Ketika musim dingin mulai benar-benar nyata di New York, sekira dua minggu lalu, saya dan istri terpaksa harus beli sepatu anti dingin. Di NY, sepatu jenis ini tidak bisa dikataka murah. Minimal harganya $60.

Lagi asyik-asyiknya jalan di megastore TARGET, kita kemudian masuk ke sebuah toko yang khusus jual sepatu. Skechers, nama toko itu. Ternyata, Skechers adalah juga nama merek sepatu, dengan bintang iklannya pesohor Ashley Simpson. Skechers kebetulan lagi musim harga miring, kalau beli dua harganya dipotong separuh. Ya sudah, jadilah Skechers berpindah tangan

Saya kemudian iseng-iseng mencaritahu ini sepatu produk mana sih? Periksa punya periksa, ini rupanya produksi Cina. Luar biasa, karena produk Cina saat ini tengah membanjiri pasar AS, hingga membuat para elite di Washington kebakaran jenggot. Bagi mereka, banjir produk Cina ini menjadi ancaman baru setelah terorisme Islam dan populisme Amerika Latin.

Soal sepatu produk Cina ini, saya ceritakan pada istri saya. Dia pun kaget, dia bilang kapan ya Indonesia dikenal di AS bukan dari bencana alamnya? Kebetulan berita-berita media di AS saat itu, lagi menyiarkan bencana banjir yang melanda Jakarta. Tiba-tiba istri saya mengusulkan,

“Kenapa kamu tidak coba belajar soal Cina?”

“Susah. Waktu sudah tidak memadai. Soal Amerika Latin saja, belum seberapa belajarnya.”

“Tapi, kalo kamu bisa belajar soal Cina maka itu akan menjadi kombinasi yang baik dengan apa yang kamu pelajari soal Amerika Latin saat ini.”

Saya pikir benar juga. Belajar soal Cina seperti belajar tentang bagaimana rejim Orba mulai mengintegrasikan diri ke dalam sistem kapitalisme global, diakhir dekade 1960an. Ada optimisme dan harapan yang berlebihan. Sementara belajar Amerika Latin, kita semacam melihat proyeksi tentang masa depan Indonesia dan juga, Cina.

Dalam kehidupan sehari-hari pun di NY sini, jika kita menguasai atau paling tidak bisa mengerti bahasa Mandarin dan Spanyol, selain bahasa Ingggris tentunya, bisa dipastikan kita tak akan kesusahan bayar apartemen.

Kembali soal belajar tentang Cina, istri saya rupanya tak berhenti provokasi. Setiap minggu pasti ia belikan saya satu buku tentang Cina. Kemarin (Jumat), ia menghadiahi saya buku yang dieditori Chaohua Wang, “One China, Many Paths,” yang diterbitkan oleh Verso, London, pada 2003. Ini buku yang sangat menarik, karena merekam soal perkembangan dan perdebatan intelektual di Cina, dari masa dekade 1960an hingga jalan baru yang ditempuh Deng.

Salah satu artikel yang menarik dalam buku ini, adalah wawancara dengan Wang Hui. Hui adalah veteran aktivis Tiananmen Massacre pada 1989, dan pemimpin redaksi jurnal terkemuka di Beijing, Dushu (Readings). Selain itu, Hui yang adalah profesor Humanities di Tsinghua University, adalah orang yang dianggap sebagai pelopor gerakan New Left di Cina. Yang menarik dari wawancara ini adalah cerita Hui tentang Dushu.

Diterbitkan pertama kali pada April 1979, Dushu dengan cepat menjadi salah satu ikon para intelektual di Cina. Sirkulasinya memang sangat kecil berbanding milyaran jumlah penduduk Cina, hanya berbilang di bawah 50 ribu eksemplar. Jurnal ini membahas tema-tema seperti filsafat Barat, teori sosial, dan pemikiran ekonomi. Nama-nama seperti Nietzsche, Heidegger, Cassirerr, Marcuse, Sartre, dan Freud, ramai dibincangkan. Tetapi, menariknya, Dushu tidak membahas tema seperti teori modernisasi atau ekonomi mazhab neo-klasik.

Saya kira, Dushu ini mirip Prisma yang pernah berjaya pada dekade ‘70an dan 80an. Tapi, seingat saya, Prisma sangat sering membahas soal teori modernisasi. Nah, masalah mulai datang pada Dushu, ketika pasar nasional mulai dibuka gencar, dan konsumtivisme mulai jadi gaya hidup. Jurnal kayak Dushu, dipaksa bersaing dengan majalah-majalah model Cosmopolitan, yang ringan dan renyah bacaannya dan enak dipandang. Trend ini tak mampu diabaikan Dushu. Para editornya, terutama pemimpin redaksi Shen Changwen, kemudian memutuskan untuk mengubah kebijakan Dushu, dengan memuat artikel-artikel yang lebih ringan bobot akademiknya. Hasilnya, sirkulasi Dushu meningkat antara 50 ribu hingga lebih dari 80 ribu eksemplar per bulannya. Perubahan kebijakan ini juga, seperti dikatakan Hui, mencerminkan iklim intelektual di Cina, Beijing khususnya, yang gagal memahami gerak perkembangan intelektual dan masyarakat Cina pasca Mao.

Pada 1996, ketika Hui ditawarkan sebagai pemred, ia membawa pulang Dushu ke khittahnya. Di bawah Hui, Dushu meluncurkan serial perdebatan mengenai masyarakat desa, etika, Asia, perang dan revolusi, krisis keuangan, liberalisme, hukum dan demokrasi, nasionalisme, dan feminisme. Reorientasi ini, yang kembali menempatkan Dushu sebagai lahan curah pemikiran, rupanya mendapatkan sambutan atraktif dari kalangan intelektual, yang gelisah dengan merebaknya konsumerisme, kesenjangan sosial, dan ketidakpastian. Dari segi oplah, Dushu meningkat hingga menembus angka 100 ribu dan 120 ribu.

Saya pun membayangkan, suatu ketika di Indonesia, hadir jurnal seperti Dushu. Ia memfasilitasi kegelisahan para intelektual, menjadi lahan perdebatan pemikiran, dan sumber inspirasi teoritik. Ia betul-betul menjadi lokomotif yang menarik gerbong kehidupan intelektual progresif Indonesia.

Di NY sini, saya sedikit beruntung bisa berlangganan cukup banyak jurnal kiri. Dari New Left Review, Monthly Review, Science and Society, historical materialism, hingga Socialist Register. Tapi, saya merasakan ada yang kurang. Jurnal-jurnal ini, tidak menggambarkan semangat para intelektual di negara dunia ketiga (meminjam kategorisasi Mao). Ia lebih merefleksikan cara pandang kehidupan intelektual negara kapitalis maju.

Newer Posts Older Posts Home