"Buku adalah jendela dunia."

Slogan ini saya baca pertama kali dari katalog buku penerbit Mizan, Bandung, pada awal dekade 90an. Dan saya percaya dengan slogan itu. Itu sebabnya, setiap terjadi pembakaran atas buku, saya selalu sedih dan marah. Para pejabat keji itu tak tahu, bahwa mereka tidak hanya membakar buku tapi, juga telah membakar dunia.

Tetapi, entah kenapa, pejabat di Indonesia, terutama birokrat hukum, selalu menempatkan diri mereka sebagai orang dungu. Mereka pikir, mereka bertindak benar, hendak melindungi rakyat dari pengaruh buruk buku "tak bermutu." Sungguh, sungguh ironis. Dan itulah yang mereka lakukan pada Juli lalu, dengan membakar buku secara massal.

Tindakan barbar itu, tentu saja harus dilawan. Dan saya secara sadar melibatkan diri dalam barisan perlawanan itu. Di tengah-tengah situasi itu, muncul surat terbuka dari Arya Gunawan, seorang mantan wartawan BBC London, yang kini bergiat di lembaga PBB, UNESCO, Jakarta. Dalam surat terbuka itu, Arya mengatakan bahwa para penentang pembakaran buku itu, melupakan satu fakta penting bahwa Pramoedya Ananta Toer (PAT), juga pernah terlibat dalam aksi bakar buku pada dekade 1960an. Surat Arya yang menyebar ke berbagai jaringan surat elektronik (mailing list) itu, membuat saya tertegun. Apa benar PAT pernah terlibat pembakaran buku? Tapi, rupanya bukan saya saja yang mempertanyakan informasi dari Arya ini. Di berbagai milis, pertanyaan senada juga muncul.

Saya kemudian menulis surat kepada Arya, melalui rekan saya Andreas Harsono:

"Saya sendiri, ketika membaca info dari Arya soal Pram bakar buku, merasa ragu. Pram adalah pustakawan tersohor pada masanya, ini kata sejarawan senior Ong Hok Ham, pada saat peluncuran buku Pram "Kronik Sejarah Indonesia." Coba gimana bisa nulis Kronik, yang sumbernya dari berbagai macam aliran, kalau ia sendiri pernah bakar buku orang?

Lalu Arya bilang, sumber datanya dari buku Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto. Bung Arya, kok bisa anda tidak kritis terhadap sumber? Soalnya, pelaku sejarah yang lain, seperti Mas Goen atau Rm. Magnis yang sangat teliti itu, masak alpa kalau Pram pernah bakar buku. Artinye, sebagai wartawan atau intelektual, anda harus kritis terhadap klaim satu pihak. Jangan terburu-buru ambil kesimpulan trus disebar-sebarin. Kayak buku "Prahara Budaya" itu kitab suci aja."

-C
~~~~~~~~~~~~

Surat saya ini, bersama surat-surat senada, kemudian mendapatkan tanggapan panjang lebar dari Arya Gunawan (klik di
sini. Terhadap tanggapan Arya ini, saya memberikan tanggapan balik, sebagai berikut:

Bung Arya,

Saya sungguh kagum dengan militansi anda, untuk meyakinkan saya bahwa Pram memang pernah membakar buku atau paling tidak "diam" ketika ada pembakaran buku. Saya sendiri telah kehilangan militansi semacam itu.



Sayang sekali, surat anda yang panjang lebar itu tidak membantu sama sekali dalam mendukung militansi itu. Lebih sedihnya lagi, untuk orang sekaliber anda yang luas pergaulan dan telah banyak makan asam garam dunia jurnalistik, data-data yang anda usung sebagai "fakta," sangatlah sumir.



Pertama, anda sama sekali tidak cover both sides (sesuatu yang paling minimal dalam standar jurnalistik yang benar), dalam pengutipan sumber. Anda terus saja menjejalkan opini (bukan fakta keras) dari para penentang Pram dan Lekra. Anda sama sekali tidak mempertimbangkan bahwa Pram sendiri pernah membantah keterlibatannya dalam aksi bakar buku. 



Bung, pembakaran adalah kejahatan yang serius, dan anda menyulutnya menjadi kontroversi ketika melibatkan diri seorang Pram. Bagaimana mungkin anda bisa tiba pada kesimpulan bahwa Pram terlibat pembakaran buku, hanya dari satu sumber, dari mereka yang menentangnya, khususnya lagi dari "Prahara Budaya."? Tentu saja kalau anda melakukan metode cover both side, anda mesti meragukan klaim Prahara Budaya." Ditambah catatan, kontroversi itu tentu tidak otomatis selesai. Maka, anda tetap tidak boleh mengambil kesimpulan serampangan begitu. Majulah ke tahap selanjutnya, disiplin verifikasi. Kalau anda mengelak bahwa anda tidak punya cukup waktu, kenapa lantas menjatuhkan wibawa anda dengan kesimpulan mentah? 



Ah, bung Arya, militansi anda mengingatkan saya ketika baru mulai menjadi aktivis mahasiswa tahun 90an. Padahal, zaman sudah berubah, militansi saja tidak cukup bung. Ketelitian, kesabaran, kebajikan untuk membuka diri terhadap kebenaran yang lain, sungguh-sungguh lebih penting.



Kedua, anda mengutip kata-kata "pembersihan" yang ditulis oleh Pram dalam lembar budaya Lentera di koran Harian Rakyat (HR) (katakanlah saya terima bahwa HR tgl 3 itu valid adanya). Dengan kata "pembersihan" itu, bung anggap Pram telah menyulut, atau memprovokasi pembakaran buku.

Bung, lagi-lagi saya terpaksa mengatakan bahwa anda terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Anda sama sekali tidak meneliti secara seksama "politik bahasa" pada masa itu, dan dengan beraninya melakukan interpretasi dalam konteks politik bahasa kekinian, suatu tindakan yang a-historis. Anda sungguh-sungguh mengabaikan semiotika di sini. Lupakah anda, bahwa di masa itu, slogan-slogan semacam revolusi, ganyang, hancurkan, bangun lagi, kontra-revolusi, Amerika kita setrika, Inggris kita linggis, retool, oldefo-conefo, adalah bahasa yang umum dipakai semua pihak? Bahkan tentara yang paling konservatif dan reaksioner pun, memakai istilah revolusi dalam slogan-slogannya. 


Coba anda bandingkan, antara pidato atau tulisan Pram yang seperti itu, dengan pidato atau tulisan seorang Isa Anshary, tokoh Masyumi yang paling anti PKI? Sama-sama keras bung. Toh, kita tidak bisa bilang bahwa Isa Anshary terlibat pembantaian terhadap anggota atau simpatisan PKI. Iya khan?



Dan anda juga tahu, bahasa yang lemah gemulai, tidak berarti membawa pesan damai. Mau contoh? Coba pulang sedikit ke masa Orba, dimana para pemimpin suka sekali bilang "amankan (tangkap)," "sesuaikan (naikkan harga)," "gebuk (sikat)," "pembangunan (tunduk patuh)," "anti-pembangunan (pengkhianat)," "Pancasila (dogmatisme)," dsb. 



Ketiga, katakanlah Pram memang benar menulis dengan keras, sekeras-kerasnya terhadap lawan-lawan politiknya. Bung, apa yang salah dengan itu? Apa yang salah dengan polemik? Saya kasih contoh sederhana polemik yang keras:



COEN: Arya itu provokator, ingin mengalihkan persoalan dari bakar buku.

ARYA: Saya bukan mengalihkan persoalan, saya mengingatkan Coen agar dia jangan lupa pada sejarah. Yang provokator itu Coen.



COEN: Kok bisa Arya terus mengelak. Dasar provokator. Sekali provokator tetap provokator.



ARYA: Lha yang provokator itu Coen. Buktinya, ia tak juga mengerti apa maksud saya, dan terus saja menuduh saya provokator.



Apa yang salah dengan polemik paling keras macam begini? Tentu tidak ada, paling-paling, yang membaca pada muntah. Polemik kok dangkal begitu. Menjadi soal, ketika para polemikus ini melakukan tindakan kekerasan fisik kepada lawan polemiknya. 



Nah, menurut Anda, pada saat itu siapa yang melakukan serangan fisik kepada lawan polemiknya? Mas Goen bilang bahwa beberapa aktivis Manifes Kebudayaan, dihalang-halangi kegiatannya, diberhentikan dari jabatannya, atas pengaruh atau desakan Lekra. Dari mana kita bisa memastikan bahwa memang semua tindakan pemberangusan itu adalah hasil dari pengaruh atau desakan Lekra? Yang pasti, yang menghalang-halangi itu adalah polisi. Lha, jangan juga menutup mata bahwa banyak kok aktivitas PKI yang dihalang-halangi oleh Tentara. Dan beberapa anggota Manifes punya kesaman aspirasi politik dengan tentara. 



Kalau polemik terbuka anda nilai sebagai provokasi, betapa berbahayanya. Provokasi dilakukan oleh setan jalanan, mereka yang pengecut, yang suka memancing di air keruh. Pram jauh dari itu. Dia secara terbuka mengemukakan pendapat-pendapatnya, dan tidak pernah melarang orang membantahnya. Dia tidak pernah melarang Mochtar Lubis atau Rosihan Anwar, atau Wiratmo Soekita, untuk menuliskan pendapatnya. Bahwa Pram dominan saat itu, ya karena secara politik PKI memang partai terbesar saat itu.



Keempat, bung Arya, anda terlalu berlebih-lebihan memandang pengaruh Pram terhadap organisasi PKI. Benar Pram secara individu sudah diperhitungkan kala itu tapi, suaranya sungguh tidak dominan apalagi menentukan dalam struktur pengambilan keputusan PKI. Dia juga bukan anggota PKI dan tidak duduk dalam struktur tertinggi PKI. Bahkan, di HR sendiri, Pram kalah wibawa dengan Nyoto, sang pemred yang begitu berpengaruh. 



Dalam perbandingan saat ini, Pram bukanlah kiai Hilmi yang duduk di dewan syuro PKS, yang suaranya begitu powerfull.



Sehingga ketika anda menarik kesimpulan bahwa artikel Pram di Lentera itu memberikan pengaruh besar pada tindakan aktivis PKI, anda lagi-lagi menarik kesimpulan yang prematur.***

Boroko

Hari ini, iseng-iseng saya mencari desa saya, Boroko, di mesin pencari Google. Keisengan ini dipicu oleh rasa rindu tak terkira, sehabis membaca edisi khusus majalah Tempo, menyambut 62 tahun kemerdekaan Indonesia.

Saya memang secara khusus memesan majalah Tempo ke penjual majalah ini di New York, setelah melihat penggalan berita onlinenya. Saya ingin tahu, bagaimana liputan Tempo soal era demokrasi liberal di dekade 1950an. Dan saya senang dengan edisi khusus kali ini. Dua jempol jari untuk Tempo.

Hal lain yang menarik dari edisi khusus ini, adalah berita-cum iklan menyangkut gerak “pembangunan” di beberapa daerah. Dari ujung pulau Sulawesi, muncul liputan soal propinsi Gorontalo, propinsi Sulawesi Utara, dan kotamadya Bitung. Saya agak kecewa, karena tidak menemukan liputan tentang kabupaten Bolaang Mongondow, tempat di mana desa Boroko terletak.

Itulah sebabnya, kemudian, saya menuliskan kata Boroko di mesin pencari Google. Siapa tahu ada beritanya. Tak dinyana, begitu tombol search saya pencet, ternyata ada begitu banyak berita tentang desa tercinta saya itu. Luar biasa.

Tiba-tiba saya merasa telah menjadi orang tua pikun, yang tak lagi mengerti tentang perkembangan zaman, karena tak sanggup lagi mengikuti derap laju informasi. Boroko ternyata telah naik pangkat kini. Ia bukan lagi menjadi ibukota kecamatan Kaidipang tapi, telah menjadi ibukota kabupaten Bolaang Mongondow Utara (disingkat Bolmut). Padahal, barusan pada Jumat kemarin, saya cerita pada istri saya, betapa Boroko, yang tepat berada di perbatasan antara propinsi Gorontalo dan Sulawesi Utara, bukan wilayah yang menarik bagi para pejabat. Ia adalah wilayah yang secara geografis jauh dari pusat kekuasaan kedua daerah tersebut.

Membaca berita itu, saya bangunkan istri saya yang lagi tidur dengan damainya.

Honey, honey, bangun, bangun.”

“Ada apa?” tanyanya sambil memaksakan diri untuk membuka mata.

“Eh, Boroko udah jadi ibukota kabupaten lho?”

“Oh, jadi toh? Selamat ya, itu khan yang diceritakan orang-orang waktu kita pulang kampung dulu?”

Ya, saya tentu saja ingat. Setelah reformasi, sekali dua kali saya pulang kampung, untuk menengok keluarga tercinta. Dalam masa pulang kampung itu, orang ramai berbicara tentang keinginan untuk mendirikan kabupaten baru yang terpisah dari kabupaten Bolaang Mongondow. Demam pemekaran memang tengah melanda hampir seluruh wilayah nusantara. Bahkan, kecamatan Kaidipang pun telah mekar menjadi dua, kecamatan Kaidipang dan kecamatan Kaidipang Barat. Waktu itu, kalau tidak salah, nama kabupaten baru itu sudah dicanangkan, Kabupaten Binadouw. Wilayahnya mulai dari kecamatan Sangkup, Sang Tombolang, Bintauna, Bolang Itang, Kaidipang, dan Kaidipang Barat.

Menanggapi cerita dan aspirasi luas untuk memekarkan diri itu, saya hanya menjadi pendengar yang pasif. Saya sudah tak tahu lagi perkembangan terbaru di desa saya. Saya tak lagi mengerti komposisi kekuatan politik di sana. Secara politik, saya juga tidak tertarik dengan isu pemekaran. Tetapi, saya sangat menghargai aspirasi bapak, ibu, om, tante, saudara, dan teman main sekampung. Saya tahu persis, bagaimana wilayah Pantai Utara (sebutan lain untuk wilayah Bolaang Mongondow Utara), selalu menjadi anak tiri dari kabupaten lama.

Dan kini, cita-cita itu telah terwujud. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2007, pada tanggal 2 Januari 2007. Dari profil daerah yang terpampang di http://www.sulut.go.id/dataweb/kabbolmut.pdf, terbaca bahwa luas kabupaten baru ini adalah 1.843,92km2, terdiri atas enam kecamatan, 52 desa dan satu kelurahan, dengan jumlah penduduk mencapai 81.879 juta jiwa.

Senangnya, saya bisa membaca Boroko dari internet. Dari berita yang saya baca di www.swarakita-manado.com, dan www.hariankomentar.com, pada tujuhbelasan kemarin, untuk pertama kalinya hari kemerdekaan dirayakan di ibukota kabuptan baru itu. Menurut berita, ribuan orang bergembira ria memadati upacara yang dipimpin oleh bupati H.R. Makagansa. Walaupun sederhana, upacara berlangsung khidmat. Usai upacara dilakukan tabur bunga di pelabuhan Boroko nan-indah. Tapi, itu belum cukup. Serangkaian kegiatan telah menanti: lomba olahraga, kesenian, taptu (saya lupa ini singkatan dari apa), lomba kebersihan, serta lomba gerak jalan. Dan, ini yang hebat, tak mau kalah dengan reality show American Idol, ada juga lomba Bolmut Idol.

Rasa senang bercampur haru membelit ulu hati saya. Semoga rakyat Bolmut, makin sejahtera.***

Hari ini, mestinya saya pergi ke China Town, yang terletak di Manhattan Bawah (Down Town). Tetapi, begitu kereta api bawah tanah, berhenti di Times Square Manhattan, yang terletak di 42St, mendadak pikiran saya berubah.

Waktu menunjukkan pukul 11.00. Saya memutuskan untuk berputar 360 derajat, menuju ke Manhattan Atas (Up Town). Saya ingin sekali ke toko buku Labyrinth, yang terletak di 113 St, berdekatan dengan kampus Universitas Columbia. Ya, Labyrinth Books ini, adalah salah satu toko buku favorit saya dan istri. Ini toko buku yang tidak terlalu besar dan megah dibanding toko buku Gramedia, misalnya, tapi, terbilang lengkap dalam menjual aneka buku dan jurnal ilmu sosial. Sudah hampir dua bulan saya tak menyambanginya.

Saya tiba di Labyrinth pukul 12.10. Buru-buru saya menuju ke rak yang memajang segala rupa aneka jurnal. Dari jurnal kritik sastra, sejarah, filsafat, sosial, feminisme, gay, hingga ekonomi-politik. Kata orang, kalau ingin tahu perkembangan ilmu terbaru, bacalah jurnal. Tangan saya membuka satu demi satu jurnal-jurnal itu. Dan a ha, saya temukan edisi terbaru dari jurnal Socialism and Democracy, yang diterbitkan Routledge. Edisi teranyarnya membahas tentang “Class Struggles in China.”

Dari rak jurnal ini, kaki saya menapak satu demi satu anak tangga Labyrinth menuju ke lantai dua. Di sepanjang anak tangga ini, disusun buku-buku yang harganya berkisar antara $3.00 hingga $6.00. Padahal buku-buku yang disusun itu sampulnya masih licin, dan tahun penerbitannya rata-rata di atas tahun 2000-an.

Di lantai dua, lantai favorit saya, saya segera menuju ke seksi political science. Satu dua buku saya comot dari raknya. Dari sana saya bergerak ke seksi Marxism yang berhadap-hadapan dengan seksi Amerika Latin. Lagi-lagi, saya mencomot satu dua buku. Setelah itu, saya berpindah ke seksi Asian Study, khususnya seksi tentang China. Kembali satu dua buku telah berpindah tempat.

Saya menghitung, ada sepuluh buku di keranjang saya. Cukup sudah. Setelah itu, saya menuju ke sudut ruangan toko buku itu, dan duduk di atas sebuah kursi hitam nan empuk. Satu per satu buku-buku tersebut saya baca, ada yang saya baca dengan menggunakan metode baca cepat ada pula yang saya agak serius. Dengan metode baca cepat, bab-bab yang sudah pernah saya baca atau yang akrab dengan bacaan saya selama ini, saya lewati. Yang agak serius saya baca, misalnya buku klasik dari Peter Evans, "Dependent Development: The Alliance of Multinational State and Local Capital in Brazil." Buku ini kembali saya baca untuk coba memahami masalah “Lumpur Panas Lapindo.” Dalam bukunya ini Evans menjelaskan tentang kolaborasi segitiga antara perusahaan multinasional, negara, dan pengusaha lokal, dalam mengeruk sumberdaya alam setempat. Saya menduga ini juga yang terjadi dalam kasus Lumpur Panas Lapindo itu.

Tidak terasa, saya duduk di kursi itu hingga waktu menunjukkan pukul 5.30. Dan, selama itu, tidak ada satu petugas pun yang menegur saya, dengan mengatakan, “maaf mas, ini bukan perpustakaan.”

Tetapi, kejadian dimana toko buku yang sekaligus menjadi perpustakaan, bukan khas Labyrinth. Jaringan toko buku raksasa seperti, Barnes & Nobles, bahkan menyediakan semacam ruang baca yang lengkap dengan kursinya. Istri saya paling senang ke Barnes, terutama yang berlokasi di Union Square di 14St. Ia bahkan menjadi salah satu anggotanya. Jika sudah ke sana, kami berdua, setelah memperoleh buku atau majalah yang diinginkan, langsung menuju ke lantai tiga, beli minuman dan sepotong dua potong roti. Di lantai tiga ini, juga tersedia ruang baca lengkap dengan kursinya tapi, biasanya selalu penuh karena berkaitan dengan rumah kopi Starbucks. Karena itu, kami selalu memilih lantai empat, bersantai ria di sana sambil menikmati buku-buku atau majalah-majalah terbaru tanpa takut ada petugas yang mengusik.

Jika perut sudah bermain keroncong, baru teringat bahwa saatnya untuk pulang. Beli buku atau tidak, terserah anda. Tapi, biasanya, selalu saja kami harus antri di depan kasir. Seperti hari ini, Jurnal Socialism and Democracy, akhirnya masuk ke dalam tas jinjing saya. ***

Gambar diambil di sini

Kecoak

Pagi ini, sekira pukul 11, saya berjalan santai di pusat kota Manhattan. Tepatnya, dari 48 St menuju 42St, 7Avenue. Sepanjang jalan, trotar dipenuhi dengan pejalan kaki yang tak ada habisnya. Belum lagi ditambah pedagang kaki lima yang asyik dengan dagangannya.

Ya, musim panas, Manhattan selalu dipenuhi kerumunan orang. Dan trotoar selebar 2 meter, seperti tak sanggup menahan hentakan ribuan pasang sepatu. Padahal, dalam beberapa hari terakhir ini, pihak kepolisian kota New York (New York Police Department/NYPD), terus-menerus mengingatkan akan ancaman teror bom. Tapi, siapa takut? Menurut pemerintah kotamadya, pada tahun 2006 kemarin, sekitar satu juta orang setiap hari lalu-lalang di trotoar kota Manhattan. Total pengunjung atau wisatawan yang berlibur ke NY pada 2006, mencapai 45 juta orang, rekor tertinggi selama ini.

Jalan kaki di Manhattan, pada musim panas, memang tak ada capeknya. Pemandangan yang indah serta trotoar yang tak dilewati sepeda motor, bisa membuat kita berjalan sejauh mungkin. Terlebih, jalanan di Manhattan itu lurus tak berkelok-kelok, meningatkan saya pada jalanan di kampung saya, yang juga lurus tak berkelok. Tak usah takut kesasar, karena kita bisa bertanya kepada petugas keamanan, atau kepada pedagang kaki lima, atau mampir sejenak ke sebuah toko. Kalau capek, anda tinggal mencari taman terdekat untuk melepas lelah. Tidur sejenak juga tak soal. Tak akan ada yang mengusik apalagi mengusir anda.

Tetapi, musim panas juga adalah musim bau keringat. Berjalanan di tengah kerumunan orang yang begitu padat, kita harus siap-siap untuk menaha napas. Itu bau badan, alamaaak. Jangan sampai anda ketahuan menutup hidung dengan sengaja, karena hal itu tidak santun secara publik.

Musim panas, juga adalah musim kecoak. Huuhh, binatang kecil menjijikkan ini, entah darimana datangnya, tiba-tiba menyerbu dapur-dapur di hampir seluruh apartemen kota ini. Memang tidak seperti kecoak di Indonesia yang segede ibu jari kaki. Begitu musim dingin tiba, mereka seperti lenyap di telan bumi. Ibarat pepatah, datang tanpa diundang, pergi tanpa permisi. Tinggal satu dua yang tersisa. Saya pikir , mereka ketinggalan kereta. Syukur, di apartemen saya, hewan-hewan ini tak datang bertandang. Istri saya orangnya bersihan luar biasa. Terima kasih ya sayang.

Nah, perihal kecoak-kecoak liar ini, saya teringat pada satu kejadian di suatu malam, di ruang tahanan kepolisian wilayah kota besar (Polwitabes) Surabaya, pada 1996. Waktu itu, saya nginap di tempat itu bersama Ditasari (halo ibu ketua), dan M. Sholeh (Oleng). Dita di kamar depan, saya dan Oleng di ruang belakang bersama-sama dengan tahanan kriminal lainnya. Kalau tak salah ingat, saat itu baru menunjukkan pukul tujuh atau delapan malam. Pintu jeruji pembatas antara tempat Dita dan kami, belum lagi disegel. Kamar-kamar kami di belakang juga belum dikunci.

Mendadak terdengar teriakan, Pontoh, Pontoh, Pontoh. Dengan bergegas saya lari ke depan. Itu suara Dita. Ada apa, sampe teriak-teriak begitu? Oleng juga berlari meninggalkan bacaan Qur’an-nya. Demikian juga dengan para tahanan lainnya. Begitu sampai di depan kamarnya Dita, saya lihat ibu ketua ini lagi berdiri di atas ranjang semennya, sambil telunjuknya menuding-nuding ke arah dinding di depannya. Rupanya, di dinding itu lagi merayap dengan santainya seekor kecoak sebesar ibu jari tangan.

“Ada apa,” tanya saya dan Sholeh berbarengan.

“Itu kecoak,” ujarnya dengan ketakutan yang sangat.

Hahhhh. Kecoak? Kok bisa Dita takut sama binatang ini? Padahal, belum lama berselang kepalanya ditinju ama tentara dari Kodam Brawijaya. Dan ia tak berteriak sedikit pun. Kok bisa, tak habis pikir saya.

Perlahan saya beranjak ke ruangannya, mengambil sandal dan

Braaaakkk

Dalam sekejap, kecoak itu sudah hancur berantakan, darahnya yang merah kehitaman, muncrat tak beraturan. Dita dan Sholeh tak berani mendekat. Mereka tampak sekali begitu jijik. Pelan-pelan saya mengambil kertas tisu, dan memungut satu per satu bangkai kecoak itu hingga bersih.

Tak lama kemudian, senyum telah tersungging di bibir Dita.***

Gambar diambil di sini

Bersepeda

Dalam dua minggu terakhir ini, saya aktif sekali bersepeda di jalanan kota New York. Saya sangat bergairah melakukannya: memacu kencang laju sepeda sebelum lampu hijau berubah kuning; menyelip di antara deru mesin mobil yang tak pernah henti berseliweran, lalu melepas lelah di bawah rimbunan pohon nan lebat.

Ya, jalanan kota NY mengingatkan saya akan Jakarta plus. Padat tapi tidak macet. Ketika masih bemotor ria di Jakarta, untuk menghindari hantu kemacetan, saya sering sekali melaju di atas trotoar. Di sini juga demikian, saya suka bersepeda di trotoar untuk menghindari serempetan mobil yang melaju kencang. Tapi, jangan harap anda menemukan motor melaju di trotoar.

Bersepeda mengingatkan saya akan masa kanak-kanak dulu. Ceritanya, sejak masuk bangku sekolah dasar, ketahuan kalau saya tak bisa menulis dengan tangan kanan. Orang tua saya heboh, guru-guru tercinta saya juga panik. Kok bisa anak ini menulis dengan tangan “kotor?”

“Tangan kiri itu dipake untuk cebok, bukan untuk menulis apalagi makan,” ujar ibu tercinta saya.

Maka dimulailah sebuah proyek untuk menghancurkan kebiasaan saya yang jelek itu. Di sekolah, guru-guru saya, terutama almarhumah enci Masita, menyuruh saya untuk menduduki tangan kiri saya setiap hari. Kalau ketahuan melanggar perintahnya, kuping saya pasti dikoleto (dicubit) hingga memerah. Dari hari ke hari, proyek itu terus berlangsung. Tapi, tampaknya akan berujung gagal. Si kanan ini tak juga menampakkan tanda-tanda kemajuan.

Akhirnya, semua pada menyerah. Ada kompromi memang. Makan harus pake tangan kanan.

Hingga tiba saatnya, saya dipersilahkan ayah untuk belajar mengendarai sepeda. Kalau tak salah, saat itu saya duduk di bangku kelas empat SD. Oh ya, ayah saya adalah seorang pencinta sepeda luar biasa. Ia bisa tak peduli pada anaknya yang berlumuran debu tapi, tidak dengan sepeda ontel tercintanya. Setiap hari ia melap sepedanya, hingga sepeda itu tetap nampak baru.

Rupanya, belajar bersepeda tak sesulit belajar menggunakan tangan kanan. Dari hari ke hari tampak kemajuan yang nyata. Hingga suatu hari saya ingin pamer pada keluarga. Dengan penuh percaya diri, saya melaju di depan rumah, Mungkin saking PD-nya, saya tak melihat ada kayu melintang di jalanan. Dan bruuk. Saya meringis kesakitan tapi, malu untuk menangis.

Ibu saya tergopoh-gopoh datang dari dapur. Kalau sang ibu sudah mendekat, baru saya mengeluh kalau tangan kanan saya tertimpa setang.

“Mami, sakit sekali.”

Ibu saya panik bukan main. Apalagi tangan yang tak bisa menulis dan dipake makan ini mulai membengkak perlahan-lahan.

“Papi Is (panggilan ibu saya untuk suaminya), cepat panggil Mai Anice (tukang urut paling terkenal di seantero kampung).”

Tapi sayanya yang tak mau diurut. Saya menolak keras, sakitnya minta ampun. Apalagi mai Anice terkenal sebagai tukang pijat yang aneh. Ada banyak cerita beredar, jika ada orang yang kaki atau tangannya patah, agar bisa disambung lagi seperti semula, oleh mai Anice tangan atau kaki itu sebelumnya dipatahinnya seutuhnya. Hanya dengan begitu baru bisa disambung lagi.

“Ngeri khan?

Tapi, dari hari ke hari bengkak di tangan makin membubung. Sakitnya juga makin parah. Saya tak bisa lagi meluruskan si kanan, apalagi menggerakkannya. Maka mai Anice tak bisa lagi ditolak.

Orang tua tinggi besar berkopiah hitam itu pun datang. Ia duduk di depan saya, mulutnya komat-kamit. Tangannya lalu mengambil segelas air putih dan membilaskannya perlahan ke tangan saya. Pelan-pelan ia mengurut si kanan, sakit memang. Tapi, tangan saya tak dipatahkannya seperti kata cerita. Saya meringis kesakitan, membenamkan kepala saya di punggung ayah. Hingga akhirnya prosesi itu usai.

Saya merasa ada kelegaan yang sangat. Dan perlahan-lahan, si kanan mulai bisa digerakkan dan diluruskan. Walaupun tak lagi utuh seperti semula.

"Terima kasih mai Anice, semoga Allah SWT membalas budi baikmu."

Ajaibnya, usai kejadian itu, si kanan ini bisa difungsikan untuk menulis, sementara si kiri menjadi tertatih-tatih. Maka dimulailah pembagian kerja yang unik. Untuk yang berat-berat, saya menggunakan tangan kiri. Sementara untuk menulis dan merangkai sesuatu, saya menggunakan tangan kanan. Di meja makan, jika menggunakan sendok dan garpu, yang kiri pasti memegang sendok dan garpu di tangan kanan. Tapi, jika makan menggunakan tangan, maka yang kiri pasti kehilangan akal. Mestinya disuapin ke mulut malah nyasar ke hidung.

Bersepeda, memang sungguh menggairahkan.***

Gambar diambil di sini

MLM


Penghujung Desember 2006. New York (NY) sudah memasuki musim dingin. Tapi, salju belum lagi turun. Orang-orang membicarakan, inilah untuk kali kedua sejak 1930an, musim dingin datang sepoi-sepoi. Udara NY, lagi tak beraturan. Kadang panas, kadang dingin, sebentar berangin, sebentar hujan. Hari ini pakai baju hangat, besoknya sudah pakai kaos oblong.

Suatu hari, menjelang senja, saya lagi berjalan santai di 39st, 7Av. Ini adalah area yang merupakan jantung kota Manhattan. Walaupun lagi musim dingin, Manhattan tetap penuh sesak dengan gerombolan orang. Trotoar yang lebarnya dua meter, seperti tak sanggup menahan hentakan ribuan pasang sepatu. Mendadak seorang perempuan muda cantik berkulit kuning, dengan mengenakan blazer dan celana panjang hitam, menghampiri saya. Saya pikir ia keturunan Cina, dan umurnya saya taksir lebih dari 17 tapi, kurang dari 25.

“Excuse me sir. Would you like to join us?”

“I am sorry, what is this about?”

“We are from an electronic company, still new and now expanding. Our branches are in Mexico and Puerto Rico. We sold home telephone.”

“How to join with you?” Saya pura-pura tertarik.

“You just give me your ID, your credit card, and $400.”

“Ok let me think about it. Do you have a telephone number?”

“Sure, my cellphone is xxx.”

“Thanks. I’ll call you once I have decision about it.”

Saya lantas beranjak dari sana. Belum lagi jauh kaki ini melangkah, seorang lelaki muda, dengan berjas dan berdasi bergerak mendekati saya. Sama seperti perempuan tadi, ia menawarkan peluang bisnis pada saya. Ia katakan, jika bergabung dengan kelompoknya, saya tak perlu kerja keras, cukup dengan merekrut sebanyak mungkin orang ke dalam bisnis ini, saya akan menerima kiriman uang secara reguler ke rekening saya setiap minggunya. Di bisnis ini, saya akan menjadi bos buat diri saya sendiri.

“Oh, rupanya aku lagi jadi target rekrutmen toh.”

Saya mulai sadar kalau bisnis yang dimaksud adalah bisnis dengan pola multi level marketing (MLM).

Pertemuan ini menghela ingatan saya ke masa-masa menjelang akhir kuliah, sekira 15 tahun silam. Tepatnya pada 1992. Saat itu, saya lagi bersiap menyusun skripsi guna meraih gelar sarjana strata satu, di Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado.

Pada mulanya, semua berjalan seperti apa adanya. Memasuki semester VIII, saya mengajukan usul rencana penelitian ke pimpinan jurusan sosial ekonomi. Setelah usul penelitian saya diterima, pimpinan jurusan menetapkan tim dosen pembimbing. Seingat saya, dosen pembimbing saya tiga orang. Salah satunya adalah Enci Masie, dosen yang terkenal paling killer di jurusan kami. Tapi, dia bukan ketua tim pembimbing. Puji Tuhan. Ketuanya adalah seorang dosen perempuan yang barusan merampungkan studi masternya di Amerika Serikat.

Enci ketua pembimbing ini, pada dasarnya peramah. Bicaranya halus, suka tersenyum, dan bisa dikontak kapan saja. Tak banyak neko-neko, istilahnya. Tapi, yang jadi soal, enci ketua pembimbing ini punya bisnis sampingan. Apalagi kalau bukan bisnis MLM. Dan skornya pun sudah lumayan tinggi. Bisnis berantai ini menjual beragam produk Amway. Dari sabun mandi hingga minyak wangi.

Saya sendiri, sangat tidak tertarik dengan bisnis ini. “I am not a sales person.” Saya tak pandai promosi, tak pintar meyakinkan orang untuk membuka dompetnya. Lagi pula, saya tengah tergila-gila pada aktivitas di organisasi ekstra kampus.

Ketidakpedulian ini, rupanya berdampak pada penyusunan skripsi. Setiap kali bertemu untuk konsultasi dengan enci, obrolan kami didominasi oleh cerita sukses pebisnis MLM. Persis seperti ketika saya diajak oleh perempuan cantik di 34st, enci ini bercerita bahwa dalam bisnis ini, yang utama bukanlah kuantitas barang yang dijual. Tapi, seberapa banyak kita bisa merekrut orang. Toh setiap anak baru, harus membeli minimal satu produk.

"Kamu jangan melewatkan kesempatan emas ini." Ia lalu menawarkan saya ikut seminar di sebuah hotel terkenal di Manado.

“Di sana nanti akan ada kesaksian dari mereka-mereka yang telah sukses di bisnis ini. Ada yang melancong dengan gratis ke Yunani, ada pula yang mendapatkan hadiah mobil.”

Sejauh itu, hati saya tidak tergerak sesentipun untuk memenuhi undangannya. Namun, skripsi tak kunjung selesai. Setiap kali konsultasi, setiap kali itu pula saya harus memperbaiki laporan penelitian saya. Tanda tangan enci ketua, tak kunjung berlabuh di lembaran kertas penelitian. Padahal, tanda tangan itu adalah syarat mutlak untuk ujian. Celakanya, saya tak bisa mendesak, memaksa, apalagi protes. Di Unsrat, ketika itu, sekali anda bermasalah dengan dosen, itu adalah jalan tol untuk merengkuh gelar MA (mahasiswa abadi).

Sementara waktu terus berlalu, 1993 sudah tertinggal di belakang. Jika dihitung dari saat pertama kali masuk kuliah pada 1988, lalu kuliah kerja nyata (KKN) pada akhir 1991, mestinya pada 2003 saya sudah kelar kuliah.

Semula, saya tak berpikir ada hubungan positif antara tanda tangan dengan bisnis MLM. Saya mulai gelisah. Jangan-jangan memang ada hubungan. Tapi, bisa jadi karena kualitas laporan penelitian saya masih berantakan. Satu tahun tanpa hasil, bukan waktu yang singkat buat saya dan terutama, keluarga. Satu per satu teman saya telah menggelar pesta siram air kotor, pertanda telah lulus. Beberapa teman menganjurkan agar saya ikut saja bisnis MLM itu.

“Pura-pura iko jo, yang penting ngana dapa itu tanda tangan.”

Berat saya menerima usulan itu. Tapi, untuk terus membayar Rp. 150 ribu per bulan, hanya untuk biaya kos-kosan, bukan perkara kecil. Belum lagi tetangga di kampung yang terus bertanya, “kapan si Coen kelar kuliah?”

Saya tak punya pilihan. Ajakan tidak langsung bisnis MLM saya terima. Namun, saya tak pernah ikut seminarnya. Saya malas mendengar kesaksian. Dan benar saja, pada awal 1994, saya memperoleh tanda tangan, sebagai tiket masuk ke ruang sidang senat fakultas. Pada bulan Juni 1994, saya dinyatakan lulus dan berhak menggondol gelar sarjana peternakan.

Tak lama kemudian, saya menulis surat ke Boroko,

“Papi dan Mami yang tercinta, anakda sudah lulus kuliah. Bersiap-siaplah untuk datang ke Manado, ikut acara wisuda. Pake baju yang rapi ya.”

Dua Film

Boleh dibilang, saya seorang pecandu film. Saya benar-benar ketagihan dengan gambar hidup ini. Semuanya bermula, dari Boroko, desa terpencil, tempat saya pertama kali menangis di dunia ini.

Kira-kira itu terjadi pada dekade 1970an. Suatu malam, kami sekeluarga datang ke lapangan sepakbola yang terletak di pusat desa. Malam itu, saya kira, seluruh warga kampung tumpah-ruah di lapangan besar itu. Kami semua, warga kampung, dari kakek-nenek hingga cucu-cucu, duduk beralas daun pisang menonton film hitam-putih dari layar tancap, yang diputar oleh sebuah perusahaan obat Bodrex. Saya ingat, malam itu, ada dua film yang diputar. Satu film koboi, satu film silat.

Sejak malam itu, saya telah jatuh hati pada hiburan ini. Tetapi, hiburan dari Bodrex, tak setiap tahun datang. Boroko, tetaplah desa tertutup: tak ada generator apalagi televisi. Radio menjadi sumber berita, cerita, dan lagu. Pada 1985, saya hijrah ke Kotamobagu, ibukota kabupaten Bolaang Mongondow. Di kota ini, (ketika jalan darat masih darurat) menghabiskan waktu sehari perjalanan mobil, saya menempuh pendidikan menengah atas.

Di Kotamobagu-lah, saya kembali menikmati gambar hidup. Gratis pula. Kebetulan, paman saya dari pihak ibu, Paade Mat, adalah penjaga keamanan di salah satu bioskop terbesar di kota itu. Kalau tak salah ingat, Totabuan, nama bioskop itu. Dari Paade Mat, setiap minggu saya dapat dua karcis gratis. Free pass, istilahnya. Dan setiap dua hari, di bioskop Totabuan, pasti nongol film baru. Dari film India, Kungfu Cina, hingga film-film nasional.

Selama tiga tahun tinggal di Kotamobagu, hobi saya menonton film betul-betul terpuaskan. Aktor-aktor seperti Amitah Bachan, Ti Lung, Brigitte Lin Ching Shia, atau Roy Marten, adalah bintang-bintang yang saya hapal di luar kepala. Saya kira, masa-masa itu, masa keemasan industri perbioskopan. Dan masa dimana dua kali seminggu masuk bioskop, tinggal kenangan ketika saya harus angkat kaki dari Kotamobagu. Di Manado, tak ada lagi free pass. Kesibukan kuliah dan organisasi, memaksa saya untuk masuk bioskop pada saat-saat istimewa saja.

Lebih-lebih setelah tinggal di Jakarta, penghujung tahun 1990an. Masuk bioskop, sungguh telah menjadi sebuah kemewahan. Hobi saya pada gambar hidup ini baru kembali tersalurkan, ketika saya menjadi kontributor majalah Pantau. Suatu hari, saya menerima segepok uang sangat besar dari Pantau, sebagai honor atas dimuatnya tulisan saya. Dari uang itu, saya belanja tivi dan dvd player. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Jakarta lagi booming dvd bajakan. Jalan Sabang dan WTC Kuningan, adalah dua tempat yang mesti saya kunjungi setiap minggunya.

Ketika kemudian kaki ini menginjak tanah New York, hobi menonton tak juga berkurang. Setiap akhir pekan, saya dan istri punya dua jadwal rutin. Toko buku dan bioskop. Jika film yang kami tonton sangat berkesan, kami akan mengoleksinya dalam bentuk dvd. Minggu ini tak ada film yang cukup menarik untuk ditonton. Tapi tak apa. Kami adalah salah satu pelanggan di dua buah toko penyewaan dvd. Pada Jumat kemarin, kami menyewa tiga film. Saya milih film laga Hollywood. “Behind Enemy Lines II Axis of Evil,” judulnya. Saya pilih film ini, karena sekuel pertamanya telah saya tonton. Sekalian pikir saya.

“Kamu benar-benar mau nonton film itu?” tanya istri saya ketika sedang berjalan ke arah kasir.

Setelah mandi dan makan malam, saya mulai memutar film itu. Istri saya tak ikut, dia tidak berselera dengan film begituan. Dia sedang menunggu gilirannya untuk memutar “Traffic.” Bagi saya, menonton film lebih banyak sebagai pelepas lelah. Tetapi, “Behind Enemy Lines II,” benar-benar membuat saya lelah. Ini film propaganda, saya tahu itu sejak tangan ini menyentuhnya pertama kali. Toh saya juga menikmati “Rambo” atau “The Taylor of Panama.”

“Film bodoh, konyol, bikin tambah capek.”

Istri saya hanya bisa tersenyum. Saya jadinya males nonton “Traffic,” padahal saya ingin menyaksikan aksi dari Benicio del Toro.

Hari sabtu, istri saya mengajak cuci mata di toko buku Borders, yang terletak di 34 Street, salah satu dari area yang disebut sebagai jantungnya kota Manhattan. Baru sekitar enam bulan Borders nongol di sana.

“Aku mau beli ‘American History X’ dan ‘The Illusionist.”

Istri saya ingin mengoleksi dan melihat lagi akting Edward Norton. Di rak kecil kami, si Norton ini udah ada beberapa biji.

“Yuk nonton ‘American History X.’ Aku jamin kamu senang deh. “

Benar juga. Kesebelan yang sangat pada “Behind Enemy Lines II,” mencair. Edward Norton dan jalinan cerita yang disuguhkannya, membuat saya terpaku. Saya baru kembali tertawa lebar, ketika mendadak ada suara “Kembali ke Laptop.”

Ketika musim dingin mulai benar-benar nyata di New York, sekira dua minggu lalu, saya dan istri terpaksa harus beli sepatu anti dingin. Di NY, sepatu jenis ini tidak bisa dikataka murah. Minimal harganya $60.

Lagi asyik-asyiknya jalan di megastore TARGET, kita kemudian masuk ke sebuah toko yang khusus jual sepatu. Skechers, nama toko itu. Ternyata, Skechers adalah juga nama merek sepatu, dengan bintang iklannya pesohor Ashley Simpson. Skechers kebetulan lagi musim harga miring, kalau beli dua harganya dipotong separuh. Ya sudah, jadilah Skechers berpindah tangan

Saya kemudian iseng-iseng mencaritahu ini sepatu produk mana sih? Periksa punya periksa, ini rupanya produksi Cina. Luar biasa, karena produk Cina saat ini tengah membanjiri pasar AS, hingga membuat para elite di Washington kebakaran jenggot. Bagi mereka, banjir produk Cina ini menjadi ancaman baru setelah terorisme Islam dan populisme Amerika Latin.

Soal sepatu produk Cina ini, saya ceritakan pada istri saya. Dia pun kaget, dia bilang kapan ya Indonesia dikenal di AS bukan dari bencana alamnya? Kebetulan berita-berita media di AS saat itu, lagi menyiarkan bencana banjir yang melanda Jakarta. Tiba-tiba istri saya mengusulkan,

“Kenapa kamu tidak coba belajar soal Cina?”

“Susah. Waktu sudah tidak memadai. Soal Amerika Latin saja, belum seberapa belajarnya.”

“Tapi, kalo kamu bisa belajar soal Cina maka itu akan menjadi kombinasi yang baik dengan apa yang kamu pelajari soal Amerika Latin saat ini.”

Saya pikir benar juga. Belajar soal Cina seperti belajar tentang bagaimana rejim Orba mulai mengintegrasikan diri ke dalam sistem kapitalisme global, diakhir dekade 1960an. Ada optimisme dan harapan yang berlebihan. Sementara belajar Amerika Latin, kita semacam melihat proyeksi tentang masa depan Indonesia dan juga, Cina.

Dalam kehidupan sehari-hari pun di NY sini, jika kita menguasai atau paling tidak bisa mengerti bahasa Mandarin dan Spanyol, selain bahasa Ingggris tentunya, bisa dipastikan kita tak akan kesusahan bayar apartemen.

Kembali soal belajar tentang Cina, istri saya rupanya tak berhenti provokasi. Setiap minggu pasti ia belikan saya satu buku tentang Cina. Kemarin (Jumat), ia menghadiahi saya buku yang dieditori Chaohua Wang, “One China, Many Paths,” yang diterbitkan oleh Verso, London, pada 2003. Ini buku yang sangat menarik, karena merekam soal perkembangan dan perdebatan intelektual di Cina, dari masa dekade 1960an hingga jalan baru yang ditempuh Deng.

Salah satu artikel yang menarik dalam buku ini, adalah wawancara dengan Wang Hui. Hui adalah veteran aktivis Tiananmen Massacre pada 1989, dan pemimpin redaksi jurnal terkemuka di Beijing, Dushu (Readings). Selain itu, Hui yang adalah profesor Humanities di Tsinghua University, adalah orang yang dianggap sebagai pelopor gerakan New Left di Cina. Yang menarik dari wawancara ini adalah cerita Hui tentang Dushu.

Diterbitkan pertama kali pada April 1979, Dushu dengan cepat menjadi salah satu ikon para intelektual di Cina. Sirkulasinya memang sangat kecil berbanding milyaran jumlah penduduk Cina, hanya berbilang di bawah 50 ribu eksemplar. Jurnal ini membahas tema-tema seperti filsafat Barat, teori sosial, dan pemikiran ekonomi. Nama-nama seperti Nietzsche, Heidegger, Cassirerr, Marcuse, Sartre, dan Freud, ramai dibincangkan. Tetapi, menariknya, Dushu tidak membahas tema seperti teori modernisasi atau ekonomi mazhab neo-klasik.

Saya kira, Dushu ini mirip Prisma yang pernah berjaya pada dekade ‘70an dan 80an. Tapi, seingat saya, Prisma sangat sering membahas soal teori modernisasi. Nah, masalah mulai datang pada Dushu, ketika pasar nasional mulai dibuka gencar, dan konsumtivisme mulai jadi gaya hidup. Jurnal kayak Dushu, dipaksa bersaing dengan majalah-majalah model Cosmopolitan, yang ringan dan renyah bacaannya dan enak dipandang. Trend ini tak mampu diabaikan Dushu. Para editornya, terutama pemimpin redaksi Shen Changwen, kemudian memutuskan untuk mengubah kebijakan Dushu, dengan memuat artikel-artikel yang lebih ringan bobot akademiknya. Hasilnya, sirkulasi Dushu meningkat antara 50 ribu hingga lebih dari 80 ribu eksemplar per bulannya. Perubahan kebijakan ini juga, seperti dikatakan Hui, mencerminkan iklim intelektual di Cina, Beijing khususnya, yang gagal memahami gerak perkembangan intelektual dan masyarakat Cina pasca Mao.

Pada 1996, ketika Hui ditawarkan sebagai pemred, ia membawa pulang Dushu ke khittahnya. Di bawah Hui, Dushu meluncurkan serial perdebatan mengenai masyarakat desa, etika, Asia, perang dan revolusi, krisis keuangan, liberalisme, hukum dan demokrasi, nasionalisme, dan feminisme. Reorientasi ini, yang kembali menempatkan Dushu sebagai lahan curah pemikiran, rupanya mendapatkan sambutan atraktif dari kalangan intelektual, yang gelisah dengan merebaknya konsumerisme, kesenjangan sosial, dan ketidakpastian. Dari segi oplah, Dushu meningkat hingga menembus angka 100 ribu dan 120 ribu.

Saya pun membayangkan, suatu ketika di Indonesia, hadir jurnal seperti Dushu. Ia memfasilitasi kegelisahan para intelektual, menjadi lahan perdebatan pemikiran, dan sumber inspirasi teoritik. Ia betul-betul menjadi lokomotif yang menarik gerbong kehidupan intelektual progresif Indonesia.

Di NY sini, saya sedikit beruntung bisa berlangganan cukup banyak jurnal kiri. Dari New Left Review, Monthly Review, Science and Society, historical materialism, hingga Socialist Register. Tapi, saya merasakan ada yang kurang. Jurnal-jurnal ini, tidak menggambarkan semangat para intelektual di negara dunia ketiga (meminjam kategorisasi Mao). Ia lebih merefleksikan cara pandang kehidupan intelektual negara kapitalis maju.

Satu hari ketika lagi minum teh di kedai Utan Kayu, saya didekati seorang lelaki. Ia mengajak bicara, gayanya santai dan santun. "Bung, apa mau menulis yang baik?"

"Tentu saja."

"Ok, kalau sudah tiba waktunya Bung akan saya beritahu," ujarnya.

Pertemuan itu menggerakkan saya mencari tahu, siapa gerangan lelaki itu. Saya tak juga mengetahui siapa itu Andreas Harsono. Sebagai aktivis kampung dari Manado, nama ini tak pernah saya dengar. Mula pertama sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam cabang Manado, nama aktivis yang beredar di telinga saya adalah Ferry Mursyidan Baldan, Syaiful Bahri Ruray, atau Bursah Zarnubi. Ketika mulai kenal gerakan masyarakat sipil, nama aktivis yang saya kenal adalah Asmara Nababan, Hilmar Farid, Budiman Sudjatmiko, Dita Indah Sari, atau Andi Arief.

Waktu berlalu. Hingga satu hari akhir tahun 2000, lelaki ini minta saya jadi kontributor majalah Pantau. Saya pun bergirang ria. Menulis nafas hidup saya. Kebersamaan di Pantau membuat saya mengenal secara dekat, bahkan sangat dekat dengannya. Saya lebih suka memanggilnya dengan “Bung AH.” Teman saya, Agus Sopian, memanggilnya “Mas Andre.” Linda Christanty memanggilnya “Mas Andreas.”

Tugas pertama saya menulis sosok Suryopratomo, pemimpin redaksi Kompas, yang baru menggantikan Jakob Utama. Saya pun wawancara. Dalam percakapan-percakapan santai dengan Bung AH, maupun dalam rapat Pantau, saya diajarkan bagaimana wawancara yang baik.

"Pertanyaan yang baik adalah pertanyaan terbuka. Ia memberi kesempatan pada nara sumber untuk menjawab sebanyak-banyaknya. Sebisa mungkin jangan menggunakan pertanyaan tertutup, yang hanya melahirkan jawaban, 'ya' atau 'tidak.’" Ini salah satu pelajaran penting saya.

Ketika saat menulis tiba, saya mengerahkan segala kemampuan terbaik saya. Saya menyerahkan laporan itu pada Bung AH. Saya kira ia senang.

"Bung, itu kutipan tentang Antonio Gramsci, sebaiknya dihilangkan, Kutipan itu tidak relevan dengan batang tubuh tulisan. Kalau perlu, jangan terlalu banyak kutipan, menulislah berdasarkan hasil kerja Anda sendiri."

Saya agak terhenyak. Saya pikir dengan mengutip pemikir kelahiran Italia, yang terkenal dengan teori Hegemoni itu, akan membuat laporan saya makin berkilat. Laporan itu dikembalikan dengan penuh corat-coret. Praktis, saya harus mengubah total laporan saya, kembali melakukan wawancara, menggali data baru.

Itulah pengalaman pertama menjadi kontributor Pantau. Makin hari, saya makin tenggelam dalam kenikmatan sebagai wartawan. Saya tak pernah memikirkan urusan lain, selain mencari ide tentang rencana penulisan laporan selanjutnya. Saya terkejut ketika menerima honor ratusan ribu rupiah.

Kemudian saya ditugaskan membuat laporan tentang harian Kompas dan lantas majalah Tempo. Ketika menulis tentang Tempo, Bung AH mengajak saya berbicara secara pribadi. "Begini Bung, Anda telah menulis tentang Kompas, dan banyak mendapatkan sorotan.

Mereka tahu Pantau dekat dengan Tempo. Tempo dan Kompas selalu bersaing. Yang kedua, Anda dekat dengan GM (Goenawan Mohamad), apakah Anda bisa independen ketika menulis soal Tempo? Ingat lho, integritas Anda dipertaruhkan."

"Bung, saya menulis tentang Kompas apa adanya. Saya tak punya pretensi apa-apa. Soal kedekatan dengan GM, kita lihat aja nanti. Saya memang dekat dengannya tapi, Bung jauh lebih dekat lagi."

GM orang yang memiliki suara dominan dalam internal Tempo maupun Pantau. Bung AH menganggap GM mentornya.

Saya pun mulai mempersiapkan diri. Saya mencoba menelusuri dokumen-dokumen yang berkaitan dengan majalah ini. Setelah cukup, saya pun mulai mewawancara. Pertama kali adalah GM di lantai dua Teater Utan Kayu.

Wawancara berjalan santai. GM orang terbuka, ia juga tak pernah mengatakan bahwa ada bagian dari wawancaranya yang tak boleh dikutip. Selanjutnya, saya mewawancari pihak lain, termasuk Fikri Jufri. Sayang, ketika itu Fikri Jufri menolak permintaan wawancara saya. "Cari saja yang lain," ujarnya.

Ketika proses penggalian data cukup, saya mulai menulis. Dalam proses penulisan ini, energi saya rasanya jadi berlipat-lipat. Ruang redaksi Pantau, yang jadi rumah kedua saya, berpindah jadi rumah pertama. Setiap hari, saya tidur di ruangan itu, membaca dan menulis. Malam jadi siang, siang jadi malam. Kadang-kadang, saya ditemani Eriyanto, sesama kontributor Pantau, yang biasa mentraktir saya makan nasi uduk di bantaran kali Utan Kayu pukul tiga dini hari.

Dua minggu berlalu, saat laporan mencapai 75 persen, laporan berbelas-belas halaman itu hilang dari komputer saya. Saya coba tenang, cari sana cari sini. Akhirnya saya betul-betul panik. Saya seperti orang gila. Kok bisa itu laporan menghilang?

Eri Sutrisno, salah satu rekan, bilang, “Jangan-jangan ada yang sabotase.” Saya memutuskan pulang ke tempat kost. Mandi, tidur siang, makan siang di kedai. Dua hari saya tak menyentuh apapun, selain makan, tidur, dan mandi.

Pada hari ketiga, saya memutuskan menulis ulang. Entah kenapa, kali ini saya menulis dengan sangat lancar, tak peduli pada waktu. Saya ingat, saya tak tidur dan tak mandi dua hari lamanya, untuk mengejar batas waktu penulisan itu.

"Bung, sudah pulang sana dan mandi dulu. Bung sudah bau," kata Bung AH.

Saya tetap melanjutkan menulis. Sudah kadung, sebentar lagi rampung tulisannya. Dan ketika tulisan itu selesai, saya baru sadar kalau panjangnya mendekati 40 halaman. Begitu laporan itu dimuat, reaksinya besar sekali. Bung AH menerima sekitar 70 komentar. Ada yang memuji, ada yang memaki. “Isi kebun binatang ditumpahkan semua,” kata Bung AH. Maklum saja, media di Jakarta tak pernah diliput dengan standar baku.

Saya terkejut setengah mati ketika menerima honor enam juta rupiah. Hampir 10 tahun tinggal di Jakarta, itulah kali pertama saya memegang uang sebanyak itu. Saya memutuskan membeli televisi dan sepeda motor bebek apkiran. Itu dua barang yang ingin miliki: televisi untuk nonton sepakbola dan sepeda motor untuk irit transportasi.

Banyak orang tak suka pada Bung AH. Dia dibilang: kaku, arogan, Cina brengsek dan sebagainya. Tapi, Bung AH yang saya kenal, jauh dari kesan itu. Ia memang kaku, terutama pada prinsip-prinsip jurnalisme yang dianggapnya baik. Misalnya, ia tak bisa menerima penggunaan sumber anonim, pengabaian terhadap pagar api, kerja rangkap wartawan. Tapi, selebihnya, ia redaktur yang sabar, peduli keadaan hidup kontributor. Ia tak hanya bicara soal menulis yang baik, soal perkembangan kerja tapi, juga soal-soal pribadi para kontributor yang tak punya uang, yang belum makan seharian, yang baru putus sama pacarnya, atau yang sedang naksir seseorang.

Itu menjadikan suasana kerja Pantau menggembirakan. Sebagai kontributor, saya bekerja dengan senang hati, dengan perasaan riang. Saya tak merasa berjarak dengan para editor. Mereka juga tak memosisikan dirinya sebagai atasan. Dalam rapat-rapat redaksi yang saya ikuti, setelah mengecek soal tenggat waktu dan rencana penulisan, selebihnya adalah dialog penuh canda tawa.

Ketika menyunting naskah, misalnya, para editor ini sering bertanya apakah saya setuju dengan hasil suntingan itu. Metode kerja ini sangat efektif, karena para kontributor memiliki gaya menulis beda-beda. Dan itulah salah satu kelebihan Pantau. Setiap edisi punya beragam warna. Pembaca punya penulis favoritnya masing-masing. Ada yang menunggu-nunggu, kapan tulisan Linda Christanty macam Hikayat Si Kebo, kembali muncul. Ada yang merindukan analisis medianya Eriyanto.

Ada persahabatan yang bersemangat, yang bersaing dengan riang gembira. Tak peduli apakah itu kontributor yang sudah makan asam garam kehidupan, misalnya Budiman S. Hartoyo, atau Muhlis Suhaeri, yang belum kelar kuliah. Saya suka ketawa sendiri, jika ingat “Pak Budiman” kesel kalau ditagih soal bon oleh bagian keuangan. “Tiket tol itu khan gampang sekali rusak dan aku khan udah nggak inget lagi.”

Ada juga gesekan kecil tapi, lebih merupakan bumbu kerja. Misalnya, kalau Linda Christanty sudah "kumat," maka ia akan bernyanyi-nyanyi atau berbicara sendiri. Atau Agus Sopian, begitu tiba dari Bandung, langsung tergeletak di lantai, merampok kasur kecil milik bersama Eriyanto dan saya. Ngorok pula.

Disitulah peran utama Bung AH. Dia membuat majalah terbit setiap bulan dengan suasana riang. Tanpa redaktur seperti dia, saya kira tak mungkin ada majalah dengan konsep hubungan kerja yang sangat longgar, yang tidak mengenal konsep atasan-bawahan, yang bisa hidup lebih dari dua tahun dengan kualitas tinggi. Seberapa besar pun uang yang digelontorkan.

Ketika saya mendengar kabar bahwa Institut Studi Arus Informasi menutup majalah itu, saya kehilangan semangat. Ketiadaan uang menjadi pemicu utamanya. Pantau adalah proyek rugi, dan kerugian itu bisa menghancurkan segala yang telah dibangun. Saya bisa memahami alasan itu. Itulah hukum dasar kapitalisme, logic of profit sebagai dasar kehidupan. Tapi, saya katakan pada Bung AH, itu cara berpikir yang sangat sempit, yang tidak strategis, jalan para pedagang, bukan jalan seorang pejuang.

Penutupan itu membuat saya patah arang. Pantau adalah tempat pertama saya di luar gerakan politik. Pertemuan pertama yang membuat saya jatuh cinta. Saya kehilangan suasana kerja intim dan gembira. Pantau seperti jadi racun dalam kehidupan saya. Ketika kemudian saya kerja di tempat lain, saya selalu membandingkannya dengan suasana kerja di Pantau. Sangat berbeda dan itu sangat mengganggu saya. Saya jadi romantis dan naif. Ketika ada rencana mendirikan kembali majalah Pantau, semangat saya pun telah terkikis habis.

Coen Husain Pontoh asal Bolaang Mongondow, tinggal di New York, masa Soeharto dipenjara 2.5 tahun sebagai tahanan politik, menulis buku Malapetaka Demokrasi Pasar (2005), Gerakan Massa Menghadang Imperialisme Global (2005), Menentang Mitos Tentara Rakyat (2004), Akhir Globalisasi (2003) dan Utang Yang Memiskinkan (2002).

Tulisan ini dimuat dalam buku pernikahan Andreas Harsono dan Sapariah Saturi.

Newer Posts Older Posts Home