang pemilihan umum di Kuba sangatlah tinggi. Dan mereka yang terpilih dalam Pemilu, tidak selalu merupakan calon dari Partai Komunis Kuba.<br /><br />Selain itu, Nezar menulis bahwa hubungan antara Venezuela dan Kuba ibarat hubungan antara Uni Sovyet dan Kuba. "Venezuela lalu seperti ibarat Sovyet kedua bagi Kuba," tulisanya. Aah, tentu ini pengibaratan yang berlebihan. Dalam kasus hubungan Kuba-Sovyet, posisi Kuba adalah subordinat, sementara dalam hubungan Kuba-Venezuela, hubungan keduanya adalah setara. Secara politik bahkan keduanya sangatlah berbeda, walaupun Chavez merupakan pengagum Castro.<br /><br />Di bagian lain, Nezar menulis bahwa Kritik hanya boleh dilakukan secara terbatas dan para seniman dan penulis baru merasa lebih bebas ketika Raul Castro menjabat sebagai acting president. Nezar mungkin kekurangan informasi. Dari segi penerbitan buku, misalnya, Kuba sangatlah produktif. Kita ambil contoh sejak dimulainya pelaksanaan Festival Buku pada 1982, selalu diramaikan oleh besarnya animo penerbit dan pengunjung. Pada pelaksanaan Cuban Book Fair yang ke-17 tahun ini, misalnya, jumlah penerbit yang berpartisipasi sebanyak 145 dimana 90 di antaranya berasal dari luar negeri. Coba bandingkan dengan jumlah partisipan penerbitan buku di Indonesia.<br /><br />Mau tahu berapa jumlah buku yang terbit setiap tahun di Kuba? Pada masa krisis ekonomi tahun 1990an, jumlah buku yang terbit "cuma" 50 juta eksemplar. Kini berdasarkan laporan Cuban Books Institute, jumlah buku yang terbit pasca krisis hanya bertambah "sedikit" menjadi 60 juta eksemplar. Cuban Institute sendiri tahun ini hanya bisa menjual buku lebih dari 8 juta eksemplar. Dari segi topik, kecuali buku-buku mesum, hampir semua buku ilmiah yang terbit di Barat bisa di jumpai di Kuba.<br /><br />Setelah memuji soal prestasi Kuba di bidang pendidikan dan kesehatan, Nezar menulis bahwa jumlah guru di Kuba semakin berkurang. Masak iya? Hingga kini, Kuba adalah negara dengan jumlah guru terbesar di Amerika Latin. Dari segi komposisi jumlah guru-murid, untuk tingkat sekolah dasar dari setiap 20 murid dilayani oleh satu orang pengajar. Untuk tingkat sekolah menengah, satu orang pengajar melayani 15 murid. Bahkan, di negara seperti AS, komposisi seperti ini tak akan bisa ditemukan.<br /><br />Lalu soal gedung-gedung rumah sakit yang lapuk dan peralatan yang terbatas. Nezar melupakan satu hal, bahwa selama lebih dari 40 tahun Kuba diembargo secara ekonomi oleh AS untuk semua bidang, termasuk fasilitas medis. Tapi, kalau Nezar pernah menonton film Sicko karya Michael Moore, tentu Nezar bisa melihat dengan jelas betapa fasilitas kedokteran di Kuba yang masih diembargo itu, sangatlah modern. Lebih dari itu, gedung rumah sakit yang megah, bukan ukuran yang akurat bagi kelayakan pelayanan medis. Indonesia tentu contoh terbaik soal ini.<br /><br />Lantas soal gaji yang cekak. Bung Nezar, orang memburu uang setinggi-tingginya, karena takut akan resiko yang mengancam masa depan hidupnya. Takut, jika ia sakit tak mampu membiayai pengobatannya, takut jika anaknya gede tak mampu menyekolahkan karena biaya pendidikan yang melangit, atau takut jika ia tak mampu membeli barang-barang luks seperti mobil, baju-baju mewah, emas perhiasan, yang merupakan simbol jati diri kemodernan. Tapi, jika pendidikan gratis, kesehatan gratis, dan simbol kemodernan adalah solidaritas, empati, dan kejujuran, lantas buat apa memburu harta bertumpuk?<br /><br />Pada akhirnya, terima kasih untuk laporan Nezar ini. Saya kira, ini laporan tentang Kuba yang relatif berimbang. Dan kini, Raul Castro telah resmi menjadi presiden Kuba, tanpa arak-arak panser dan demonstrasi massa yang brutal.<br /><br />-C<br />-----------------<br /><br />Re: [IndoProgress] <span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">Re: Nezar Patria-Bulan di Atas Kuba: a critique</span><br /><br />Terimakasih masukan kawan-kawan,<br /><br />Artikel itu cuma mau bilang kalau ada masalah di Kuba (aduh, masak sih Coen, aku ngomong gitu aja gak boleh hehehe). Sumber data di laporan itu adalah <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">the economist</span>, dan aku sadar sepenuh2nya kalau media itu sangat pro neolib. Tapi aku juga mengecek <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">Granma,</span> organ propaganda resmi Partai Komunis Kuba. Data ekonomi kebanyakan diakses dari the economist, tapi soal suasana hati warga kuba, aku tanya lagi ke dua orang rekan di Tempo yang pernah mengunjungi Havana beberapa waktu lalu. Menurut mereka (ah, seandainya saja aku sendiri bisa ke Havana), memang banyak tenaga pintar dan profesional tertarik menjadi pemandu wisata, dan memimpikan pekerjaan yang pantas dan berduit. Kita boleh bilang mungkin mereka terkena infeksi kapitalisme, tapi begitulah faktanya. Aku kira tak bijak juga menutup hal-hal begitu hanya kita takut 'iman' kita kepada Kuba rusak hehehe. Itu adalah kenyataan yang dilihat oleh rekan <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic; ">Tempo</span> di Havana (baca juga laporan yang menarik dalam selingan <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic; ">Tempo</span> tiga tahun lalu yang ditulis Hermien Kleden). <br /><br />Betul, banyak tenaga guru, dokter, insinyur pertanian yang jago-jago. Aku pikir inilah berkah sosialisme yang memberikan pengetahuan kepada semua orang. Tapi, ada fakta lain, bahwa ekonomi Kuba memang sedang ada problem. Sosialisme Kuba masih berjuang memncari jalan keluar. Bahkan Raul mengakui, bahwa rakyat mereka masih miskin. Aku tentu saja menghormati segala upaya Fidel untuk bertahan, dan menjadi benteng ideologi sosialisme bagi Amerika Latin, meskipun harus sesak napas karena tekanan yang besar dari Amerika Serikat dan kawan-kawan.<br /><br />Tetapi, sekali lagi, kekuatan Kuba adalah pada moralitas kepemimpinan dari <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">El Comandante</span>. Dia teladan pemimpin yang mencintai rakyat, dan mengabdikan hidupnya buat revolusi. Aku melihat dokumenter yang dibuat oleh Oliver Stone, bagaimana Fidel sangat lelah menghadapi semua tekanan itu, dan bekerja keras mempertahankan kepentingan rakyat di Kuba. Oliver Stone juga menyorot bagaimana rakyat Kuba mencintai dia. Fidel yakin komunisme masih sebagai jalan keluar, meskipun dia tak tahu apakah generasi selanjutnya akan bisa bertahan sekukuh dirinya. Jarinya bergetar meneken tumpukan dokumen dan surat2 di meja kerja yang sangat sederhana. Dia memang sudah lanjut usia. Semangat sosialisme yang membuatnya kuat, karena yakin apa yang dia buat adalah untuk kepentingan rakyat Kuba, dan bukan buat pribadinya. Fidel harus mengencangkan kendali ideologi dan politik (ini maksudku, bahwa dia menjadi diktator dalam konteks mempertahankan kepentingan rakyat Kuba), karena hanya dengan jalan itu dia bisa membersihkan pengaruh AS yang menyusup ke Kuba. Tapi, upaya itu kan juga harus kongkrit, karena toh rakyat Kuba juga tahu mereka dalam keadaan sulit dan harus kuat 'iman'nya bertahan dari gempuran kapitalisme global.<br /><br />Tentu kita senang kalau Kuba berhasil mencari jalan keluar dan merevitalisasi energi sosialisme di sana. Setidaknya, ada harapan lain yang masih mungkin, untuk hidup lebih baik dari tawaran tunggal neoliberal. Itu pula gunanya melihat dan melaporkan hal-hal yang tak menyenangkan. Bukankah kebenaran ada dimanapun juga, termasuk di tempat yang paling kotor?<br /><br />N<br />--------------<br /><br />Re: [IndoProgress] <span class="Apple-style-span" style="font-weight: bold;">Re: Nezar Patria-Bulan di Atas Kuba: a critique</span><br /><br />Nez,<br /><br />Thank's ya atas <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">reply</span>nya. Tentu saja ada problem di Kuba, dan ini bukan hal yang aneh. Kalau tak ada problem, baru itu yang benar-benar problem kkhan?<br /><br />Misalnya, secara internal soal perubahan struktur masyarakat dari sisi usia, antara mereka yang punya pengalaman langsung dengan revolusi 1959 dengan generasi baru yang tak punya sentuhan langsung. Tentu ada <span class="Apple-style-span" style="font-style: italic;">gap</span> dalam memaknai revolusi. Secara eksternal, tentu saja sikap AS dan sekutunya yang tak berubah.<br /><br />Tapi, bukan itu yang kupersoalkan dalam artikelmu itu (tentu tak perlu kuulang di sini). Dan ini tak ada hubungan dengan soal "iman," kayak Kuba itu Mekkah, hehehehe.<br /><br />Btw, dokumentari Oliver Stone itu (<a href="http://www.youtube.com/watch?v=%22WywoXMYAJLg">di sini</a>) menarik sekali memang. Sebagai penambah bumbu cerita soal Fidel, coba juga lihat film yang ini (<a href="http://www.youtube.com/watch?v=%22k1GsV9PC1yk">di sini</a>). Menurut gua, film ini menggambarkan agak lengkap soal sosok Fidel, pencapaian-pencapaiannya, dan komentar para oposan terhadapnya.<br /><br />Selamat menikmati,<br />-C<br /></span></span>Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-34144367.post-47861984712888906972007-08-21T05:13:00.000-07:002008-04-06T01:23:59.559-07:00Bakar Buku, Bakar Dunia"Buku adalah jendela dunia."<br /><br />Slogan ini saya baca pertama kali dari katalog buku penerbit Mizan, Bandung, pada awal dekade 90an. Dan saya percaya dengan slogan itu. Itu sebabnya, setiap terjadi pembakaran atas buku, saya selalu sedih dan marah. Para pejabat keji itu tak tahu, bahwa mereka tidak hanya membakar buku tapi, juga telah membakar dunia.<span class="fullpost"><br /><br />Tetapi, entah kenapa, pejabat di Indonesia, terutama birokrat hukum, selalu menempatkan diri mereka sebagai orang dungu. Mereka pikir, mereka bertindak benar, hendak melindungi rakyat dari pengaruh buruk buku "tak bermutu." Sungguh, sungguh ironis. Dan itulah yang mereka lakukan pada Juli lalu, dengan membakar buku secara massal.<br /><br />Tindakan barbar itu, tentu saja harus dilawan. Dan saya secara sadar melibatkan diri dalam barisan perlawanan itu. Di tengah-tengah situasi itu, muncul surat terbuka dari Arya Gunawan, seorang mantan wartawan BBC London, yang kini bergiat di lembaga PBB, UNESCO, Jakarta. Dalam surat terbuka itu, Arya mengatakan bahwa para penentang pembakaran buku itu, melupakan satu fakta penting bahwa Pramoedya Ananta Toer (PAT), juga pernah terlibat dalam aksi bakar buku pada dekade 1960an. Surat Arya yang menyebar ke berbagai jaringan surat elektronik (mailing list) itu, membuat saya tertegun. Apa benar PAT pernah terlibat pembakaran buku? Tapi, rupanya bukan saya saja yang mempertanyakan informasi dari Arya ini. Di berbagai milis, pertanyaan senada juga muncul.<br /><br />Saya kemudian menulis surat kepada Arya, melalui rekan saya Andreas Harsono:<br /><br /><span style="font-style: italic;">"Saya sendiri, ketika membaca info dari Arya soal Pram bakar buku, merasa ragu. Pram adalah pustakawan tersohor pada masanya, ini kata sejarawan senior Ong Hok Ham, pada saat peluncuran buku Pram "Kronik Sejarah Indonesia." Coba gimana bisa nulis Kronik, yang sumbernya dari berbagai macam aliran, kalau ia sendiri pernah bakar buku orang?</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Lalu Arya bilang, sumber datanya dari buku Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto. Bung Arya, kok bisa anda tidak kritis terhadap sumber? Soalnya, pelaku sejarah yang lain, seperti Mas Goen atau Rm. Magnis yang sangat teliti itu, masak alpa kalau Pram pernah bakar buku. Artinye, sebagai wartawan atau intelektual, anda harus kritis terhadap klaim satu pihak. Jangan terburu-buru ambil kesimpulan trus disebar-sebarin. Kayak buku "Prahara Budaya" itu kitab suci aja."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">-C</span><br />~~~~~~~~~~~~<br /><br />Surat saya ini, bersama surat-surat senada, kemudian mendapatkan tanggapan panjang lebar dari Arya Gunawan (klik di<br /><a href=" http://aryagunawan.wordpress.com/2007/08/19/tanggapan-rinci-atas-berbagai-komentar-atas-kritik-saya-atas-omission-of-facts-dalam-pernyataan-anti-bakar-buku/">sini</a>. Terhadap tanggapan Arya ini, saya memberikan tanggapan balik, sebagai berikut:<br /><br />Bung Arya,<br /><br />Saya sungguh kagum dengan militansi anda, untuk meyakinkan saya bahwa Pram memang pernah membakar buku atau paling tidak "diam" ketika ada pembakaran buku. Saya sendiri telah kehilangan militansi semacam itu. <br /><br />Sayang sekali, surat anda yang panjang lebar itu tidak membantu sama sekali dalam mendukung militansi itu. Lebih sedihnya lagi, untuk orang sekaliber anda yang luas pergaulan dan telah banyak makan asam garam dunia jurnalistik, data-data yang anda usung sebagai "fakta," sangatlah sumir. <br /><br /><span style="font-style: italic;">Pertama</span>, anda sama sekali tidak <span style="font-style: italic;">cover both sides</span> (sesuatu yang paling minimal dalam standar jurnalistik yang benar), dalam pengutipan sumber. Anda terus saja menjejalkan opini (bukan fakta keras) dari para penentang Pram dan Lekra. Anda sama sekali tidak mempertimbangkan bahwa Pram sendiri pernah membantah keterlibatannya dalam aksi bakar buku. <br /><br />Bung, pembakaran adalah kejahatan yang serius, dan anda menyulutnya menjadi kontroversi ketika melibatkan diri seorang Pram. Bagaimana mungkin anda bisa tiba pada kesimpulan bahwa Pram terlibat pembakaran buku, hanya dari satu sumber, dari mereka yang menentangnya, khususnya lagi dari "Prahara Budaya."? Tentu saja kalau anda melakukan metode cover both side, anda mesti meragukan klaim Prahara Budaya." Ditambah catatan, kontroversi itu tentu tidak otomatis selesai. Maka, anda tetap tidak boleh mengambil kesimpulan serampangan begitu. Majulah ke tahap selanjutnya, disiplin verifikasi. Kalau anda mengelak bahwa anda tidak punya cukup waktu, kenapa lantas menjatuhkan wibawa anda dengan kesimpulan mentah? <br /><br />Ah, bung Arya, militansi anda mengingatkan saya ketika baru mulai menjadi aktivis mahasiswa tahun 90an. Padahal, zaman sudah berubah, militansi saja tidak cukup bung. Ketelitian, kesabaran, kebajikan untuk membuka diri terhadap kebenaran yang lain, sungguh-sungguh lebih penting. <br /><br /><span style="font-style: italic;">Kedua</span>, anda mengutip kata-kata "pembersihan" yang ditulis oleh Pram dalam lembar budaya Lentera di koran <span style="font-style: italic;">Harian Rakyat</span> (HR) (katakanlah saya terima bahwa HR tgl 3 itu valid adanya). Dengan kata "pembersihan" itu, bung anggap Pram telah menyulut, atau memprovokasi pembakaran buku.<br /><br />Bung, lagi-lagi saya terpaksa mengatakan bahwa anda terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Anda sama sekali tidak meneliti secara seksama "politik bahasa" pada masa itu, dan dengan beraninya melakukan interpretasi dalam konteks politik bahasa kekinian, suatu tindakan yang a-historis. Anda sungguh-sungguh mengabaikan semiotika di sini. Lupakah anda, bahwa di masa itu, slogan-slogan semacam revolusi, ganyang, hancurkan, bangun lagi, kontra-revolusi, Amerika kita setrika, Inggris kita linggis, retool, oldefo-conefo, adalah bahasa yang umum dipakai semua pihak? Bahkan tentara yang paling konservatif dan reaksioner pun, memakai istilah revolusi dalam slogan-slogannya. <br /><br />Coba anda bandingkan, antara pidato atau tulisan Pram yang seperti itu, dengan pidato atau tulisan seorang Isa Anshary, tokoh Masyumi yang paling anti PKI? Sama-sama keras bung. Toh, kita tidak bisa bilang bahwa Isa Anshary terlibat pembantaian terhadap anggota atau simpatisan PKI. Iya khan? <br /><br />Dan anda juga tahu, bahasa yang lemah gemulai, tidak berarti membawa pesan damai. Mau contoh? Coba pulang sedikit ke masa Orba, dimana para pemimpin suka sekali bilang "amankan (tangkap)," "sesuaikan (naikkan harga)," "gebuk (sikat)," "pembangunan (tunduk patuh)," "anti-pembangunan (pengkhianat)," "Pancasila (dogmatisme)," dsb. <br /><br /><span style="font-style: italic;">Ketiga</span>, katakanlah Pram memang benar menulis dengan keras, sekeras-kerasnya terhadap lawan-lawan politiknya. Bung, apa yang salah dengan itu? Apa yang salah dengan polemik? Saya kasih contoh sederhana polemik yang keras: <br /><br />COEN: Arya itu provokator, ingin mengalihkan persoalan dari bakar buku.<br /><br />ARYA: Saya bukan mengalihkan persoalan, saya mengingatkan Coen agar dia jangan lupa pada sejarah. Yang provokator itu Coen. <br /><br />COEN: Kok bisa Arya terus mengelak. Dasar provokator. Sekali provokator tetap provokator. <br /><br />ARYA: Lha yang provokator itu Coen. Buktinya, ia tak juga mengerti apa maksud saya, dan terus saja menuduh saya provokator. <br /><br />Apa yang salah dengan polemik paling keras macam begini? Tentu tidak ada, paling-paling, yang membaca pada muntah. Polemik kok dangkal begitu. Menjadi soal, ketika para polemikus ini melakukan tindakan kekerasan fisik kepada lawan polemiknya. <br /><br />Nah, menurut Anda, pada saat itu siapa yang melakukan serangan fisik kepada lawan polemiknya? Mas Goen bilang bahwa beberapa aktivis Manifes Kebudayaan, dihalang-halangi kegiatannya, diberhentikan dari jabatannya, atas pengaruh atau desakan Lekra. Dari mana kita bisa memastikan bahwa memang semua tindakan pemberangusan itu adalah hasil dari pengaruh atau desakan Lekra? Yang pasti, yang menghalang-halangi itu adalah polisi. Lha, jangan juga menutup mata bahwa banyak kok aktivitas PKI yang dihalang-halangi oleh Tentara. Dan beberapa anggota Manifes punya kesaman aspirasi politik dengan tentara. <br /><br />Kalau polemik terbuka anda nilai sebagai provokasi, betapa berbahayanya. Provokasi dilakukan oleh setan jalanan, mereka yang pengecut, yang suka memancing di air keruh. Pram jauh dari itu. Dia secara terbuka mengemukakan pendapat-pendapatnya, dan tidak pernah melarang orang membantahnya. Dia tidak pernah melarang Mochtar Lubis atau Rosihan Anwar, atau Wiratmo Soekita, untuk menuliskan pendapatnya. Bahwa Pram dominan saat itu, ya karena secara politik PKI memang partai terbesar saat itu. <br /><br /><span style="font-style: italic;">Keempat</span>, bung Arya, anda terlalu berlebih-lebihan memandang pengaruh Pram terhadap organisasi PKI. Benar Pram secara individu sudah diperhitungkan kala itu tapi, suaranya sungguh tidak dominan apalagi menentukan dalam struktur pengambilan keputusan PKI. Dia juga bukan anggota PKI dan tidak duduk dalam struktur tertinggi PKI. Bahkan, di HR sendiri, Pram kalah wibawa dengan Nyoto, sang pemred yang begitu berpengaruh. <br /><br />Dalam perbandingan saat ini, Pram bukanlah kiai Hilmi yang duduk di dewan syuro PKS, yang suaranya begitu <span style="font-style: italic;">powerfull</span>. <br /><br />Sehingga ketika anda menarik kesimpulan bahwa artikel Pram di Lentera itu memberikan pengaruh besar pada tindakan aktivis PKI, anda lagi-lagi menarik kesimpulan yang prematur.***<br /></span>Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-34144367.post-42097002941431667662007-08-19T01:19:00.000-07:002008-04-06T01:24:42.371-07:00BorokoHari ini, iseng-iseng saya mencari desa saya, Boroko, di mesin pencari Google. Keisengan ini dipicu oleh rasa rindu tak terkira, sehabis membaca edisi khusus majalah <span style="font-style: italic;">Tempo</span>, menyambut 62 tahun kemerdekaan Indonesia.<span class="fullpost"><br /><br />Saya memang secara khusus memesan majalah <span style="font-style: italic;">Tempo</span> ke penjual majalah ini di New York, setelah melihat penggalan berita onlinenya. Saya ingin tahu, bagaimana liputan <span style="font-style: italic;">Tempo </span>soal era demokrasi liberal di dekade 1950an. Dan saya senang dengan edisi khusus kali ini. Dua jempol jari untuk <span style="font-style: italic;">Tempo</span>.<br /><br />Hal lain yang menarik dari edisi khusus ini, adalah berita-cum iklan menyangkut gerak “pembangunan” di beberapa daerah. Dari ujung pulau Sulawesi, muncul liputan soal propinsi Gorontalo, propinsi Sulawesi Utara, dan kotamadya Bitung. Saya agak kecewa, karena tidak menemukan liputan tentang kabupaten Bolaang Mongondow, tempat di mana desa Boroko terletak.<br /><br />Itulah sebabnya, kemudian, saya menuliskan kata Boroko di mesin pencari Google. Siapa tahu ada beritanya. Tak dinyana, begitu tombol search saya pencet, ternyata ada begitu banyak berita tentang desa tercinta saya itu. Luar biasa.<br /><br />Tiba-tiba saya merasa telah menjadi orang tua pikun, yang tak lagi mengerti tentang perkembangan zaman, karena tak sanggup lagi mengikuti derap laju informasi. Boroko ternyata telah naik pangkat kini. Ia bukan lagi menjadi ibukota kecamatan Kaidipang tapi, telah menjadi ibukota kabupaten Bolaang Mongondow Utara (disingkat Bolmut). Padahal, barusan pada Jumat kemarin, saya cerita pada istri saya, betapa Boroko, yang tepat berada di perbatasan antara propinsi Gorontalo dan Sulawesi Utara, bukan wilayah yang menarik bagi para pejabat. Ia adalah wilayah yang secara geografis jauh dari pusat kekuasaan kedua daerah tersebut.<br /><br />Membaca berita itu, saya bangunkan istri saya yang lagi tidur dengan damainya.<br /><br />“<span style="font-style: italic;">Honey, honey</span>, bangun, bangun.”<br /><br />“Ada apa?” tanyanya sambil memaksakan diri untuk membuka mata.<br /><br />“Eh, Boroko udah jadi ibukota kabupaten lho?”<br /><br />“Oh, jadi toh? Selamat ya, itu khan yang diceritakan orang-orang waktu kita pulang kampung dulu?”<br /><br />Ya, saya tentu saja ingat. Setelah reformasi, sekali dua kali saya pulang kampung, untuk menengok keluarga tercinta. Dalam masa pulang kampung itu, orang ramai berbicara tentang keinginan untuk mendirikan kabupaten baru yang terpisah dari kabupaten Bolaang Mongondow. Demam pemekaran memang tengah melanda hampir seluruh wilayah nusantara. Bahkan, kecamatan Kaidipang pun telah mekar menjadi dua, kecamatan Kaidipang dan kecamatan Kaidipang Barat. Waktu itu, kalau tidak salah, nama kabupaten baru itu sudah dicanangkan, Kabupaten Binadouw. Wilayahnya mulai dari kecamatan Sangkup, Sang Tombolang, Bintauna, Bolang Itang, Kaidipang, dan Kaidipang Barat.<br /><br />Menanggapi cerita dan aspirasi luas untuk memekarkan diri itu, saya hanya menjadi pendengar yang pasif. Saya sudah tak tahu lagi perkembangan terbaru di desa saya. Saya tak lagi mengerti komposisi kekuatan politik di sana. Secara politik, saya juga tidak tertarik dengan isu pemekaran. Tetapi, saya sangat menghargai aspirasi bapak, ibu, om, tante, saudara, dan teman main sekampung. Saya tahu persis, bagaimana wilayah Pantai Utara (sebutan lain untuk wilayah Bolaang Mongondow Utara), selalu menjadi anak tiri dari kabupaten lama.<br /><br />Dan kini, cita-cita itu telah terwujud. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2007, pada tanggal 2 Januari 2007. Dari profil daerah yang terpampang di <span style="font-style: italic;">http://www.sulut.go.id/dataweb/kabbolmut.pdf,</span> terbaca bahwa luas kabupaten baru ini adalah 1.843,92km2, terdiri atas enam kecamatan, 52 desa dan satu kelurahan, dengan jumlah penduduk mencapai 81.879 juta jiwa.<br /><br />Senangnya, saya bisa membaca Boroko dari internet. Dari berita yang saya baca di <span style="font-style: italic;">www.swarakita-manado.com,</span> dan <span style="font-style: italic;">www.hariankomentar.com,</span> pada tujuhbelasan kemarin, untuk pertama kalinya hari kemerdekaan dirayakan di ibukota kabuptan baru itu. Menurut berita, ribuan orang bergembira ria memadati upacara yang dipimpin oleh bupati H.R. Makagansa. Walaupun sederhana, upacara berlangsung khidmat. Usai upacara dilakukan tabur bunga di pelabuhan Boroko nan-indah. Tapi, itu belum cukup. Serangkaian kegiatan telah menanti: lomba olahraga, kesenian, taptu (saya lupa ini singkatan dari apa), lomba kebersihan, serta lomba gerak jalan. Dan, ini yang hebat, tak mau kalah dengan <span style="font-style: italic;">reality show</span> <span style="font-style: italic;">American Idol,</span> ada juga lomba <span style="font-style: italic;">Bolmut Idol.</span><br /><br />Rasa senang bercampur haru membelit ulu hati saya. Semoga rakyat Bolmut, makin sejahtera.***<br /></span>Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-34144367.post-17781732247284108442007-08-01T17:02:00.000-07:002008-04-06T01:25:29.101-07:00Perpustakaan Toko Buku<a href="http://www.liberty.edu/media/images/%5b4952-lg%5dBookstore_Big.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 200px;" src="http://www.liberty.edu/media/images/%5b4952-lg%5dBookstore_Big.jpg" alt="" border="0" /></a>Hari ini, mestinya saya pergi ke China Town, yang terletak di Manhattan Bawah (Down Town). Tetapi, begitu kereta api bawah tanah, berhenti di Times Square Manhattan, yang terletak di 42St, mendadak pikiran saya berubah.<br /><br />Waktu menunjukkan pukul 11.00. Saya memutuskan untuk berputar 360 derajat, menuju ke Manhattan Atas (Up Town). Saya ingin sekali ke toko buku Labyrinth, yang terletak di 113 St, berdekatan dengan kampus Universitas Columbia. Ya, Labyrinth Books ini, adalah salah satu toko buku favorit saya dan istri. Ini toko buku yang tidak terlalu besar dan megah dibanding toko buku Gramedia, misalnya, tapi, terbilang lengkap dalam menjual aneka buku dan jurnal ilmu sosial. Sudah hampir dua bulan saya tak menyambanginya.<span class="fullpost"><br /><br />Saya tiba di Labyrinth pukul 12.10. Buru-buru saya menuju ke rak yang memajang segala rupa aneka jurnal. Dari jurnal kritik sastra, sejarah, filsafat, sosial, feminisme, gay, hingga ekonomi-politik. Kata orang, kalau ingin tahu perkembangan ilmu terbaru, bacalah jurnal. Tangan saya membuka satu demi satu jurnal-jurnal itu. Dan a ha, saya temukan edisi terbaru dari jurnal <span style="font-style: italic;">Socialism and Democracy</span>, yang diterbitkan Routledge. Edisi teranyarnya membahas tentang “Class Struggles in China.”<br /><br />Dari rak jurnal ini, kaki saya menapak satu demi satu anak tangga Labyrinth menuju ke lantai dua. Di sepanjang anak tangga ini, disusun buku-buku yang harganya berkisar antara $3.00 hingga $6.00. Padahal buku-buku yang disusun itu sampulnya masih licin, dan tahun penerbitannya rata-rata di atas tahun 2000-an.<br /><br />Di lantai dua, lantai favorit saya, saya segera menuju ke seksi <span style="font-style: italic;">political science</span>. Satu dua buku saya comot dari raknya. Dari sana saya bergerak ke seksi <span style="font-style: italic;">Marxism</span> yang berhadap-hadapan dengan seksi Amerika Latin. Lagi-lagi, saya mencomot satu dua buku. Setelah itu, saya berpindah ke seksi <span style="font-style: italic;">Asian Study</span>, khususnya seksi tentang China. Kembali satu dua buku telah berpindah tempat. <br /><br />Saya menghitung, ada sepuluh buku di keranjang saya. Cukup sudah. Setelah itu, saya menuju ke sudut ruangan toko buku itu, dan duduk di atas sebuah kursi hitam nan empuk. Satu per satu buku-buku tersebut saya baca, ada yang saya baca dengan menggunakan metode baca cepat ada pula yang saya agak serius. Dengan metode baca cepat, bab-bab yang sudah pernah saya baca atau yang akrab dengan bacaan saya selama ini, saya lewati. Yang agak serius saya baca, misalnya buku klasik dari Peter Evans, <span style="font-style: italic;">"Dependent Development: The Alliance of Multinational State and Local Capital in Brazil."</span> Buku ini kembali saya baca untuk coba memahami masalah “Lumpur Panas Lapindo.” Dalam bukunya ini Evans menjelaskan tentang kolaborasi segitiga antara perusahaan multinasional, negara, dan pengusaha lokal, dalam mengeruk sumberdaya alam setempat. Saya menduga ini juga yang terjadi dalam kasus Lumpur Panas Lapindo itu.<br /><br />Tidak terasa, saya duduk di kursi itu hingga waktu menunjukkan pukul 5.30. Dan, selama itu, tidak ada satu petugas pun yang menegur saya, dengan mengatakan, “maaf mas, ini bukan perpustakaan.”<br /><br />Tetapi, kejadian dimana toko buku yang sekaligus menjadi perpustakaan, bukan khas Labyrinth. Jaringan toko buku raksasa seperti, Barnes & Nobles, bahkan menyediakan semacam ruang baca yang lengkap dengan kursinya. Istri saya paling senang ke Barnes, terutama yang berlokasi di Union Square di 14St. Ia bahkan menjadi salah satu anggotanya. Jika sudah ke sana, kami berdua, setelah memperoleh buku atau majalah yang diinginkan, langsung menuju ke lantai tiga, beli minuman dan sepotong dua potong roti. Di lantai tiga ini, juga tersedia ruang baca lengkap dengan kursinya tapi, biasanya selalu penuh karena berkaitan dengan rumah kopi Starbucks. Karena itu, kami selalu memilih lantai empat, bersantai ria di sana sambil menikmati buku-buku atau majalah-majalah terbaru tanpa takut ada petugas yang mengusik.<br /><br />Jika perut sudah bermain keroncong, baru teringat bahwa saatnya untuk pulang. Beli buku atau tidak, terserah anda. Tapi, biasanya, selalu saja kami harus antri di depan kasir. Seperti hari ini, Jurnal <span style="font-style: italic;">Socialism and Democracy</span>, akhirnya masuk ke dalam tas jinjing saya. ***<br /><br />Gambar diambil di <a href="http://www.liberty.edu/media/images/%5b4952-lg%5dBookstore_Big.jpg">sini</a><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-34144367.post-40881122094545253482007-07-13T12:34:00.000-07:002008-04-06T01:26:07.273-07:00Kecoak<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://www.hot-screensaver.com/wp-myimages/cockroach.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 200px;" src="http://www.hot-screensaver.com/wp-myimages/cockroach.jpg" alt="" border="0" /></a>Pagi ini, sekira pukul 11, saya berjalan santai di pusat kota Manhattan. Tepatnya, dari 48 St menuju 42St, 7Avenue. Sepanjang jalan, trotar dipenuhi dengan pejalan kaki yang tak ada habisnya. Belum lagi ditambah pedagang kaki lima yang asyik dengan dagangannya.<br /><br />Ya, musim panas, Manhattan selalu dipenuhi kerumunan orang. Dan trotoar selebar 2 meter, seperti tak sanggup menahan hentakan ribuan pasang sepatu. Padahal, dalam beberapa hari terakhir ini, pihak kepolisian kota New York (New York Police Department/NYPD), terus-menerus mengingatkan akan ancaman teror bom. Tapi, siapa takut? Menurut pemerintah kotamadya, pada tahun 2006 kemarin, sekitar satu juta orang setiap hari lalu-lalang di trotoar kota Manhattan. Total pengunjung atau wisatawan yang berlibur ke NY pada 2006, mencapai 45 juta orang, rekor tertinggi selama ini.<span class="fullpost"><br /><br />Jalan kaki di Manhattan, pada musim panas, memang tak ada capeknya. Pemandangan yang indah serta trotoar yang tak dilewati sepeda motor, bisa membuat kita berjalan sejauh mungkin. Terlebih, jalanan di Manhattan itu lurus tak berkelok-kelok, meningatkan saya pada jalanan di kampung saya, yang juga lurus tak berkelok. Tak usah takut kesasar, karena kita bisa bertanya kepada petugas keamanan, atau kepada pedagang kaki lima, atau mampir sejenak ke sebuah toko. Kalau capek, anda tinggal mencari taman terdekat untuk melepas lelah. Tidur sejenak juga tak soal. Tak akan ada yang mengusik apalagi mengusir anda.<br /><br />Tetapi, musim panas juga adalah musim bau keringat. Berjalanan di tengah kerumunan orang yang begitu padat, kita harus siap-siap untuk menaha napas. Itu bau badan, alamaaak. Jangan sampai anda ketahuan menutup hidung dengan sengaja, karena hal itu tidak santun secara publik.<br /><br />Musim panas, juga adalah musim kecoak. Huuhh, binatang kecil menjijikkan ini, entah darimana datangnya, tiba-tiba menyerbu dapur-dapur di hampir seluruh apartemen kota ini. Memang tidak seperti kecoak di Indonesia yang segede ibu jari kaki. Begitu musim dingin tiba, mereka seperti lenyap di telan bumi. Ibarat pepatah, datang tanpa diundang, pergi tanpa permisi. Tinggal satu dua yang tersisa. Saya pikir , mereka ketinggalan kereta. Syukur, di apartemen saya, hewan-hewan ini tak datang bertandang. Istri saya orangnya bersihan luar biasa. Terima kasih ya sayang.<br /><br />Nah, perihal kecoak-kecoak liar ini, saya teringat pada satu kejadian di suatu malam, di ruang tahanan kepolisian wilayah kota besar (Polwitabes) Surabaya, pada 1996. Waktu itu, saya nginap di tempat itu bersama Ditasari (halo ibu ketua), dan M. Sholeh (Oleng). Dita di kamar depan, saya dan Oleng di ruang belakang bersama-sama dengan tahanan kriminal lainnya. Kalau tak salah ingat, saat itu baru menunjukkan pukul tujuh atau delapan malam. Pintu jeruji pembatas antara tempat Dita dan kami, belum lagi disegel. Kamar-kamar kami di belakang juga belum dikunci.<br /><br />Mendadak terdengar teriakan, Pontoh, Pontoh, Pontoh. Dengan bergegas saya lari ke depan. Itu suara Dita. Ada apa, sampe teriak-teriak begitu? Oleng juga berlari meninggalkan bacaan Qur’an-nya. Demikian juga dengan para tahanan lainnya. Begitu sampai di depan kamarnya Dita, saya lihat ibu ketua ini lagi berdiri di atas ranjang semennya, sambil telunjuknya menuding-nuding ke arah dinding di depannya. Rupanya, di dinding itu lagi merayap dengan santainya seekor kecoak sebesar ibu jari tangan.<br /><br />“Ada apa,” tanya saya dan Sholeh berbarengan.<br /><br />“Itu kecoak,” ujarnya dengan ketakutan yang sangat.<br /><br />Hahhhh. Kecoak? Kok bisa Dita takut sama binatang ini? Padahal, belum lama berselang kepalanya ditinju ama tentara dari Kodam Brawijaya. Dan ia tak berteriak sedikit pun. Kok bisa, tak habis pikir saya.<br /><br />Perlahan saya beranjak ke ruangannya, mengambil sandal dan<br /><br />Braaaakkk<br /><br />Dalam sekejap, kecoak itu sudah hancur berantakan, darahnya yang merah kehitaman, muncrat tak beraturan. Dita dan Sholeh tak berani mendekat. Mereka tampak sekali begitu jijik. Pelan-pelan saya mengambil kertas tisu, dan memungut satu per satu bangkai kecoak itu hingga bersih.<br /><br />Tak lama kemudian, senyum telah tersungging di bibir Dita.***<br /><br />Gambar diambil di <a href="http://http//www.hot-screensaver.com/wp-myimages/cockroach.jpg">sini</a><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-34144367.post-40024006295147150792007-06-11T08:57:00.000-07:002008-04-06T01:48:47.953-07:00Bersepeda<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://www.fredericksburgva.gov/pr/imgs_custom/bicycle.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 200px;" src="http://www.fredericksburgva.gov/pr/imgs_custom/bicycle.jpg" alt="" border="0" /></a>Dalam dua minggu terakhir ini, saya aktif sekali bersepeda di jalanan kota New York. Saya sangat bergairah melakukannya: memacu kencang laju sepeda sebelum lampu hijau berubah kuning; menyelip di antara deru mesin mobil yang tak pernah henti berseliweran, lalu melepas lelah di bawah rimbunan pohon nan lebat.<br /><br />Ya, jalanan kota NY mengingatkan saya akan Jakarta plus. Padat tapi tidak macet. Ketika masih bemotor ria di Jakarta, untuk menghindari hantu kemacetan, saya sering sekali melaju di atas trotoar. Di sini juga demikian, saya suka bersepeda di trotoar untuk menghindari serempetan mobil yang melaju kencang. Tapi, jangan harap anda menemukan motor melaju di trotoar.<span class="fullpost"><br /><br />Bersepeda mengingatkan saya akan masa kanak-kanak dulu. Ceritanya, sejak masuk bangku sekolah dasar, ketahuan kalau saya tak bisa menulis dengan tangan kanan. Orang tua saya heboh, guru-guru tercinta saya juga panik. Kok bisa anak ini menulis dengan tangan “kotor?”<br /><br />“Tangan kiri itu dipake untuk cebok, bukan untuk menulis apalagi makan,” ujar ibu tercinta saya.<br /><br />Maka dimulailah sebuah proyek untuk menghancurkan kebiasaan saya yang jelek itu. Di sekolah, guru-guru saya, terutama almarhumah enci Masita, menyuruh saya untuk menduduki tangan kiri saya setiap hari. Kalau ketahuan melanggar perintahnya, kuping saya pasti dikoleto (dicubit) hingga memerah. Dari hari ke hari, proyek itu terus berlangsung. Tapi, tampaknya akan berujung gagal. Si kanan ini tak juga menampakkan tanda-tanda kemajuan.<br /><br />Akhirnya, semua pada menyerah. Ada kompromi memang. Makan harus pake tangan kanan.<br /><br />Hingga tiba saatnya, saya dipersilahkan ayah untuk belajar mengendarai sepeda. Kalau tak salah, saat itu saya duduk di bangku kelas empat SD. Oh ya, ayah saya adalah seorang pencinta sepeda luar biasa. Ia bisa tak peduli pada anaknya yang berlumuran debu tapi, tidak dengan sepeda ontel tercintanya. Setiap hari ia melap sepedanya, hingga sepeda itu tetap nampak baru.<br /><br />Rupanya, belajar bersepeda tak sesulit belajar menggunakan tangan kanan. Dari hari ke hari tampak kemajuan yang nyata. Hingga suatu hari saya ingin pamer pada keluarga. Dengan penuh percaya diri, saya melaju di depan rumah, Mungkin saking PD-nya, saya tak melihat ada kayu melintang di jalanan. Dan bruuk. Saya meringis kesakitan tapi, malu untuk menangis.<br /><br />Ibu saya tergopoh-gopoh datang dari dapur. Kalau sang ibu sudah mendekat, baru saya mengeluh kalau tangan kanan saya tertimpa setang.<br /><br />“Mami, sakit sekali.”<br /><br />Ibu saya panik bukan main. Apalagi tangan yang tak bisa menulis dan dipake makan ini mulai membengkak perlahan-lahan.<br /><br />“Papi Is (panggilan ibu saya untuk suaminya), cepat panggil Mai Anice (tukang urut paling terkenal di seantero kampung).”<br /><br />Tapi sayanya yang tak mau diurut. Saya menolak keras, sakitnya minta ampun. Apalagi mai Anice terkenal sebagai tukang pijat yang aneh. Ada banyak cerita beredar, jika ada orang yang kaki atau tangannya patah, agar bisa disambung lagi seperti semula, oleh mai Anice tangan atau kaki itu sebelumnya dipatahinnya seutuhnya. Hanya dengan begitu baru bisa disambung lagi.<br /><br />“Ngeri khan?<br /><br />Tapi, dari hari ke hari bengkak di tangan makin membubung. Sakitnya juga makin parah. Saya tak bisa lagi meluruskan si kanan, apalagi menggerakkannya. Maka mai Anice tak bisa lagi ditolak.<br /><br />Orang tua tinggi besar berkopiah hitam itu pun datang. Ia duduk di depan saya, mulutnya komat-kamit. Tangannya lalu mengambil segelas air putih dan membilaskannya perlahan ke tangan saya. Pelan-pelan ia mengurut si kanan, sakit memang. Tapi, tangan saya tak dipatahkannya seperti kata cerita. Saya meringis kesakitan, membenamkan kepala saya di punggung ayah. Hingga akhirnya prosesi itu usai.<br /><br />Saya merasa ada kelegaan yang sangat. Dan perlahan-lahan, si kanan mulai bisa digerakkan dan diluruskan. Walaupun tak lagi utuh seperti semula.<br /><br />"Terima kasih mai Anice, semoga Allah SWT membalas budi baikmu."<br /><br />Ajaibnya, usai kejadian itu, si kanan ini bisa difungsikan untuk menulis, sementara si kiri menjadi tertatih-tatih. Maka dimulailah pembagian kerja yang unik. Untuk yang berat-berat, saya menggunakan tangan kiri. Sementara untuk menulis dan merangkai sesuatu, saya menggunakan tangan kanan. Di meja makan, jika menggunakan sendok dan garpu, yang kiri pasti memegang sendok dan garpu di tangan kanan. Tapi, jika makan menggunakan tangan, maka yang kiri pasti kehilangan akal. Mestinya disuapin ke mulut malah nyasar ke hidung.<br /><br />Bersepeda, memang sungguh menggairahkan.***<br /><br />Gambar diambil di <a href="http://www.fredericksburgva.gov/pr/imgs_custom/bicycle.jpg">sini</a><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-34144367.post-70119268187048243712007-03-13T20:31:00.000-07:002008-04-06T01:49:28.368-07:00MLM<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://www.cavalierdaily.com/.Archives/2004/04/14/fo-pyramid.gif"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 320px;" src="http://www.cavalierdaily.com/.Archives/2004/04/14/fo-pyramid.gif" alt="" border="0" /></a><br />Penghujung Desember 2006. New York (NY) sudah memasuki musim dingin. Tapi, salju belum lagi turun. Orang-orang membicarakan, inilah untuk kali kedua sejak 1930an, musim dingin datang sepoi-sepoi. Udara NY, lagi tak beraturan. Kadang panas, kadang dingin, sebentar berangin, sebentar hujan. Hari ini pakai baju hangat, besoknya sudah pakai kaos oblong.<span class="fullpost"><br /><br />Suatu hari, menjelang senja, saya lagi berjalan santai di 39st, 7Av. Ini adalah area yang merupakan jantung kota Manhattan. Walaupun lagi musim dingin, Manhattan tetap penuh sesak dengan gerombolan orang. Trotoar yang lebarnya dua meter, seperti tak sanggup menahan hentakan ribuan pasang sepatu. Mendadak seorang perempuan muda cantik berkulit kuning, dengan mengenakan blazer dan celana panjang hitam, menghampiri saya. Saya pikir ia keturunan Cina, dan umurnya saya taksir lebih dari 17 tapi, kurang dari 25.<br /><br />“Excuse me sir. Would you like to join us?”<br /><br />“I am sorry, what is this about?”<br /><br />“We are from an electronic company, still new and now expanding. Our branches are in Mexico and Puerto Rico. We sold home telephone.”<br /><br />“How to join with you?” Saya pura-pura tertarik.<br /><br />“You just give me your ID, your credit card, and $400.”<br /><br />“Ok let me think about it. Do you have a telephone number?”<br /><br />“Sure, my cellphone is xxx.”<br /><br />“Thanks. I’ll call you once I have decision about it.”<br /><br />Saya lantas beranjak dari sana. Belum lagi jauh kaki ini melangkah, seorang lelaki muda, dengan berjas dan berdasi bergerak mendekati saya. Sama seperti perempuan tadi, ia menawarkan peluang bisnis pada saya. Ia katakan, jika bergabung dengan kelompoknya, saya tak perlu kerja keras, cukup dengan merekrut sebanyak mungkin orang ke dalam bisnis ini, saya akan menerima kiriman uang secara reguler ke rekening saya setiap minggunya. Di bisnis ini, saya akan menjadi bos buat diri saya sendiri.<br /><br />“Oh, rupanya aku lagi jadi target rekrutmen toh.”<br /><br />Saya mulai sadar kalau bisnis yang dimaksud adalah bisnis dengan pola multi level marketing (MLM).<br /><br />Pertemuan ini menghela ingatan saya ke masa-masa menjelang akhir kuliah, sekira 15 tahun silam. Tepatnya pada 1992. Saat itu, saya lagi bersiap menyusun skripsi guna meraih gelar sarjana strata satu, di Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado.<br /><br />Pada mulanya, semua berjalan seperti apa adanya. Memasuki semester VIII, saya mengajukan usul rencana penelitian ke pimpinan jurusan sosial ekonomi. Setelah usul penelitian saya diterima, pimpinan jurusan menetapkan tim dosen pembimbing. Seingat saya, dosen pembimbing saya tiga orang. Salah satunya adalah Enci Masie, dosen yang terkenal paling <span style="font-style: italic;">killer</span> di jurusan kami. Tapi, dia bukan ketua tim pembimbing. Puji Tuhan. Ketuanya adalah seorang dosen perempuan yang barusan merampungkan studi masternya di Amerika Serikat.<br /><br />Enci ketua pembimbing ini, pada dasarnya peramah. Bicaranya halus, suka tersenyum, dan bisa dikontak kapan saja. Tak banyak neko-neko, istilahnya. Tapi, yang jadi soal, enci ketua pembimbing ini punya bisnis sampingan. Apalagi kalau bukan bisnis MLM. Dan skornya pun sudah lumayan tinggi. Bisnis berantai ini menjual beragam produk Amway. Dari sabun mandi hingga minyak wangi.<br /><br />Saya sendiri, sangat tidak tertarik dengan bisnis ini. “I am not a sales person.” Saya tak pandai promosi, tak pintar meyakinkan orang untuk membuka dompetnya. Lagi pula, saya tengah tergila-gila pada aktivitas di organisasi ekstra kampus.<br /><br />Ketidakpedulian ini, rupanya berdampak pada penyusunan skripsi. Setiap kali bertemu untuk konsultasi dengan enci, obrolan kami didominasi oleh cerita sukses pebisnis MLM. Persis seperti ketika saya diajak oleh perempuan cantik di 34st, enci ini bercerita bahwa dalam bisnis ini, yang utama bukanlah kuantitas barang yang dijual. Tapi, seberapa banyak kita bisa merekrut orang. Toh setiap anak baru, harus membeli minimal satu produk.<br /><br />"Kamu jangan melewatkan kesempatan emas ini." Ia lalu menawarkan saya ikut seminar di sebuah hotel terkenal di Manado.<br /><br />“Di sana nanti akan ada kesaksian dari mereka-mereka yang telah sukses di bisnis ini. Ada yang melancong dengan gratis ke Yunani, ada pula yang mendapatkan hadiah mobil.”<br /><br />Sejauh itu, hati saya tidak tergerak sesentipun untuk memenuhi undangannya. Namun, skripsi tak kunjung selesai. Setiap kali konsultasi, setiap kali itu pula saya harus memperbaiki laporan penelitian saya. Tanda tangan enci ketua, tak kunjung berlabuh di lembaran kertas penelitian. Padahal, tanda tangan itu adalah syarat mutlak untuk ujian. Celakanya, saya tak bisa mendesak, memaksa, apalagi protes. Di Unsrat, ketika itu, sekali anda bermasalah dengan dosen, itu adalah jalan tol untuk merengkuh gelar MA (mahasiswa abadi).<br /><br />Sementara waktu terus berlalu, 1993 sudah tertinggal di belakang. Jika dihitung dari saat pertama kali masuk kuliah pada 1988, lalu kuliah kerja nyata (KKN) pada akhir 1991, mestinya pada 2003 saya sudah kelar kuliah.<br /><br />Semula, saya tak berpikir ada hubungan positif antara tanda tangan dengan bisnis MLM. Saya mulai gelisah. Jangan-jangan memang ada hubungan. Tapi, bisa jadi karena kualitas laporan penelitian saya masih berantakan. Satu tahun tanpa hasil, bukan waktu yang singkat buat saya dan terutama, keluarga. Satu per satu teman saya telah menggelar pesta siram air kotor, pertanda telah lulus. Beberapa teman menganjurkan agar saya ikut saja bisnis MLM itu.<br /><br />“Pura-pura iko jo, yang penting ngana dapa itu tanda tangan.”<br /><br />Berat saya menerima usulan itu. Tapi, untuk terus membayar Rp. 150 ribu per bulan, hanya untuk biaya kos-kosan, bukan perkara kecil. Belum lagi tetangga di kampung yang terus bertanya, “kapan si Coen kelar kuliah?”<br /><br />Saya tak punya pilihan. Ajakan tidak langsung bisnis MLM saya terima. Namun, saya tak pernah ikut seminarnya. Saya malas mendengar kesaksian. Dan benar saja, pada awal 1994, saya memperoleh tanda tangan, sebagai tiket masuk ke ruang sidang senat fakultas. Pada bulan Juni 1994, saya dinyatakan lulus dan berhak menggondol gelar sarjana peternakan.<br /><br />Tak lama kemudian, saya menulis surat ke Boroko,<br /><br />“Papi dan Mami yang tercinta, anakda sudah lulus kuliah. Bersiap-siaplah untuk datang ke Manado, ikut acara wisuda. Pake baju yang rapi ya.”<br /></span>Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-34144367.post-31834303742500362812007-03-04T21:22:00.000-08:002008-04-06T01:50:49.281-07:00Dua Film<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://www.logobook.ru/make_simage.php?uid=11047648&wsize=70"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 320px;" src="http://www.logobook.ru/make_simage.php?uid=11047648&wsize=70" alt="" border="0" /></a>Boleh dibilang, saya seorang pecandu film. Saya benar-benar ketagihan dengan gambar hidup ini. Semuanya bermula, dari Boroko, desa terpencil, tempat saya pertama kali menangis di dunia ini.<div class="snap_preview"> <p>Kira-kira itu terjadi pada dekade 1970an. Suatu malam, kami sekeluarga datang ke lapangan sepakbola yang terletak di pusat desa. Malam itu, saya kira, seluruh warga kampung tumpah-ruah di lapangan besar itu. Kami semua, warga kampung, dari kakek-nenek hingga cucu-cucu, duduk beralas daun pisang menonton film hitam-putih dari layar tancap, yang diputar oleh sebuah perusahaan obat <em>Bodrex</em>. Saya ingat, malam itu, ada dua film yang diputar. Satu film koboi, satu film silat.</p> Sejak malam itu, saya telah jatuh hati pada hiburan ini. <span class="fullpost">Tetapi, hiburan dari Bodrex, tak setiap tahun datang. Boroko, tetaplah desa tertutup: tak ada generator apalagi televisi. Radio menjadi sumber berita, cerita, dan lagu. Pada 1985, saya hijrah ke Kotamobagu, ibukota kabupaten Bolaang Mongondow. Di kota ini, (ketika jalan darat masih darurat) menghabiskan waktu sehari perjalanan mobil, saya menempuh pendidikan menengah atas.<span class="fullpost"> <p>Di Kotamobagu-lah, saya kembali menikmati gambar hidup. Gratis pula. Kebetulan, paman saya dari pihak ibu, Paade Mat, adalah penjaga keamanan di salah satu bioskop terbesar di kota itu. Kalau tak salah ingat, Totabuan, nama bioskop itu. Dari Paade Mat, setiap minggu saya dapat dua karcis gratis. <em>Free pass, </em>istilahnya. Dan setiap dua hari, di bioskop Totabuan, pasti nongol film baru. Dari film India, Kungfu Cina, hingga film-film nasional.</p> <p>Selama tiga tahun tinggal di Kotamobagu, hobi saya menonton film betul-betul terpuaskan. Aktor-aktor seperti Amitah Bachan, Ti Lung, Brigitte Lin Ching Shia, atau Roy Marten, adalah bintang-bintang yang saya hapal di luar kepala. Saya kira, masa-masa itu, masa keemasan industri perbioskopan. Dan masa dimana dua kali seminggu masuk bioskop, tinggal kenangan ketika saya harus angkat kaki dari Kotamobagu. Di Manado, tak ada lagi <em>free pass.</em> Kesibukan kuliah dan organisasi, memaksa saya untuk masuk bioskop pada saat-saat istimewa saja.</p> <p>Lebih-lebih setelah tinggal di Jakarta, penghujung tahun 1990an. Masuk bioskop, sungguh telah menjadi sebuah kemewahan. Hobi saya pada gambar hidup ini baru kembali tersalurkan, ketika saya menjadi kontributor majalah Pantau. Suatu hari, saya menerima segepok uang sangat besar dari Pantau, sebagai honor atas dimuatnya tulisan saya. Dari uang itu, saya belanja tivi dan dvd player. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Jakarta lagi booming dvd bajakan. Jalan Sabang dan WTC Kuningan, adalah dua tempat yang mesti saya kunjungi setiap minggunya.</p> <p>Ketika kemudian kaki ini menginjak tanah New York, hobi menonton tak juga berkurang. Setiap akhir pekan, saya dan istri punya dua jadwal rutin. Toko buku dan bioskop. Jika film yang kami tonton sangat berkesan, kami akan mengoleksinya dalam bentuk dvd. Minggu ini tak ada film yang cukup menarik untuk ditonton. Tapi tak apa. Kami adalah salah satu pelanggan di dua buah toko penyewaan dvd. Pada Jumat kemarin, kami menyewa tiga film. Saya milih film laga Hollywood. <em>“Behind Enemy Lines II Axis of Evil</em>,” judulnya. Saya pilih film ini, karena sekuel pertamanya telah saya tonton. Sekalian pikir saya.</p> <p>“Kamu benar-benar mau nonton film itu?” tanya istri saya ketika sedang berjalan ke arah kasir.</p> <p>Setelah mandi dan makan malam, saya mulai memutar film itu. Istri saya tak ikut, dia tidak berselera dengan film begituan. Dia sedang menunggu gilirannya untuk memutar <em>“Traffic.”</em> Bagi saya, menonton film lebih banyak sebagai pelepas lelah. Tetapi, <em>“Behind Enemy Lines II,”</em> benar-benar membuat saya lelah. Ini film propaganda, saya tahu itu sejak tangan ini menyentuhnya pertama kali. Toh saya juga menikmati <em>“Rambo”</em> atau <em>“The Taylor of Panama.”</em></p> <p>“Film bodoh, konyol, bikin tambah capek.”</p> <p>Istri saya hanya bisa tersenyum. Saya jadinya males nonton <em>“Traffic,”</em> padahal saya ingin menyaksikan aksi dari Benicio del Toro.</p> <p>Hari sabtu, istri saya mengajak cuci mata di toko buku Borders, yang terletak di 34 Street, salah satu dari area yang disebut sebagai jantungnya kota Manhattan. Baru sekitar enam bulan Borders nongol di sana.</p> <p>“Aku mau beli <em>‘American History X’</em> dan <em>‘The Illusionist.”</em></p> <p>Istri saya ingin mengoleksi dan melihat lagi akting Edward Norton. Di rak kecil kami, si Norton ini <em>udah</em> ada beberapa biji.<br /></p> <p>“Yuk nonton <em>‘American History X.’</em> Aku jamin kamu senang deh. “</p> <p>Benar juga. Kesebelan yang sangat pada <em>“Behind Enemy Lines II,”</em> mencair. Edward Norton dan jalinan cerita yang disuguhkannya, membuat saya terpaku. Saya baru kembali tertawa lebar, ketika mendadak ada suara “Kembali ke Laptop.”</p> </span></span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-34144367.post-43106283289723068402007-02-24T21:20:00.000-08:002007-03-17T11:48:31.177-07:00Mimpi Tentang Dushu<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://www.juree.net/uploadfiles/dushu-bijjiaofazonglun.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 200px;" src="http://www.juree.net/uploadfiles/dushu-bijjiaofazonglun.jpg" alt="" border="0" /></a><em class="info"></em>Ketika musim dingin mulai benar-benar nyata di New York, sekira dua minggu lalu, saya dan istri terpaksa harus beli sepatu anti dingin. Di NY, sepatu jenis ini tidak bisa dikataka murah. Minimal harganya $60.<div class="snap_preview"> <p>Lagi asyik-asyiknya jalan di megastore TARGET, kita kemudian masuk ke sebuah toko yang khusus jual sepatu. Skechers, nama toko itu. Ternyata, Skechers adalah juga nama merek sepatu, dengan bintang iklannya pesohor Ashley Simpson. Skechers kebetulan lagi musim harga miring, kalau beli dua harganya dipotong separuh. Ya sudah, jadilah Skechers berpindah tangan</p> <p>Saya kemudian iseng-iseng mencaritahu ini sepatu produk mana sih? Periksa punya periksa, ini rupanya produksi Cina. Luar biasa, karena produk Cina saat ini tengah membanjiri pasar AS, hingga membuat para elite di Washington kebakaran jenggot. Bagi mereka, banjir produk Cina ini menjadi ancaman baru setelah terorisme Islam dan populisme Amerika Latin.</p> <p>Soal sepatu produk Cina ini, saya ceritakan pada istri saya. Dia pun kaget, dia bilang kapan ya Indonesia dikenal di AS bukan dari bencana alamnya? Kebetulan berita-berita media di AS saat itu, lagi menyiarkan bencana banjir yang melanda Jakarta. Tiba-tiba istri saya mengusulkan,</p> <p>“Kenapa kamu tidak coba belajar soal Cina?”</p> <p>“Susah. Waktu sudah tidak memadai. Soal Amerika Latin saja, belum seberapa belajarnya.”</p> <p>“Tapi, kalo kamu bisa belajar soal Cina maka itu akan menjadi kombinasi yang baik dengan apa yang kamu pelajari soal Amerika Latin saat ini.”</p> <p>Saya pikir benar juga. Belajar soal Cina seperti belajar tentang bagaimana rejim Orba mulai mengintegrasikan diri ke dalam sistem kapitalisme global, diakhir dekade 1960an. Ada optimisme dan harapan yang berlebihan. Sementara belajar Amerika Latin, kita semacam melihat proyeksi tentang masa depan Indonesia dan juga, Cina.</p> <p>Dalam kehidupan sehari-hari pun di NY sini, jika kita menguasai atau paling tidak bisa mengerti bahasa Mandarin dan Spanyol, selain bahasa Ingggris tentunya, bisa dipastikan kita tak akan kesusahan bayar apartemen.</p> <p>Kembali soal belajar tentang Cina, istri saya rupanya tak berhenti provokasi. Setiap minggu pasti ia belikan saya satu buku tentang Cina. Kemarin (Jumat), ia menghadiahi saya buku yang dieditori Chaohua Wang, “One China, Many Paths,” yang diterbitkan oleh Verso, London, pada 2003. Ini buku yang sangat menarik, karena merekam soal perkembangan dan perdebatan intelektual di Cina, dari masa dekade 1960an hingga jalan baru yang ditempuh Deng.</p> <p>Salah satu artikel yang menarik dalam buku ini, adalah wawancara dengan Wang Hui. Hui adalah veteran aktivis Tiananmen Massacre pada 1989, dan pemimpin redaksi jurnal terkemuka di Beijing, <em>Dushu</em> (Readings). Selain itu, Hui yang adalah profesor Humanities di Tsinghua University, adalah orang yang dianggap sebagai pelopor gerakan New Left di Cina. Yang menarik dari wawancara ini adalah cerita Hui tentang <em>Dushu</em>.</p> <p>Diterbitkan pertama kali pada April 1979, <em>Dushu</em> dengan cepat menjadi salah satu ikon para intelektual di Cina. Sirkulasinya memang sangat kecil berbanding milyaran jumlah penduduk Cina, hanya berbilang di bawah 50 ribu eksemplar. Jurnal ini membahas tema-tema seperti filsafat Barat, teori sosial, dan pemikiran ekonomi. Nama-nama seperti Nietzsche, Heidegger, Cassirerr, Marcuse, Sartre, dan Freud, ramai dibincangkan. Tetapi, menariknya, <em>Dushu</em> tidak membahas tema seperti teori modernisasi atau ekonomi mazhab neo-klasik.</p> <p>Saya kira, <em>Dushu </em>ini mirip <em>Prisma</em> yang pernah berjaya pada dekade ‘70an dan 80an. Tapi, seingat saya, <em>Prisma</em> sangat sering membahas soal teori modernisasi. Nah, masalah mulai datang pada Dushu, ketika pasar nasional mulai dibuka gencar, dan konsumtivisme mulai jadi gaya hidup. Jurnal kayak Dushu, dipaksa bersaing dengan majalah-majalah model <em>Cosmopolitan</em>, yang ringan dan renyah bacaannya dan enak dipandang. Trend ini tak mampu diabaikan <em>Dushu</em>. Para editornya, terutama pemimpin redaksi Shen Changwen, kemudian memutuskan untuk mengubah kebijakan <em>Dushu</em>, dengan memuat artikel-artikel yang lebih ringan bobot akademiknya. Hasilnya, sirkulasi <em>Dushu</em> meningkat antara 50 ribu hingga lebih dari 80 ribu eksemplar per bulannya. Perubahan kebijakan ini juga, seperti dikatakan Hui, mencerminkan iklim intelektual di Cina, Beijing khususnya, yang gagal memahami gerak perkembangan intelektual dan masyarakat Cina pasca Mao.</p> <p>Pada 1996, ketika Hui ditawarkan sebagai pemred, ia membawa pulang Dushu ke khittahnya. Di bawah Hui, <em>Dushu</em> meluncurkan serial perdebatan mengenai masyarakat desa, etika, Asia, perang dan revolusi, krisis keuangan, liberalisme, hukum dan demokrasi, nasionalisme, dan feminisme. Reorientasi ini, yang kembali menempatkan <em>Dushu</em> sebagai lahan curah pemikiran, rupanya mendapatkan sambutan atraktif dari kalangan intelektual, yang gelisah dengan merebaknya konsumerisme, kesenjangan sosial, dan ketidakpastian. Dari segi oplah, <em>Dushu</em> meningkat hingga menembus angka 100 ribu dan 120 ribu.</p> <p>Saya pun membayangkan, suatu ketika di Indonesia, hadir jurnal seperti <em>Dushu.</em> Ia memfasilitasi kegelisahan para intelektual, menjadi lahan perdebatan pemikiran, dan sumber inspirasi teoritik. Ia betul-betul menjadi lokomotif yang menarik gerbong kehidupan intelektual progresif Indonesia.</p> <p>Di NY sini, saya sedikit beruntung bisa berlangganan cukup banyak jurnal kiri. Dari <em>New Left Review, Monthly Review, Science and Society, historical materialism,</em> hingga <em>Socialist Register.</em> Tapi, saya merasakan ada yang kurang. Jurnal-jurnal ini, tidak menggambarkan semangat para intelektual di negara dunia ketiga (meminjam kategorisasi Mao). Ia lebih merefleksikan cara pandang kehidupan intelektual negara kapitalis maju.</p> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-34144367.post-88230093294967475212007-01-06T21:29:00.000-08:002007-03-18T17:36:05.868-07:00Keriangan, Keragaman<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://www.ragam.org/pb/images/img26831422c02de92788.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 200px;" src="http://www.ragam.org/pb/images/img26831422c02de92788.jpg" alt="" border="0" /></a><strong style="font-weight: normal;">Satu hari ketika lagi minum teh di kedai</strong> Utan Kayu, saya didekati seorang lelaki. Ia mengajak bicara, gayanya santai dan santun. "Bung, apa mau menulis yang baik?"<br /><br />"Tentu saja."<br /><br />"Ok, kalau sudah tiba waktunya Bung akan saya beritahu," ujarnya.<br /><br />Pertemuan itu menggerakkan saya mencari tahu, siapa gerangan lelaki itu. Saya tak juga mengetahui siapa itu Andreas Harsono. Sebagai aktivis kampung dari Manado, nama ini tak pernah saya dengar. Mula pertama sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam cabang Manado, nama aktivis yang beredar di telinga saya adalah Ferry Mursyidan Baldan, Syaiful Bahri Ruray, atau Bursah Zarnubi. Ketika mulai kenal gerakan masyarakat sipil, nama aktivis yang saya kenal adalah Asmara Nababan, Hilmar Farid, Budiman Sudjatmiko, Dita Indah Sari, atau Andi Arief.<br /><br />Waktu berlalu. Hingga satu hari akhir tahun 2000, lelaki ini minta saya jadi kontributor majalah Pantau. Saya pun bergirang ria. Menulis nafas hidup saya. Kebersamaan di Pantau membuat saya mengenal secara dekat, bahkan sangat dekat dengannya. Saya lebih suka memanggilnya dengan “Bung AH.” Teman saya, Agus Sopian, memanggilnya “Mas Andre.” Linda Christanty memanggilnya “Mas Andreas.”<br /><br />Tugas pertama saya menulis sosok Suryopratomo, pemimpin redaksi Kompas, yang baru menggantikan Jakob Utama. Saya pun wawancara. Dalam percakapan-percakapan santai dengan Bung AH, maupun dalam rapat Pantau, saya diajarkan bagaimana wawancara yang baik.<br /><br />"Pertanyaan yang baik adalah pertanyaan terbuka. Ia memberi kesempatan pada nara sumber untuk menjawab sebanyak-banyaknya. Sebisa mungkin jangan menggunakan pertanyaan tertutup, yang hanya melahirkan jawaban, 'ya' atau 'tidak.’" Ini salah satu pelajaran penting saya.<br /><br />Ketika saat menulis tiba, saya mengerahkan segala kemampuan terbaik saya. Saya menyerahkan laporan itu pada Bung AH. Saya kira ia senang.<br /><br />"Bung, itu kutipan tentang Antonio Gramsci, sebaiknya dihilangkan, Kutipan itu tidak relevan dengan batang tubuh tulisan. Kalau perlu, jangan terlalu banyak kutipan, menulislah berdasarkan hasil kerja Anda sendiri."<br /><br />Saya agak terhenyak. Saya pikir dengan mengutip pemikir kelahiran Italia, yang terkenal dengan teori Hegemoni itu, akan membuat laporan saya makin berkilat. Laporan itu dikembalikan dengan penuh corat-coret. Praktis, saya harus mengubah total laporan saya, kembali melakukan wawancara, menggali data baru.<br /><br />Itulah pengalaman pertama menjadi kontributor Pantau. Makin hari, saya makin tenggelam dalam kenikmatan sebagai wartawan. Saya tak pernah memikirkan urusan lain, selain mencari ide tentang rencana penulisan laporan selanjutnya. Saya terkejut ketika menerima honor ratusan ribu rupiah.<br /><br />Kemudian saya ditugaskan membuat laporan tentang harian Kompas dan lantas majalah Tempo. Ketika menulis tentang Tempo, Bung AH mengajak saya berbicara secara pribadi. "Begini Bung, Anda telah menulis tentang Kompas, dan banyak mendapatkan sorotan.<br /><br />Mereka tahu Pantau dekat dengan Tempo. Tempo dan Kompas selalu bersaing. Yang kedua, Anda dekat dengan GM (Goenawan Mohamad), apakah Anda bisa independen ketika menulis soal Tempo? Ingat lho, integritas Anda dipertaruhkan."<br /><br />"Bung, saya menulis tentang Kompas apa adanya. Saya tak punya pretensi apa-apa. Soal kedekatan dengan GM, kita lihat aja nanti. Saya memang dekat dengannya tapi, Bung jauh lebih dekat lagi."<br /><br />GM orang yang memiliki suara dominan dalam internal Tempo maupun Pantau. Bung AH menganggap GM mentornya.<br /><br />Saya pun mulai mempersiapkan diri. Saya mencoba menelusuri dokumen-dokumen yang berkaitan dengan majalah ini. Setelah cukup, saya pun mulai mewawancara. Pertama kali adalah GM di lantai dua Teater Utan Kayu.<br /><br />Wawancara berjalan santai. GM orang terbuka, ia juga tak pernah mengatakan bahwa ada bagian dari wawancaranya yang tak boleh dikutip. Selanjutnya, saya mewawancari pihak lain, termasuk Fikri Jufri. Sayang, ketika itu Fikri Jufri menolak permintaan wawancara saya. "Cari saja yang lain," ujarnya.<br /><br />Ketika proses penggalian data cukup, saya mulai menulis. Dalam proses penulisan ini, energi saya rasanya jadi berlipat-lipat. Ruang redaksi Pantau, yang jadi rumah kedua saya, berpindah jadi rumah pertama. Setiap hari, saya tidur di ruangan itu, membaca dan menulis. Malam jadi siang, siang jadi malam. Kadang-kadang, saya ditemani Eriyanto, sesama kontributor Pantau, yang biasa mentraktir saya makan nasi uduk di bantaran kali Utan Kayu pukul tiga dini hari.<br /><br />Dua minggu berlalu, saat laporan mencapai 75 persen, laporan berbelas-belas halaman itu hilang dari komputer saya. Saya coba tenang, cari sana cari sini. Akhirnya saya betul-betul panik. Saya seperti orang gila. Kok bisa itu laporan menghilang?<br /><br />Eri Sutrisno, salah satu rekan, bilang, “Jangan-jangan ada yang sabotase.” Saya memutuskan pulang ke tempat kost. Mandi, tidur siang, makan siang di kedai. Dua hari saya tak menyentuh apapun, selain makan, tidur, dan mandi.<br /><br />Pada hari ketiga, saya memutuskan menulis ulang. Entah kenapa, kali ini saya menulis dengan sangat lancar, tak peduli pada waktu. Saya ingat, saya tak tidur dan tak mandi dua hari lamanya, untuk mengejar batas waktu penulisan itu.<br /><br />"Bung, sudah pulang sana dan mandi dulu. Bung sudah bau," kata Bung AH.<br /><br />Saya tetap melanjutkan menulis. Sudah kadung, sebentar lagi rampung tulisannya. Dan ketika tulisan itu selesai, saya baru sadar kalau panjangnya mendekati 40 halaman. Begitu laporan itu dimuat, reaksinya besar sekali. Bung AH menerima sekitar 70 komentar. Ada yang memuji, ada yang memaki. “Isi kebun binatang ditumpahkan semua,” kata Bung AH. Maklum saja, media di Jakarta tak pernah diliput dengan standar baku.<br /><br />Saya terkejut setengah mati ketika menerima honor enam juta rupiah. Hampir 10 tahun tinggal di Jakarta, itulah kali pertama saya memegang uang sebanyak itu. Saya memutuskan membeli televisi dan sepeda motor bebek apkiran. Itu dua barang yang ingin miliki: televisi untuk nonton sepakbola dan sepeda motor untuk irit transportasi.<br /><br />Banyak orang tak suka pada Bung AH. Dia dibilang: kaku, arogan, Cina brengsek dan sebagainya. Tapi, Bung AH yang saya kenal, jauh dari kesan itu. Ia memang kaku, terutama pada prinsip-prinsip jurnalisme yang dianggapnya baik. Misalnya, ia tak bisa menerima penggunaan sumber anonim, pengabaian terhadap pagar api, kerja rangkap wartawan. Tapi, selebihnya, ia redaktur yang sabar, peduli keadaan hidup kontributor. Ia tak hanya bicara soal menulis yang baik, soal perkembangan kerja tapi, juga soal-soal pribadi para kontributor yang tak punya uang, yang belum makan seharian, yang baru putus sama pacarnya, atau yang sedang naksir seseorang.<br /><br />Itu menjadikan suasana kerja Pantau menggembirakan. Sebagai kontributor, saya bekerja dengan senang hati, dengan perasaan riang. Saya tak merasa berjarak dengan para editor. Mereka juga tak memosisikan dirinya sebagai atasan. Dalam rapat-rapat redaksi yang saya ikuti, setelah mengecek soal tenggat waktu dan rencana penulisan, selebihnya adalah dialog penuh canda tawa.<br /><br />Ketika menyunting naskah, misalnya, para editor ini sering bertanya apakah saya setuju dengan hasil suntingan itu. Metode kerja ini sangat efektif, karena para kontributor memiliki gaya menulis beda-beda. Dan itulah salah satu kelebihan Pantau. Setiap edisi punya beragam warna. Pembaca punya penulis favoritnya masing-masing. Ada yang menunggu-nunggu, kapan tulisan Linda Christanty macam <em>Hikayat Si Kebo</em>, kembali muncul. Ada yang merindukan analisis medianya Eriyanto.<br /><br />Ada persahabatan yang bersemangat, yang bersaing dengan riang gembira. Tak peduli apakah itu kontributor yang sudah makan asam garam kehidupan, misalnya Budiman S. Hartoyo, atau Muhlis Suhaeri, yang belum kelar kuliah. Saya suka ketawa sendiri, jika ingat “Pak Budiman” kesel kalau ditagih soal bon oleh bagian keuangan. “Tiket tol itu khan gampang sekali rusak dan aku khan udah nggak inget lagi.”<br /><br />Ada juga gesekan kecil tapi, lebih merupakan bumbu kerja. Misalnya, kalau Linda Christanty sudah "kumat," maka ia akan bernyanyi-nyanyi atau berbicara sendiri. Atau Agus Sopian, begitu tiba dari Bandung, langsung tergeletak di lantai, merampok kasur kecil milik bersama Eriyanto dan saya. Ngorok pula.<br /><br />Disitulah peran utama Bung AH. Dia membuat majalah terbit setiap bulan dengan suasana riang. Tanpa redaktur seperti dia, saya kira tak mungkin ada majalah dengan konsep hubungan kerja yang sangat longgar, yang tidak mengenal konsep atasan-bawahan, yang bisa hidup lebih dari dua tahun dengan kualitas tinggi. Seberapa besar pun uang yang digelontorkan.<br /><br />Ketika saya mendengar kabar bahwa Institut Studi Arus Informasi menutup majalah itu, saya kehilangan semangat. Ketiadaan uang menjadi pemicu utamanya. Pantau adalah proyek rugi, dan kerugian itu bisa menghancurkan segala yang telah dibangun. Saya bisa memahami alasan itu. Itulah hukum dasar kapitalisme, <em>logic of profit</em> sebagai dasar kehidupan. Tapi, saya katakan pada Bung AH, itu cara berpikir yang sangat sempit, yang tidak strategis, jalan para pedagang, bukan jalan seorang pejuang.<br /><br />Penutupan itu membuat saya patah arang. Pantau adalah tempat pertama saya di luar gerakan politik. Pertemuan pertama yang membuat saya jatuh cinta. Saya kehilangan suasana kerja intim dan gembira. Pantau seperti jadi racun dalam kehidupan saya. Ketika kemudian saya kerja di tempat lain, saya selalu membandingkannya dengan suasana kerja di Pantau. Sangat berbeda dan itu sangat mengganggu saya. Saya jadi romantis dan naif. Ketika ada rencana mendirikan kembali majalah Pantau, semangat saya pun telah terkikis habis.<br /><br /><strong>Coen Husain Pontoh</strong> asal Bolaang Mongondow, tinggal di New York, masa Soeharto dipenjara 2.5 tahun sebagai tahanan politik, menulis buku <em>Malapetaka Demokrasi Pasar</em> (2005), <em>Gerakan Massa Menghadang Imperialisme Global</em> (2005), <em>Menentang Mitos Tentara Rakyat</em> (2004), <em>Akhir Globalisasi</em> (2003) dan <em>Utang Yang Memiskinkan</em> (2002).<br /><br /><span style="font-style: italic;">Tulisan ini dimuat dalam buku pernikahan Andreas Harsono dan Sapariah Saturi.</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-34144367.post-50177751274471221882006-10-20T21:16:00.000-07:002007-03-18T17:37:41.910-07:00Idul Fitri<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://www.indonesia-osaka.org/idul-fitri05/IMG_0497.JPG"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 200px;" src="http://www.indonesia-osaka.org/idul-fitri05/IMG_0497.JPG" alt="" border="0" /></a><em class="info"></em>Di kampung saya, desa Boroko, kecamatan Kaidipang, kabupaten Bolaang Mongondow, provinsi Sulawesi Utara (ini kebiasaan kalau nulis alamat surat jaman sekolah dulu), bulan puasa adalah sebenar-benarnya bulan penuh rahmat.<div class="snap_preview"> <p>Bagi kami yang masih kanak-kanak, sekira di bawah sepuluh tahun, bulan puasa juga bulan bertabur rejeki. Ibu saya dan nenek saya tercinta, pada bulan puasa ini, setiap hari pasti bikin kue, kolak, atau wajik dari ketan item yang enaknya luuuaaar biasa. Biasanya, ketika lagi masak-memasak itu, saya bersama adik saya pasti menemani keduanya di dapur. Sedikit-sedikit, tangan ini nyolong barang-barang mentah yang ada di sekitar: gula merah (gula jawa atau gula aren), atau susu cap nona.</p> <p>Saat berbuka puasa, adalah saat paling ditunggu-tunggu. Kami sekeluarga, duduk satu meja. Ayah saya duduknya pasti di kepala meja, dia punya gelas khusus, lebih tepatnya mangkok, hadiah dari istrinya yaitu, ibu saya, hehehehe. Cepat-cepat saya dan adik saya, duduk di meja makan, tujuannya apalagi kalau bukan <em>ngutil.</em> Dan biasanya, kakak perempuan saya yang jadi Polwan.</p> <p>Buka puasa selalu dimulai dengan proses pembacaan doa. Walaupun duduk di kepala meja, tugas membaca doa dilakukan ibu saya. Sambil memejamkan mata dengan teduh dan hikmat, mulutnya merapal:<em> bismillahhirrahmannirrahim, allahummalakasumtu…..</em> Begitu doa selesai dibaca, saya dan adik saya adalah pejuang garis depan dalam membantai makanan di atas meja. Tentu saja tak bermasalah, karena paling banyak kami hanya makan sedikit.</p> <p>Ibu saya punya aturan, buka puasa sebaiknya makan yang manis-manis: teh atau kopi, lantas sesendok-dua kolak. Setelah itu cepat-cepat sholat maghrib yang dikomandani bapak saya. Kita baru diperkenankan makan sepuasnya setelah itu, hingga menjelang sholat tarawih.</p> <p>Sholat tarawih adalah momen kegembiraan yang lain. Kami, anak-anak kecil di kampung nan sunyi itu, menjadikan sholat tarawih sebagai tempat beribadah sekaligus bermain. Biasanya saya sholat di masjid Kuala (Kuala sebenarnya nama sebuah desa, dan hanya ada satu masjid di situ), karena lebih dekat jaraknya dari rumah. Lagi-lagi, bulan puasa memang betul-betul bulan yang meriah, ibarat pasar malam. Di sekitar masjid yang diterangi dua tiga lampu lampu petromax, banyak sekali orang berjualan kacang goreng, kacang rebus, kue-kue basah, pisang, gula-gula (permen), atau rokok. Nah, setiap ke masjid, pasti kami minta uang seperak-dua perak, yang pada saat itu masih bernilai. Satu bungkus kacang goreng seukuran telapak tangan, harganya dua perak.</p> <p>Di masjid, menjelang sholat isya, tak ada yang istimewa. Begitu mau sholat tarawih, baru momen keceriaan itu muncul. Oh ya, tarawih di masjid ada dua babak. Babak pertama adalah sholat 21 rakaat, setelah itu disusul yang delapat rakaat. Nah, kami pasti ikut yang 21 itu. Ada dua keistimewaan sholat 21 ini, pertama imamnya ketika membaca surat-surat cepatnya minta ampun. Seperti keretalah, tak ada jeda sama sekali. Kebiasaan membaca cepat ini, terutama imam keturunan Arab itu, tak berubah hingga ia meninggal dunia. Momen kedua, adalah saat mengucapkan Amin tiba. Wah, kami berlomba-lomba untuk membaca paling keras, tepatnya berteriak: Aaaamiiiinnn. Asyiknya, tak ada yang marah, lagi khusyuk sih.</p> <p>Setelah tharawih, permainan lain sudah menunggu: petasan bambu, kami menyebutnya bermain petas-petasan. Sepotong bambu sepanjang dua meter, dengan sebotol minyak tanah, diteman lampu minyak kecil, sungguh menggembirakan. Karena penerangan yang kurang, baru besoknya kelihatan kalau bulu mata sudah banyak berkurang.</p> <p>Demikianlah kegembiraan itu terus berlanjut hingga menjelang lebaran. Hari raya, begitulah kami menyebutnya. Dua minggu sebelum hari raya, nenek, ibu, dan kakak perempuan saya sudah sibuk di dapur membikin segala macam ragam kue-kue. Lagi-lagi, saya bersama adik saya jadi seksi bikin sibuk, hehehe. Sementara ayah dan kakak lelaki tertua saya, mulai membeli cat dari batu kapur. Halaman rumah mulai dibersihkan, rumpur-rumput kecil mulai dicangkul, demikian juga got-got di depan rumah. Kami berlomba dengan para tetangga untuk mendandani dan membersihkan rumah masing-masing. Seminggu sebelum lebaran, setiap malam kami mulai memajang lampu-lampu botol minyak kecil-kecil di rumah sebagai penerang. Kata ayah saya, ini kewajiban agama.</p> <p>Tidak itu saja, momen lebaran berarti musim pergantian baju dan sepatu. Ibu saya mulai belanja kain ke pasar, lalu pergi ke tukang jahit. Kebiasaan ibu saya membelikan baju ini, bahkan berlanjut hingga saya kuliah di Manado. Kadang yang dibeli tak sesuai mode, tapi saya sungguh senang memakainya. Kasih ibu sepanjang masa memang, terima kasih mami (teringat Mami, air mata ini meleleh tanpa bisa ditahan).</p> <p>Begitu lebaran tiba, sholat ied selesai, semua kami pasti tampil dengan baju baru, sepatu baru, rambut baru. Pokoknya semua serba baru. Di masjid, seusai sholat kami segera menunggu-nunggu kebiasaan orang kaya di kampung, untuk melemparkan uang ke tengah-tengah kerumunan anak-anak. Itulah babak pertama perayaan lebaran. Setelah itu dengan berombongan, kami memasuki satu rumah ke rumah lainnya. Biasanya yang pertama kali kami kunjungi adalah keluarga terdekat, setelah itu tetangga sebelah-menyebelah. <em>Salam Alaikum. Minal Aidin Wal Faidzin.</em> Setelah itu duduk manis di ruang tamu, lirik sana lirik sini, menunggu dengan harap-harap cemas hidangan teh atau kopi atau sirup bersama kue-kuenya.</p> <p>Ya, di kampung saya, lebaran memang betul-betul sebuah pesta kemenangan. Rumah saya baru tutup setelah lewat pukul 12 tengah malam. Apalagi kebiasaan di kampung, berlebaran itu beramai-ramai. Karena ibu saya adalah seorang guru sekolah menengah pertama, maka tamu kami umumnya adalah anak sekolah dan mereka yang sekolah lanjut di kota dan lagi berlibur.</p> <p>Sesekali, kami merayakan lebaran di rumah oma saya di Gentuma, sebuah desa di pesisir pantai, yang kini merupakan bagian dari provinsi Gorontalo. Di desa ini, lebaran tak seramai di kampung saya. Keluarga besar oma semuanya beragama Kristen Protestan.</p> <p>Setelah saya lulus SMP dan pindah ke kota untuk sekolah lanjutan atas dan kuliah, kegembiraan merayakan lebaran pelan-pelan menyusut. Tak ada pesta, tak ada kesembiraan. Habis sholat di lapangan terbuka ya sudah, pulang ke kos-kosan. Lebih-lebih ketika di tinggal Jakarta. Kini, di New York, AS, tiba-tiba saya merindukan suasana bulan ramadhan dan lebaran di kampung saya: beribadah dengan penuh kegembiraan.</p> <p>Mami, papi, kak Is, Ci’Nen, adik U, selamat hari raya iedul Fitri, <em>minal aidin wa faidzin,</em> mohon maaf lahir dan batin.</p> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-34144367.post-75663180090876850012006-08-14T21:14:00.000-07:002007-03-18T17:39:04.357-07:00Bermain Tenis<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://www.becrd.com/images/tennis.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 320px;" src="http://www.becrd.com/images/tennis.jpg" alt="" border="0" /></a><em class="info"></em>Sejak dua minggu lalu, saya punya hobi baru: Bermain Tenis. Jangan banyangkan, saya bermain di stadion Flushing Meadows, yang hanya berjarak 15 menit, dari tempat saya tinggal jika menggunakan kereta api bawah tanah (subway). Flushing Meadows, terletak di daerah Flushing, adalah tempat dimana setiap tahunnya diselenggarakan kejuaraan tenis Amerika Terbuka.<div class="snap_preview"> <p>Ide bermain tenis ini datang dari istri saya. Ketika itu, kami berdua hendak berbelanja ke supermarket Target. Kami berencana membeli rak buku dan topi pelindung panas. Buku sudah berserakan di mana-mana, sementara istri saya paling tak suka dengan yang namanya ketidakteraturan. Pada saat yang sama, New York sedang dilanda suhu panas tak terkira, melampaui 100 derajat Fahrenheit.</p> <p>Ketika melewati taman, di daerah Elmhurst, tiba-tiba istri saya ketiban ide. “Mas, kenapa kamu nggak coba bermain tenis?” Yah, di taman itu, memang tersedia areal untuk bermain tenis, walaupun bukan lapangan tenis. Maksudnya, ada lapangan tempat orang bisa bermain tenis, dan di tengah lapangan itu, dibangun dinding beton yang cukup tinggi, yang berfungsi sebagai lawan. Jadi, kalau kita memukul bola, maka pantulannya akan sekuat bola yang kita pukul.</p> <p>“Wah, seumur-umur aku nggak pernah bermain tenis.”</p> <p>Permainan tenis memang sangat asing buat saya. Beda dengan tenis meja. Waktu masih di tingkat sekolah dasar, saya adalah juara kecamatan dalam olah raga ini, yang kemudian diutus untuk berlaga di tingkat kabupaten. Sayangnya kalah. Ketika menjadi penghuni penjara Kalisosok, Sidoarjo, Surabaya, antara tahun 1997-98, saya boleh bersombong ria, karena tak mendapat lawan tanding yang sepadan.</p> <p>Olah raga lain yang akrab, bahkan menjadi keahlian lain saya, adalah sepak takraw. Ini permainan yang dilakukan oleh enam orang, sambil menendang bola yang terbuat dari rotan. Masing-masing tim terdiri dari tiga orang. Posisi saya dalam permainan ini, semacam striker dalam cabang sepakbola. Saya paling senang melakukan smash sambil berjumpalitan di udara.</p> <p>Selain itu, bulutangkis dan terutama sepakbola, adalah kegemaran saya yang lain. Sejak mengenal Maradona, di usia tujuh tahun, saya selalu berminat terhadap olah raga terpopuler ini. Bersama sepakbola, badan ini sudah tak terhitung cacatnya: jatuh terinjak, terkilir, baku pukul di lapangan, hingga patah tulang kaki dan tangan.</p> <p>“Gak masalah,” ujar istriku setengah memaksa. “Khan cuma untuk olahraga ringan,” tambahnya. “Nanti, sampai di Target, kita beli raket tenis ama bolanya, deh.”</p> <p>Kalau istri sudah bicara, apalagi yang bisa menjadi argumentasi balik? Maka, ketika sampai di Target, malah yang dibeli bukannya rak buku, tapi raket dan bola tenis. Sejak itu, setiap akhir pekan, saya bersama istri bermain tenis bersama.</p> <p>Bermain tenis, ternyata bukan permainan yang mudah. Bahkan sangat menguras tenaga. Semula, ketika memegang raket pertama kalinya, saya coba membayangkan diri sebagai Michael Chang, jawara tenis Amerika keturunan Cina. Setelah satu dua kali memukul bola dan berlari ke sana ke mari, saya akhirnya menghapus bayangan Chang dari pikiran saya.</p> <p>“Makanya aku tak mau menganggap diriku sebagai Maria Sarapova,” ujar istriku sambil tertawa <i>ngeledek</i>.</p> <p>Karena permainan ini dilakukan di ruang publik, maka rumus yang berlaku adalah “siapa cepat dia dapat.” Jika Anda telat datang di lapangan, maka harus siap-siap untuk sabar menunggu. Tak ada aturan bahwa setiap orang hanya boleh bermain satu jam atau dua jam. Saya, misalnya, baru berhenti kalau benar-benar napas sudah sampai di tenggorokan, dan kaki sudah tidak bisa diajak berlari.</p> <p>Hari ini, saya datang ke lapangan pukul 5 pagi.</p> </div>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-34144367.post-22536844584927368512006-06-23T21:12:00.000-07:002007-03-18T17:40:33.070-07:00Tour De Library<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://www.loc.gov/exhibits/jefferson/images/vc219p1.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 320px;" src="http://www.loc.gov/exhibits/jefferson/images/vc219p1.jpg" alt="" border="0" /></a>Awal tahun 2004. Washington D.C<div class="snap_preview"> <p>Atas undangan pemerintah Amerika Serikat dalam <i>Visiting Fellowship Program</i>nya, saya akhirnya menginjakkan kaki di sini, setelah sebelumnya berada di beberapa negara bagian dan mengikuti semua jadwal yang sudah ditetapkan.</p> <p>Saya menunggu-nunggu saat ini. Berdiri di hadapan bangunan gagah bertuliskan <i>The Library of Congress.</i></p> <p>Inilah perpustakaan terbesar yang pernah saya lihat. Bangunannya kukuh, menjulang tinggi. Koleksinya jutaan. Oleh seorang kurator Filipina, saya diajak berjalan-jalan, menuju ke section tentang Indonesia.</p> <p>Beragam buku tentang Indonesia terpajang di sana. Ada karya Mc Turnan Kahin, Ben Anderson, hingga karya Pramoedya dalam bahasa Indonesia. Dari sini, saya di ajak ke ruang baca. Ruangan ini menyimpan koleksi buku yang –menurut kuratornya- jika dideretkan satu per satu, panjangnya setara jarak Washington menuju New York.</p> <p>Di ruang baca ini, saya seperti memasuki sebuah istana nan megah. Didesain agak melingkar dengan atap menjulang, di seputaran dindingnya terhampar lukisan-lukisan indah. Buat saya, membaca di tengah keindahan seperti ini adalah ajakan masuk ke dunia literatur tanpa merasa capek sedikitpun. Saya rela tersesat disini.</p> <p>Kota selanjutnya adalah Buffalo, kota terbesar kedua di negara bagian New York setelah New York City. Saya tahu kota ini identik dengan Niagara-nya. Maka, tentu saja, sebelum mengunjungi dan melihat seperti apa perpustakaan lokalnya, saya menikmati dahulu Air Terjun Niagara. Sayang, karena masih berada dalam puncak musim dinginnya, dan salju dimana-mana, Niagara tak seindah foto-foto di kartu pos yang biasa dijual di toko-toko souvenir.</p> <p>Perpustakaan pemerintah Buffalo, meskipun bersifat lokal, tetap memiliki koleksi yang bervariasi yang –lagi-lagi- jika dideretkan seluruhnya, bisa mencapai panjang lima kilometer sendiri. Terbitan abad ke 18 hingga Harry Potter edisi kedua bisa ditemukan di bangunan berlantai lima ini.</p> <p>Lima puluh persen anggota perpustakaannya adalah penduduk kota Buffalo. Setiap anggota berhak meminjam lima buku untuk dibawa pulang selama dua minggu. Jika dalam waktu enam bulan, sang anggota berkelakuan baik, tidak merusak buku, mengembalikan tepat pada waktunya, ia boleh meminjam buku sebanyak 18 buah selama dua minggu itu.</p> <p>Menarik untuk mengetahui, beberapa ruangan di perpustakaan ini didedikasikan pada orang-orang tertentu. Sebut saja ruang Mark Twain. Tentu saja di sini, digelar semua karya dari penulis kesohor bernama asli Samuel Clemens ini. Ruangan ini bisa dinamai demikian karena pengarang <i>The Adventures of Tom Sawyer</i> dan <i>Huckleberry Finn</i> ini pernah singgah di kota itu. Selain, tentu saja, sebagai penghormatan atas hasil-hasil karyanya.</p> <p>Suara langkah-langkah kaki yang riuh terdengar memasuki ruang Mark Twain. Saya melihat segerombolan anak-anak lagi tour ke sana. Kata pemandu saya, tour ini merupakan kegiatan rutin mereka bekerjasama dengan sekolah di Buffalo. Tujuannya memperkenalkan kecintaan pada buku sejak dini. Hmm, bagus.</p> <p>Saya sempat menyebut bahwa perpustakaan ini amat variatif. Tidak cuma mengoleksi buku-buku serius dari jurusan ilmu sosial maupun ilmu alam, tapi juga novel-novel Harlequien, pun Chicklit. Buku anak-anak juga tersedia. Komik ada.</p> <p>Awal tahun 2005. Perpustakaan lokal Los Angeles, California.</p> <p>Ini perpustakaan yang kecil. Tapi tetap nyaman. Mendaftar menjadi anggota sangat mudah. Tinggal tunjukkan kartu identitas yang kita punya, foto diri, mengisi formulir, lalu diberi kartu anggota.</p> <p>Memang sih, koleksi bukunya terbatas sekali. Tapi, akses internetnya bebas, meski dibatasi hanya satu jam. Tak cuma buku, disini juga ada video, DVD, dan majalah dari segala jenis. Banyak sekali anak-anak yang membaca disini. Saya ingat betul, saat saya sedang melihat-lihat buku di bagian biografi, ada seorang anak kecil, barangkali usia tujuh tahunan, sedang membaca biografi Oprah Winfrey. Selain membaca, mereka juga serius membaca komik, bermain game melalui internet, hingga yang sekadar berlarian ke sana ke mari.</p> <p>Pernah memasuki perpustakaan a la ruko? Saya pernah.</p> <p>Tempatnya ada di kota Terre Haute, kota yang cenderung bernuansa desa di negara bagian Indiana.</p> <p>Kota ini tak memiliki transportasi umum seperti di New York. Berbeda dengan New York dimana mayoritas orang berjalan kaki, di sini semua orang mengandalkan mobil pribadi untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain.</p> <p>Dari Indiana State University, jarak menuju ke ‘ruko’ berisi buku-buku ini sekitar 20 menit, memakai sepeda. Saya sedikit terhenyak mengetahui ada <i>public library</i> di deretan toko-toko dan mini market. Saya masuk, dan langsung merasakan kenyamanan. Para petugas perpustakaannya ibu-ibu yang sudah tua. Saya memandang ke kiri dan kanan (bukan sekeliling) dan merasakan betapa kecilnya perpustakaan ini. Lebih kecil dari ruko di Bekasi. Fasilitas internet di sini gratis, dan bisa dipakai selama kita mau. Kecuali jika sedang ramai, maka kita dijatah untuk memakainya satu jam saja.</p> <p>Ketersediaan bahan bacaan yang luas bagi publik di sini begitu penting dan diperhatikan oleh pemerintah setempat. Pantas saja, jika saya naik kendaraan umum, entah itu bus, pesawat, atau kereta api, saya sering melihat orang asyik dengan bacaannya masing-masing. Tidak perlu keluar uang untuk bisa membaca buku.</p> <p>Buku terbaru hingga terklasik dapat diakses. Kalau salah satu perpustakaan tidak punya koleksi buku yang kita inginkan, tidak berarti kita gagal meminjamnya. Kita diminta menunggu dalam waktu satu atau dua minggu, dan dipastikan buku itu akan tersedia. Perpustakaan ini akan mengorder buku tersebut dari perpustakaan lain.</p> <p>Lain kali, saya ingin mencari perpustakaan a la bonbin.</p> </div>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-34144367.post-64461182182270664902006-03-16T21:11:00.000-08:002007-03-18T17:50:53.584-07:00Pornografi di Amerika Serikat<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://www.dack.com/images/weblog/fat-pig-porn.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 320px;" src="http://www.dack.com/images/weblog/fat-pig-porn.jpg" alt="" border="0" /></a>Sebuah Pengalaman Pribadi<div class="snap_preview"> <p>Dalam waktu satu tahunan ini, saya menyaksikan dari dekat denyut salah satu kota tersibuk di dunia: New York, Amerika Serikat. Dengan populasi lebih dari delapan juta, New York selain kota yang begitu besar dan padat, jugalah kota yang paling beragam. Semua bangsa ada di sini, semua warna kulit, semua rupa rambut, dan semua macam bahasa. Ada.<br /></p><p>Kota yang biasa disebut sebagai <span style="font-style: italic;">Big Apple</span> ini, adalah kota yang terkenal sebagai kota berbiaya hidup termahal di Amerika Serikat, kota dengan transportasi umum terbaik, juga kota dengan iklim kebebasan yang secara kasat mata bisa dilihat di mana saja. Bebas berbicara, bebas berpikir dan mengeluarkan pendapat, bebas beragama (ataupun tidak), dan bebas berekspresi, termasuk di dalamnya adalah kebebasan berbusana. Yang terakhir ini sudah terasa begitu lumrah hingga dianggap sebagai hiburan, atau sebentuk kreasi pribadi yang patut dihormati. Sebagaimana semua orang menyaksikan dengan antusias Parade Gay di sepanjang Fifth Avenue, memotret riang kaum gay yang melenggang dengan satu atau dua helai benang saja di badan. Tidak ada yang akan meributkan hal ini apalagi sampai membuat para anggota dewan merasa perlu bertindak dengan mengeluarkan aturan-aturan berbusana. Di bawah label: pornografi.Sesuatu yang saat ini sedang terjadi di tanah air.</p> <p>Tak ada yang sebetulnya jauh berbeda antara busana para New Yorker dengan busana yang dipakai kaum perempuan di Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, misalnya. Sama-sama senang dengan berbagai model busana terbaru. Sama-sama berani memakainya dengan sepenuh jiwa dan raga. Sama-sama nyaman memamerkan pusar atau sebagian pinggul yang kelebihan lemak dengan memakai celana hipster. Senang menyembulkan sebagian (besar) belahan dada, atau memakai pakaian ketat hingga yang tampak adalah cetak biru tubuh asli si pemakai busana. Dari dulu itu sudah terjadi di depan mata. Menjadi pemandangan sehari-hari tanpa harus jadi kecemasan tersendiri.</p> <p>Saya terheran-heran: Ada apakah yang terjadi dengan mata orang-orang di Indonesia saat ini?</p> <p>Di New York, soal berbusana bukan merupakan persoalan besar dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun sering saya melihat perempuan berpakaian minim, tidak demikian halnya saat musim dingin tiba. Baik lelaki terutama perempuan, sudah berbusana dengan style yang diperuntukkan untuk musim itu. Serba tertutup dan berlapis-lapis, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Itupun tak luput dari yang namanya model busana. Dari yang basic (asal menutupi badan dan melindungi dingin), sampai yang ketat dan berumbai-rumbai. Disini, orang begitu peduli dengan gaya, atau style, atau model busana. Maka para disainer pakaian tak hanya piawai memproduksi model bikini, namun juga pakaian musim dingin. Kita baru akan melihat tubuh-tubuh minim busana secara bebas pada musim semi dan terutama musim panas. Jika di Indonesia kita baru bisa melihat bule berbikini di pantai Sanur Bali, atau di Pulau Bunaken, Sulawesi Utara, maka di New York, pada musim panas, pemandangan seperti itu bisa kita lihat di taman kota.<br /></p><p>Datanglah ke Central Park, sebuah taman kota terbesar di New York, dan Anda akan melihat perempuan berbikini yang sedang berbaring menjemur kulit di bawah terik mentari yang panas menyengat.Pemandangan itulah yang saya lihat ketika bersantai di Central Park pada musim panas tahun lalu. Ada yang berjemur bersama pasangannya sambil tidur tengkurap, ada pula yang berjemur sendirian. Saya lihat, mereka ada yang benar-benar hanya berjemur , ada pula yang tampak serius membaca buku. Tidak ada yang kemudian menjadi pusing dengan pemandangan kulit-kulit yang ingin dimandikan matahari itu. Yang ada saat itu, sekelompok orang sedang bernyanyi, saya sendiri sedang asyik menyaksikan pementasan gamelan Bali yang ditingkahi dengan tarian Bali yang indah. Para penarinya, laki-perempuan, tidak hanya berasal dari Indonesia, tapi juga ada bule dan sebagian Filipino. Sementara di jalan utama di kompleks Central Park, tampak serombongan orang yang tengah melakukan jogging, sebagiannya lagi bersepeda. Semua berjalan apa adanya, tak saling peduli dan tak saling ganggu. Darimanapun asal budaya sebelumnya. Sekolot apapun awalnya.<br /></p><p>Dampak yang saya rasakan dan lihat dari rekan sepergaulan saya yang multikultural itu, memang beragam. Tapi, paling jauh hanya omongan personal. Teman saya Miguel, asal Ekuador, misalnya, ketika melihat perempuan berpakaian mini, matanya mengerling sambil tersenyum-senyum. Sesekali ia bersiul pelan, nyaris tak terdengar. Lain lagi dengan Abdul, yang dari Pakistan, pura-pura tak melihat tak pula tersenyum. Andrew yang asal Filipina, cuek saja. Atau Budatsir dari India, yang terpaku kaku melihat pameran lekuk tubuh itu.</p> <p>Bagaimana reaksi Anda jika melihat adegan cium yang panas di depan mata? Saya pernah melihat orang saling berciuman mesra di sebuah mall besar di daerah Jakarta Selatan. Tidak ada yang meributkan adegan itu. Sebagian saya lihat menjadi jengah sendiri. Tapi tidak ada yang kemudian datang ke tempat itu dan menegur si pelaku adegan cium itu untuk berhenti. “Sirik tanda tak mampu,” begitu kata istri saya iseng jika benar ada petugas yang datang menegur. Sama seperti halnya orang-orang saat melihat sepasang kekasih berciuman panas di atas sebuah kursi taman Bryant Park, salah satu taman yang sering dijadikan sebagai tempat peragaan busana para disainer di seluruh dunia. Saya adalah salah satu saksi adegan panas ciuman di Bryant Park. Tepatnya ketika saya dipotret untuk kebutuhan buku terbitan yayasan Pantau. Semeter dari tempat saya dipotret, adegan itu berlangsung beriringan dengan komando visualisasi dari Rohana, juru potret saya.<br /></p><p>“Apakah mereka tak takut ditangkap polisi atau petugas penjaga taman?” iseng-iseng saya bertanya pada sang fotografer bule itu.</p><p>“Tidak, kecuali kalau mereka sudah sampai pada berhubungan seksual di tempat itu,” jawabnya singkat.</p> <p>Kedengarannya memang begitu bebas ya, tetapi tidak demikian. Kota besar seperti New York membebaskan warganya untuk berbuat apa saja, berekspresi apa saja, namun semuanya berjalan di koridor yang memiliki batas normal. Seperti apa sih yang disebut keluar dari batasan normal itu disini?</p><p>Sekali waktu, suatu pagi musim gugur, bertempat di Queens Mall, yang terletak di Woodhaven Boulevard, Queens, saya melihat seorang perempuan cantik keturunan Cina, berjalan pelan-pelan sambil mencopoti satu persatu pakaiannya. Dengan santai ia berjalan dan akhirnya berlari-lari sampai akhirnya tak ada satu helai pun benang menempel di tubuhnya. Tubuh montok dan mulusnya itu dipertontonkan dengan suka cita. Ia pun menjadi tontonan orang ramai. Sebagian orang tampak terkejut dan terhenyak. Saya sendiri tertawa tak percaya pada apa yang saya lihat. Tak berapa lama kemudian, sebuah mobil polisi mendekat. Perempuan cantik berkulit kuning itu pun segera dipakaikan jas penutup badan dan tangannya diborgol. Masyarakat sekitar tak lagi gempar. Dan perempuan tadi pun telah diamankan.</p> <p>Di sini, perempuan tampaknya lebih dilindungi oleh UU ketimbang laki-laki. Suami yang memukul istrinya, entah dilaporkan entah tidak, jika ketahuan polisi, si suami bisa diajukan ke pengadilan. Tak ada alasan bahwa ini masalah pribadi atau urusan rumah tangga. Jika ada perempuan seksi lewat di depan hidung kita lalu kita bersiul dan si perempuan tersinggung, ia bisa melaporkan kita ke polisi. Dan polisi akan langsung bertindak, tanpa harus membuat perempuan si pelapor merasa malu terlebih dahulu atau keluar duit banyak untuk bisa membuat laporannya diproses. Tak ada yang porno dalam soal ini.</p> <p>Porno, mengutip Romo Franz Magnis Suseno, adalah segala apa yang merendahkan manusia menjadi obyek nafsu seksual saja.</p> <p>Tentu saja hal itu ada di kota sekompleks New York.</p> <p>Salah satu salurannya adalah TV kabel. Bagi penggemar tontonan pornografi, televisi kabel di New York, siap memuaskan kebutuhan seksual para pemirsanya. Ada yang gratis, ada pula yang harus dibayar. Yang gratis digeber selepas jam dua belas malam hingga menjelang subuh. Kategori seks tontonan ini melebihi adegan seks Sharon Stone dan Michael Douglas dalam Basic Instinct atau Angelina Jolie dan Antonio Banderas dalam Original Sin. Untuk mencegah anak-anak menonton film gratisan ini, setiap TV Kabel selalu melengkapi penggunanya dengan pengunci channel. Hanya bisa dibuka dengan <span style="font-style: italic;">password</span> yang diketahui oleh si pengunci (biasanya adalah orangtua atau siapapun yang merasa bertanggung jawab mengontrol konsumsi mata anak-anak usia remaja).</p> <p>Sekarang, bagaimana dengan peredaran majalah yang dikategorikan porno? Di New York, seperti juga di Jakarta atau di kota-kota lainnya di Indonesia, ada banyak pedagang kaki lima yang menjual koran dan majalah. Di sini, kios-kios kecil itu bersebut Newstand. Kehadiran newstand ini hampir selalu ada di setiap sudut kota. Begitu mudah dijangkau siapa saja. Di Newstand, koran atau majalah yang dijual bervariasi. Mulai dari koran kuning hingga koran serius, dari majalah gosip hingga majalah yang isinya adalah pamer badan, seperti Maxim dan FHM.</p> <p>Jika ingin melihat majalah pamer badan, tinggal datang ke 42 Street Port Authority. Tempat ini adalah salah satu spot tersibuk di New York: stasiun kereta api dan bis di New York. Di Newstand yang ada di dalam kompleks stasiun itu, kita bisa menjumpai majalah bergambar syur yang bebas dibuka. Majalah ini tidak diberi sampul, ada yang berbahasa Inggris, ada pula yang berbahasa Spanyol. Saya sempat membuka-buka majalah tersebut tapi tidak tahu apakah majalah ini dijual terbatas pada kelompok umur tertentu. Yang jelas, mayoritas para penjual itu selalu menanyai setiap orang yang membeli rokok dengan <span style="font-style: italic;">“Can I See Your ID, Please?”</span><br />Saya belum pernah mendengar pertanyaan yang sama untuk mereka yang membeli majalah seperti Maxim atau FHM yang tingkat buka-bukaanya tak sesyur Playboy atau Penthouse. Entah kenapa, saya juga tidak pernah menemui majalah Playboy atau Penthouse di setiap Newstand yang saya datangi.</p> <p>Berdasarkan laporan kriminal FBI tahun 2004 yang dirilis di New York Crime Statistic 2004, statistik jenis kriminal dan kekerasan di New York sebagian besar melebihi angka statistik kriminal dan kekerasan secara nasional di Amerika, diantaranya yang menonjol adalah pembunuhan (sebanyak 570 kejadian), dan perampokan (24373 kejadian). Tapi tidak demikian halnya dengan angka pemerkosaan yang jumlah kejadiannya lebih kecil dari angka statistik kriminal dan kekerasan secara nasional di Amerika. Artinya, kebebasan berekspresi pada busana tak ada hubungannya sama sekali dengan pikiran ngeres atau naiknya birahi yang ingin saluran tak berjuntrung.</p> <p>Maka, sekali lagi, saya terheran-heran dengan apa yang terjadi di tanah air tercinta. Minim busana sudah tercipta dari dulu di beberapa kota di Indonesia: Bali, atau Papua. Juga yang memasukkan unsur gaya seperti yang terjadi di beberapa kota besarnya. Berekspresi kian bebas terjadi, tanpa membuat orang menjadi huru-hara mengerem birahi. Dari dulu itu sudah terjadi di depan mata. Menjadi pemandangan sehari-hari tanpa harus jadi kecemasan tersendiri.</p> <p>Jadi, ada apakah yang terjadi dengan mata orang-orang di Indonesia saat ini?</p> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-34144367.post-40736890794031045832005-08-30T11:25:00.000-07:002007-03-05T11:26:21.303-08:00Cak Nur<div class="snap_preview"><p>Membaca kepergian Cak Nur ke alam barzakh, seketika saya merasa sedih. Saya tak kenal dekat dengan Cak Nur, tak pernah pula bertegur sapa. Tapi saya merasa sangat dekat, sedekat urat leher, meminjam bahasa Al-Quran.</p> <p>Saya pertama kali mengenal Cak Nur, di suatu malam, di lantai tiga sebuah gedung milik seorang pengusaha muslim terkemuka di Manado, Sulawesi Utara, almarhum Aris Patangari. Di lantai tiga itu bermarkas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Manado.</p> <p>Malam itu, sekira tahun 1991, saya adalah anggota baru HMI yang tengah mengikuti latihan kepemimpinan I (LK-I atau basic training). Dari seluruh materi LK-I yang wajib diikuti, yang paling menarik dan menggugah saya dan kemudian mengubah seluruh arah hidup saya adalah materi Nilai Identitas Kader (NIK). NIK ini adalah semacam manifesto HMI, seperti garis ideologi kata orang pergerakan. Dokumen itu memuat nilai-nilai dasar yang harus dianut, diyakini dan dipraktekkan oleh seluruh kader HMI. NIK ini ditulis oleh Nurcholish Madjid atau Cak Nur.</p> <p>Malam itu, yang menjadi mentor saya dalam materi NIK adalah Anang Otoluwa, seorang dokter muda (Sked) yang berperawakan mungil. Tapi, jangan tanya kepiawaiannya dalam berargumentasi, kejernihannya dalam mengutarakan isi pikirannya. Kak Anang, demikian kami memanggilnya, mengajak kami membaca dan mendiskusikan apa-apa yang termaktub dalam NIK. Seingat saya, kami terlibat diskusi dari sehabis sholat Isya hingga menjelang sholat subuh.</p> <p>Malam itu, untuk pertama kalinya, saya membicarakan dan juga mempertanyakan tentang ajaran Islam. Untuk pertama kalinya, saya mendiskusikan secara terbuka, toleran dan bergairah tentang bagaimana seharusnya menjadi seorang muslim. Sebelumnya, hal seperti itu tak pernah terjadi. Saya cukup puas jika sudah menjalankan ritual Islam, khususnya sholat, puasa dan ngaji. Malam itu, saya memperoleh pesan yang sangat mendalam dari NIK. Pesan yang hingga kini saya pegang sekuat tenaga: keadilan, humanisme, dan pluralisme.</p> <p>Setelah malam itu, saya menjadi seorang pengagum berat Cak Nur. Saya memburu seluruh tulisan beliau dan juga kaset-kaset Cak Nur yang direkam saat memberikan ceramah di diskusi KKA Paramadina. Mulai dari bukunya yang paling tebal seperti “Islam Kemodernan dan Keindonesiaan” sampai pamflet-pamflet yang dipersiapkan untuk diskusi KKA, saya lahap. Padahal di Manado saat itu, untuk mendapatkan buku, tulisan atau kaset Cak Nur bukanlah pekerjaan gampang. Sejak saat itu, saya akrab dengan tema Islam inklusif, istilah al-hanafiah al-samhah, statemen “Tidak ada Tuhan selain Tuhan,” sekularisasi tapi bukan sekularisme, berprasangka baik, toleran, dsb. Sebisa mungkin, sadar atau tidak, saya menjalani nilai-nilai ini.</p> <p><img src="http://i17.photobucket.com/albums/b79/in-a-viewfinder/RL000944.jpg" alt="Image hosted by Photobucket.com" /></p> <p>Setelah malam itu, gairah intelektual saya bergeser. Sebelum malam itu, sebagai seorang mahasiswa fakultas peternakan, saya akrab dengan biologi, biokimia, fisiologi, matematika dan ekonometrik. Saya sangat bergairah jika sudah mengutak-atik rumus-rumus matematika atau menghapal rumus-rumus biokimia. Tapi, setelah malam itu, saya menjadi tertarik dengan ilmu-ilmu sosial: politik, sejarah, ekonomi, dan filsafat. Saya belajar otodidak soal sosiologi dan ekonomi pembangunan sama bergairahnya ketika saya belajar diferensial dan kalkulus.</p> <p>Setelah malam itu, saya membaca buku-buku tentang pemikiran Islam. Saya mulai mengenal para intelektual Islam, mulai dari Dawam Rahardjo, Amien Rais, Imaduddin Abdurrahim, Gus Dur, Kuntowidjojo, hingga Jalaluddin Rahmat. Saya membaca pemikiran mereka hingga tuntas.</p> <p>Dari sekian bacaan saya, tetap saja NIK menjadi dasar pijakan saya, khususnya tentang keadilan, humanisme dan pluralisme. Makin lama saya merasa nilai-nilai keadilan itu semakin penting. Ceritanya, pada suatu hari saya menyaksikan penggusuran rumah di pinggiran kota Manado. Sang pemilik berteriak menjerit-jerit menyeru nama Tuhan Jesus, untuk membantunya agar tidak digusur oleh petugas ketentraman dan ketertiban (tramtib). Tapi Jesus tak datang dan penggusuran pun sukses. Saya menangis menyaksikan kejadian itu dan saya bertekat menentang peristiwa itu. Pada titik ini, buku kang Jalal yang berjudul “Islam Aktual” jadi sangat menarik buat saya. Buku itu menurut saya memuat pesan keadilan yang lebih jelas ketimbang karya-karya Cak Nur yang terlalu filosofis. NIK pelan-pelan membawa saya menjauh dari pikiran-pikiran Cak Nur, yang menurut saya terlalu elitis.</p> <p>Pergeseran itu mengantar saya mendekat pada aliran Syiah Imam Dua Belas. Selama setahun penuh, setiap selesai sholat subuh, saya berguru pada seorang ustadz yang beraliran Syiah. Saya belajar tentang sejarah Islam, sejarah kemunculan Islam Syiah, sejarah konflik antara Sunni dan Syiah, tentang mazhab Ja’fariah. Saya jadi hapal detil-detil konflik di antara mereka, saya menangis tersedu-sedu jika mendengar guru saya membaca doa imam keempat, saya terkagum-kagum pada kitab Nahjul Balaghah karya Imam Ali as. Saya pun berkenalan dengan intelektual-intelektual Syiah seperti Ali Syariati, Murtadha Muthahhari, Baqir Sadr, Allamah Sayyid Tabhatabai, dan juga Suhrawardi. Terutama Ali Syariati, saya memberi perhatian khusus kepadanya. Hampir seluruh buku-buku dan tulisan-tulisan mengenai tokoh ini saya lahap. Saya suka pada slogan yang dikumandangkannya: “Setiap hari adalah Asyura, Setiap tempat adalah Karballa, dan setiap orang adalah Husain.” Saya juga senang dengan pengkategoriannya tentang mustadhafin dan mustakbirin.</p> <p>Tapi, NIK juga yang membawa saya menjauh dari Syiah, karena saya tidak puas dengan penjelasan soal kepemimpinan yang turun-temurun. Berbekal NIK, saya mulai berkenalan dengan paham strukturalis, yang saat itu pertama kali saya baca dari bukunya Arief Budiman. Saya mulai asyik dengan teori Ketergantungan dan keterbelakangan yang diusung oleh Andre Gunder Frank and the gang. Makin hari, saya makin jauh dari Cak Nur, saya melihat pemikiran sosial Cak Nur sangat dekat dengan modernisme (walaupun dalam pohon pemikiran Islam Indonesia ia dikategorikan sebagai pemikir Neo-Modernis). Saya lihat Cak Nur gagal menjelaskan mengapa di bawah modernisme ketidakadilan dan kekerasan justru kian meningkat? Lama kelamaan saya merasa Cak Nur semakin menjadi seorang sufi, ia menjadi begawan yang tak tersentuh, yang pemikirannya melangit di tengah-tengah ketidakadilan yang membumi.</p> <p>Penjelasan tentang keadilan dan humanisme yang paling terang, saya baca ketika berkenalan dengan Marxisme. Marxisme, menurut saya dengan gamblang menjelaskan mengapa ketidakdilan itu muncul dan bagaimana memberantasnya. Bahwa ketidakadilan itu adalah produk sejarah, hasil pergulatan manusia yang nyata. Bahwa seseorang menjadi tidak adil bukan karena takdir, bukan karena bawaan sejak lahir tapi, karena ia hidup dan bergulat dalam sistem sosial yang timpang. Karena itu prasangka personal baik yang buruk atau yang baik harus diletakkan dalam porsi sejarah. Tak boleh ada penghakiman semena-mena terhadap individu atau sebaliknya pengagungan berlebihan. Individu ditentukan oleh sejarah, oleh keadaan dan bergulat di dalamnya.</p> <p>Sampai di sini, saya seperti ditarik kembali mendekat pada Cak Nur. Saya melihat bahwa ujar-ujar Cak Nur, agar selalu berprasangka baik, bersikap adil bukan semata pesan moral. Pesan itu justru sarat kandungan historis. Karena itulah saya tak ragu-ragu mengkaji Marxisme, saya tak merasa keislaman saya terganggu sebiji dzarah pun dengan belajar Marxisme. Saya justru merasa semakin sadar dalam berIslam, semakin meyakini pesan-pesan universal dan abadi yang dikandungnya: kemanusiaan, keadilan, pembebasan, rahmat bagi seluruh alam, dst.</p> <p>Selamat jalan Cak Nur.</p> </div>Unknownnoreply@blogger.com2