Cak Nur

Membaca kepergian Cak Nur ke alam barzakh, seketika saya merasa sedih. Saya tak kenal dekat dengan Cak Nur, tak pernah pula bertegur sapa. Tapi saya merasa sangat dekat, sedekat urat leher, meminjam bahasa Al-Quran.

Saya pertama kali mengenal Cak Nur, di suatu malam, di lantai tiga sebuah gedung milik seorang pengusaha muslim terkemuka di Manado, Sulawesi Utara, almarhum Aris Patangari. Di lantai tiga itu bermarkas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Manado.

Malam itu, sekira tahun 1991, saya adalah anggota baru HMI yang tengah mengikuti latihan kepemimpinan I (LK-I atau basic training). Dari seluruh materi LK-I yang wajib diikuti, yang paling menarik dan menggugah saya dan kemudian mengubah seluruh arah hidup saya adalah materi Nilai Identitas Kader (NIK). NIK ini adalah semacam manifesto HMI, seperti garis ideologi kata orang pergerakan. Dokumen itu memuat nilai-nilai dasar yang harus dianut, diyakini dan dipraktekkan oleh seluruh kader HMI. NIK ini ditulis oleh Nurcholish Madjid atau Cak Nur.

Malam itu, yang menjadi mentor saya dalam materi NIK adalah Anang Otoluwa, seorang dokter muda (Sked) yang berperawakan mungil. Tapi, jangan tanya kepiawaiannya dalam berargumentasi, kejernihannya dalam mengutarakan isi pikirannya. Kak Anang, demikian kami memanggilnya, mengajak kami membaca dan mendiskusikan apa-apa yang termaktub dalam NIK. Seingat saya, kami terlibat diskusi dari sehabis sholat Isya hingga menjelang sholat subuh.

Malam itu, untuk pertama kalinya, saya membicarakan dan juga mempertanyakan tentang ajaran Islam. Untuk pertama kalinya, saya mendiskusikan secara terbuka, toleran dan bergairah tentang bagaimana seharusnya menjadi seorang muslim. Sebelumnya, hal seperti itu tak pernah terjadi. Saya cukup puas jika sudah menjalankan ritual Islam, khususnya sholat, puasa dan ngaji. Malam itu, saya memperoleh pesan yang sangat mendalam dari NIK. Pesan yang hingga kini saya pegang sekuat tenaga: keadilan, humanisme, dan pluralisme.

Setelah malam itu, saya menjadi seorang pengagum berat Cak Nur. Saya memburu seluruh tulisan beliau dan juga kaset-kaset Cak Nur yang direkam saat memberikan ceramah di diskusi KKA Paramadina. Mulai dari bukunya yang paling tebal seperti “Islam Kemodernan dan Keindonesiaan” sampai pamflet-pamflet yang dipersiapkan untuk diskusi KKA, saya lahap. Padahal di Manado saat itu, untuk mendapatkan buku, tulisan atau kaset Cak Nur bukanlah pekerjaan gampang. Sejak saat itu, saya akrab dengan tema Islam inklusif, istilah al-hanafiah al-samhah, statemen “Tidak ada Tuhan selain Tuhan,” sekularisasi tapi bukan sekularisme, berprasangka baik, toleran, dsb. Sebisa mungkin, sadar atau tidak, saya menjalani nilai-nilai ini.

Image hosted by Photobucket.com

Setelah malam itu, gairah intelektual saya bergeser. Sebelum malam itu, sebagai seorang mahasiswa fakultas peternakan, saya akrab dengan biologi, biokimia, fisiologi, matematika dan ekonometrik. Saya sangat bergairah jika sudah mengutak-atik rumus-rumus matematika atau menghapal rumus-rumus biokimia. Tapi, setelah malam itu, saya menjadi tertarik dengan ilmu-ilmu sosial: politik, sejarah, ekonomi, dan filsafat. Saya belajar otodidak soal sosiologi dan ekonomi pembangunan sama bergairahnya ketika saya belajar diferensial dan kalkulus.

Setelah malam itu, saya membaca buku-buku tentang pemikiran Islam. Saya mulai mengenal para intelektual Islam, mulai dari Dawam Rahardjo, Amien Rais, Imaduddin Abdurrahim, Gus Dur, Kuntowidjojo, hingga Jalaluddin Rahmat. Saya membaca pemikiran mereka hingga tuntas.

Dari sekian bacaan saya, tetap saja NIK menjadi dasar pijakan saya, khususnya tentang keadilan, humanisme dan pluralisme. Makin lama saya merasa nilai-nilai keadilan itu semakin penting. Ceritanya, pada suatu hari saya menyaksikan penggusuran rumah di pinggiran kota Manado. Sang pemilik berteriak menjerit-jerit menyeru nama Tuhan Jesus, untuk membantunya agar tidak digusur oleh petugas ketentraman dan ketertiban (tramtib). Tapi Jesus tak datang dan penggusuran pun sukses. Saya menangis menyaksikan kejadian itu dan saya bertekat menentang peristiwa itu. Pada titik ini, buku kang Jalal yang berjudul “Islam Aktual” jadi sangat menarik buat saya. Buku itu menurut saya memuat pesan keadilan yang lebih jelas ketimbang karya-karya Cak Nur yang terlalu filosofis. NIK pelan-pelan membawa saya menjauh dari pikiran-pikiran Cak Nur, yang menurut saya terlalu elitis.

Pergeseran itu mengantar saya mendekat pada aliran Syiah Imam Dua Belas. Selama setahun penuh, setiap selesai sholat subuh, saya berguru pada seorang ustadz yang beraliran Syiah. Saya belajar tentang sejarah Islam, sejarah kemunculan Islam Syiah, sejarah konflik antara Sunni dan Syiah, tentang mazhab Ja’fariah. Saya jadi hapal detil-detil konflik di antara mereka, saya menangis tersedu-sedu jika mendengar guru saya membaca doa imam keempat, saya terkagum-kagum pada kitab Nahjul Balaghah karya Imam Ali as. Saya pun berkenalan dengan intelektual-intelektual Syiah seperti Ali Syariati, Murtadha Muthahhari, Baqir Sadr, Allamah Sayyid Tabhatabai, dan juga Suhrawardi. Terutama Ali Syariati, saya memberi perhatian khusus kepadanya. Hampir seluruh buku-buku dan tulisan-tulisan mengenai tokoh ini saya lahap. Saya suka pada slogan yang dikumandangkannya: “Setiap hari adalah Asyura, Setiap tempat adalah Karballa, dan setiap orang adalah Husain.” Saya juga senang dengan pengkategoriannya tentang mustadhafin dan mustakbirin.

Tapi, NIK juga yang membawa saya menjauh dari Syiah, karena saya tidak puas dengan penjelasan soal kepemimpinan yang turun-temurun. Berbekal NIK, saya mulai berkenalan dengan paham strukturalis, yang saat itu pertama kali saya baca dari bukunya Arief Budiman. Saya mulai asyik dengan teori Ketergantungan dan keterbelakangan yang diusung oleh Andre Gunder Frank and the gang. Makin hari, saya makin jauh dari Cak Nur, saya melihat pemikiran sosial Cak Nur sangat dekat dengan modernisme (walaupun dalam pohon pemikiran Islam Indonesia ia dikategorikan sebagai pemikir Neo-Modernis). Saya lihat Cak Nur gagal menjelaskan mengapa di bawah modernisme ketidakadilan dan kekerasan justru kian meningkat? Lama kelamaan saya merasa Cak Nur semakin menjadi seorang sufi, ia menjadi begawan yang tak tersentuh, yang pemikirannya melangit di tengah-tengah ketidakadilan yang membumi.

Penjelasan tentang keadilan dan humanisme yang paling terang, saya baca ketika berkenalan dengan Marxisme. Marxisme, menurut saya dengan gamblang menjelaskan mengapa ketidakdilan itu muncul dan bagaimana memberantasnya. Bahwa ketidakadilan itu adalah produk sejarah, hasil pergulatan manusia yang nyata. Bahwa seseorang menjadi tidak adil bukan karena takdir, bukan karena bawaan sejak lahir tapi, karena ia hidup dan bergulat dalam sistem sosial yang timpang. Karena itu prasangka personal baik yang buruk atau yang baik harus diletakkan dalam porsi sejarah. Tak boleh ada penghakiman semena-mena terhadap individu atau sebaliknya pengagungan berlebihan. Individu ditentukan oleh sejarah, oleh keadaan dan bergulat di dalamnya.

Sampai di sini, saya seperti ditarik kembali mendekat pada Cak Nur. Saya melihat bahwa ujar-ujar Cak Nur, agar selalu berprasangka baik, bersikap adil bukan semata pesan moral. Pesan itu justru sarat kandungan historis. Karena itulah saya tak ragu-ragu mengkaji Marxisme, saya tak merasa keislaman saya terganggu sebiji dzarah pun dengan belajar Marxisme. Saya justru merasa semakin sadar dalam berIslam, semakin meyakini pesan-pesan universal dan abadi yang dikandungnya: kemanusiaan, keadilan, pembebasan, rahmat bagi seluruh alam, dst.

Selamat jalan Cak Nur.

Newer Posts Home