DALAM satu minggu terakhir ini, saya merasakan kebahagiaan yang sangat. Saya bertemu muka dengan kawan lama, Eri Sutrisno. Mas Eri, demikian saya menyapanya, adalah kawan lama saya ketika masih aktif sebagai kontributor majalah Pantau, sekira tahun 2001 hingga 2003.

Selain ketemu Eri, saya juga ketemu pak RTS Masli. Pak Masli, secara personal adalah orang asing buat saya. Saya tak pernah kenal sebelumnya, juga tak pernah bertemu muka. Saya hanya mengetahui pak Masli dari jaringan surat elektronik Pantau, bahwa pak Masli, kini terlibat dalam organisasi Pantau.

Jadi, ketemu Eri maupun pak Masli, bagi saya ibarat ketemu kawan lama. Saya ketemu Eri pada hari Sabtu malam dan berlanjut hingga Minggu, sedangkan dengan pak Masli, keesokan harinya. Saya mengajak Eri menghabiskan setengah malam di jalan-jalan kota Manhattan, terutama yang dikenal sebagai the earth of Manhattan yakni, dari 34 St, hingga 47 St.

Dengan iklim yang mulai cerah seperti sekarang ini, jantung kota Manhattan tak pernah sepi pengunjung. Pejalan kaki berdesakkan, sepanjang malam kota terang-benderang di penuhi lampu-lampu yang dipancarkan dari papan reklame dan penerang jalan. Saya melihat Eri asyik dengan kamera digitalnya, ia mengarahkannya ke tempat-tempat yang dikiranya menarik. Di tempat-tempat tertentu, saya memotretnya.

Tak terasa, malam telah lewat. Saatnya pulang. Sial, kereta yang menuju ke arah hotel penginapan Eri tak beroperasi. “Ada perbaikan jalur,” begitu bunyi pengumuman. Jadi, saya terpaksa harus mengambil jalur yang berpindah-pindah. Jadinya, kami harus naik turun tangga, melewati lorang-lorang kereta bawah tanah, berpindah dari satu kereta ke kereta lainnya. Tak jarang, kami salah jalan, sehingga harus bertanya sana-sini.

“Orang di sini lebih ramah dari orang di Jakarta,” begitu komentar Eri.

“Lho kenapa begitu?”

“Kalo di Jakarta kamu nanya sana-sini, orang langsung ngerti kamu orang baru. Bukannya ditunjukin jalan, malah bisa-bisa kamu di gertak.”

Saya teringat ketika dulu masih indekos di Manado, dekade 80an. Kalau pulang malam dan tersesat, jangan coba-coba bertanya pada orang-orang yang lagi cangkringan di pinggir jalan. Bisa dikerjain.

“Pokoknya jalan trus, pura-pura sok tahu,” begitu pesan teman saya.

Keesokan hari, bersama dengan pak Kusoy, yang menjadi pemandu Eri selama di Amerika, kami berkeliling Manhattan, menggunakan bis wisata. Dari Midtown, melaju ke Down Town. Pak Kusoy dan Eri ingin berkunjung ke Patung Liberty yang terkenal itu. Tapi, hari ini agak dingin, sementara antrean untuk naik Feri begitu panjang. Saya lihat Eri gemetaran, rupanya ia tidak mempersiapkan pakaian musim dingin. Kasihan, ia tersiksa sekali. Saya usul agar ia beli topi kupluk dan sarun tangan.

Seperti dengan Eri, saya juga mengajak pak Masli jalan-jalan di Times Square. Pak Masli sangat senang jalan. Pertama kali, kami minum-minum di Rockefeller Center. Pak Masli orang yang hobi ngobrol. Ia cerita apa saja, mulai dari kegiatannya selama di Amerika, kondisi tanah air yang carut-marut, Jakarta yang berantakan, hingga kebanggaannya menjadi bagian dari komunitas Pantau.

“Setelah lima belas tahun lalu, ini kali kedua saya datang ke Amerika,” ujarnya ketika dalam perjalanan menunju ke China Town.

Ya, pak Masli ingin makan yang pedas-pedas. Ia minta diantar ke restoran Thailand. Dan China Town adalah salah satu jawabannya. Kami makan sup Tom Yam, ikan goreng dan sayur tahu. Lahap sekali.

Tetapi, perjumpaan saya dengan kawan lama juga terjadi di dunia maya. Di blog saya yang lain, coenpontoh.wordpress.com, seseorang yang bernama Uchelee atau Ucili, meinggalkan pesan. Saya lihat Ucili, punya blog, langsung saja saya berselancar ke sana.

Ucili adalah nama panggilan dari Rusdi Djalil. Ia adalah kawan lama saya, sewaktu kuliah di Manado. Kami, saat itu sama-sama aktivis, Ucili di Forum Komunikasi Mahasiswa Muslim (FKMM) Manado, dan saya di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Manado. Melihat blognya Ucili, saya jadi ingat masa lalu, seorang teman yang kumal dan lusuh tapi, lucu sekali. Jangan kaget, jika Ucili kini adalah ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Halmahera, yang heboh itu.

Ingat Ucili, ingat Katamsi Ginano. Ini dua orang yang selalu bersama. Beberapa waktu lalu, saya berkorespondensi dengannya. Katamsi boleh dibilang adalah mentornya Ucili di bidang jurnalistik. Dan seperti Ucili, Katamsi orang “gila.” Penampilannya amburadul, setiap kata yang meluncur dari lidahnya tajam seperti mata pedang. Ia juga tangkas dalam berdebat, tanpa kenal lelah.

Saya dengar kini Katamsi bekerja di PT Newmont, salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia. Jika ini benar, saya kira para aktivis anti tambang, harus menyiapkan segudang peluru untuk “bertengkar” dengan Katamsi. Tetapi, saya punya rahasia untuk meredamnya, hehehehehe.***

I Love Summer

HARI ini, mestinya saya berangkat ke Long Island, salah satu kota di New York. Lagi dalam perjalanan menuju kereta api bawah tanah, mendadak teman saya telpon, katanya, pelesiran ke Long Island batal. Ya sudah.

Kadung ke luar rumah, saya malas balik pulang. Saya telpon istri saya, mengajaknya jalan-jalan.

“Honey, jalan yuk, matahari terang-benderang nih?”

“Wah aku nggak bisa ninggalin kantor, pekerjaan lagi bertumpuk. Belum lagi bos leletnya kambuh. Tapi, aku pingin jalan bareng dirimu, gimana ya?”

“Nggak tau. Terserah lo, cuman aku mau pergi ke Union Square.”

“Ah, neyesel deh nggak bisa ikut. Pergi sendiri nggak apa-apa khan?”

Lalu, saya naik kereta R dengan tujuan Union Square yang terletak di 14 Street, Manhattan. Kereta R adalah kereta lokal. Saya sebenarnya bisa ambil jalur cepat, misalnya, naik kereta E atau F tapi, dengan kereta R begitu keluar dari pintu bawah tanah, saya langsung berada di depan taman di Union Square.

Taman ini, tidak terlalu besar tapi, ramai sekali. Kalau musim panas (summer), taman ini adalah salah satu taman tersibuk di Manhattan. Ada banyak sekali kegiatan di sini. Dan benar saja. Begitu kepala saya menyongsong matahari, segera terdengar suara orang berbicara melalui pengeras suara. Saya terus melangkah. Tujuan pertama, apalagi kalau bukan toko buku Strand. Ini toko buku yang mengklaim dirinya sebagai toko buku bekas terbesar di Amerika Serikat.

Biasanya, di toko buku ini, saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam, membolak-balik halaman buku yang menarik minat saya, sekaligus ngecek harganya. Maklum, hehehehe. Tapi, hari ini saya hanya melelahkan mata saya di lembaran buku, saya lagi tak ada niatan untuk belanja. Ada sekitar dua jam saya di dalam Strand.

Capek berdiri, saya melangkah ke luar. Perut sudah mulai keroncongan. Saya mau beli makanan kecil di pinggir jalan, untuk kemudian duduk-duduk di taman. Tapi, begitu ke luar dari Strand, di depan pintu ada begitu banyak orang berkerumun. Ada apa? Ada bom kah?

Rasa penasaran membimbing langkah kaki saya. Di luar tampak berjejaran seperangkat kamera. Beberapa orang sibuk mengatur peralatan.

Can you move over there, please?” ujar seseorang dengan penuh sopan santun.

Saya pun beranjak ke seberang jalan. Dari seberang ini, kerumun orang makin berjejal. Dari bisik-bisik, saya tahu kalau lagi ada pengambilan gambar untuk pembuatan film. Seorang wanita dengan membawa beberapa alat rias, mendekati seorang wanita lain. Seketika, tangannya berayun pelan, membelai-belai wajah cantik, yang berdiri di samping tokok buku itu.

Kerumunan ini mengingatkan saya, ketika dulu masih jadi kontributor majalah Pantau. Saat itu, untuk kepentingan penulisan sosok Raam Punjabi, saya datang ke lokasi syuting salah satu sinetron produksi Multivision, milik Raam. Tempat pengambilan gambar sinetron yang dibintangi Tamara Bleszynski dan Anjasmara itu, berlokasi di salah satu perkampungan warga Betawi. Dan sama seperti di New York, saat itu ada begitu banyak orang menonton di lokasi syuting.

Excuse me, who is the actrees?”

“Amy Adams,” ujar seorang perempuan cantik bertampang Asia di samping saya. Amy Adams, adalah artis yang bermain bersama Leonardo DiCaprio dan Tom Hanks (ini salah satu bintang favorit istri saya), dalam film Catch Me If You Can. Di film itu, ia berperan sebagai istrinya Leo.

Lagi asyik menonton Amy Adams nan cantik, keroncongan di perut makin ramai. Mau tak mau saya mesti beli sesuatu untuk menjinakkannya. Setelah memegang sepotong roti dan satu botol plastik air mineral, saya pun menuju ke taman. Matahari sudah separuuh lebih perjalanan. Hari masing terang-benderang tapi, panas tak terasa.

Saya pun mendudukkan diri di undakan. Samping kiri-kanan saya orang-orang juga lagi pada mengunyah sesuatu. Sambil menyantap roti, mata saya jelalatan. Begitu ramai tempat ini, begitu banyak aktivitas. Seorang lelaki berpakaian norak berkacamata buram, asyik memegang kuas. Ia tampaknya seorang pelukis. Sebentar-sebentar kepalanya mendongak, matanya tajam memandang sesuatu, sejurus kemudian tangannya mulai menari-nari.

“Hmmm, saya mau lihat lukisannya.”

Lagi asyik mengunyah, tiba-tiba di depan saya seorang lelaki tua dengan pakaian tak kalah noraknya, sambil menjinjing tas plastik putih dan bantal guling, menjatuhkan diri di depan saya. Ia berguling seenaknya. Kami yang duduk di situ saling berpandangan sejenak. Ini orang baunya busuk minta ampun. Di Amerika, orang beginian di sebut Homeless, orang pemalas segalanya: malas mandi, malas ganti baju, malas kerja, dst. Kerjanya tidur saja. Tapi, kita tak bisa mengganggu mereka, walaupun jelas-jelas kita merasa terganggu dengan kehadirannya.

Saatnya saya pergi. Saya mendatangi si lelaki yang lagi asyik melukis. Wooow keren sekali lukisannya. Rupanya ia tengah melukis taman itu lengkap pepohonan dan bangunan-bangunan yang mengitarinya. Di sampingnya, berdiri tenda-tenda kecil berlogo ASPCA (The American Society for The Prevention of Cruelty Animals). Kayaknya organisasi ini lagi punya hajatan. Mereka membagi-bagi popcorn gratis. Saya tentu tak mau ketinggalan.

Agak ke bagian tengah taman, bunyi musik mulai nyaring terdengar. Rupanya ada band rock n’ Roll, yang lagi mentas, memeriahkan kegiatannya ASPCA. Saya pun mendekat. Dan luar biasa. Mereka bermain dengan sangat baik: penabuh drumnya hebat, gitar melodinya wuihh, basnya juga, apalagi yang di saksafon. Mereka silih berganti menyanyikan lagu-lagu cadas, yang membetot tidak hanya saya tapi, juga penonton yang berjubel. Saya betah berdiri berjam-jam, terpesona dengannya.

Di tengah kenikmatan itu, hp saya bergetar. Rupanya istri tercinta lagi mau bicara.

“Kok belum pulang? Acaranya asyik ya?”

“Sorry, keasyikan nonton,” ujar saya sambil berjalan ke stasion kereta api bawah tanah.

Dalam kereta, saya merasakan betapa besarnya manfaat dari taman, sebagai ruang publik. Dan di New York, taman seperti di Union Square, berserakan di berbagai tempat. Dan menjelang musim panas seperti sekarang, ada begitu banyak aktivitas yang bisa membuat urat tegang kita mencair.

I Love Summer.***


Beberapa waktu yang lalu, satu peristiwa politik menarik, terjadi di Kuba. Sebabnya, adalah mundurnya Fidel Castro dari pucuk tertinggi pemerintahan negeri penghasil cerutu itu. Pengunduran diri Castro yang berkuasa hampir 50 tahun lamanya itu, tentu saja menarik perhatian banyak pihak di seluruh dunia. Bagaimana masa depan sosialisme di Kuba, mampukah Kuba bertahan dari perang ekonomi yang dilancarkan Amerika beserta sekutunya, apakah akan terjadi kegoncangan politik pasca Castro?

Semua pertanyaan itu melahirkan beragam penafsiran. Hal yang sama tak luput dari seorang Nezar Patria, salah satu wartawan muda majalah Tempo, paling berbakat saat ini. Nezar kebetulan membuat laporan khusus untuk Tempo, berkaitan dengan pergantian kekuasaan dari Castro ke adiknya Raul Castro. Laporan Nezar itulah yang kemudian menjadi bahan diskusi kami. Perlu saya kemukakan di sini, laporan soal Kuba juga muncul di media lain, seperti Kompas. Tapi, saya secara khusus menanggapi laporan Nezar, karena Nezar adalah kawan lama saya.

Kami, dulu, di masa kediktatoran rejim Orde Baru, sama-sama aktif di organisasi Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Di organisasi ini, Nezar adalah senior saya, ia menempati posisi sebagai sekretaris jenderal SMID pusat, sementara saya adalah ketua departemen pendidikan dan propaganda SMID cabang Manado. Di SMID, Nezar dikenal sebagai seorang teoritikus dan organisatoris yang mumpuni dan tak banyak bicara. Di tangannya, kendali organisasi SMID berjalan secara rapi.

Di masa-masa akhir kekuasaan Soeharto, Nezar, yang akrab dipanggil Inez, ini menjadi salah satu korban penculikan yang selamat. Setelah reformasi berlangsung, Nezar memilih karir sebagai wartawan. Dan saya kira, dengan pengetahuan dan pengalamannya, tak heran jika cepat menjadi bintang di Tempo.

Berdiskusi dengan Nezar (melalui jaringan surat elektronik atau milis IndoPROGRSS), membuat saya terkenang dengan masa lalu, yang kerjanya adalah diskusi, rapat, mengorganisir, dan merancang aksi jalanan.

Berikut ini jalannya diskusi tersebut:

==============
Tempo, Edisi. 01/XXXVII/25 Februari - 02 Maret 2008
Luar Negeri

Bulan di Atas Kuba

Setelah hampir separuh abad berkuasa, Fidel Castro akhirnya mundur.
Pemimpin baru di persimpangan jalan. Jenderal Raul Castro, adik Fidel, salah satu calon penggantinya.

TAK ada yang abadi. Begitu juga penguasa Kuba Fidel Castro dan kekuasaannya. "El Comandante"-begitu Castro disebut-membuat pernyataan penting pada Selasa pekan lalu: dia tak mau lagi dipilih sebagai Presiden Kuba pada sidang Majelis Nasional. Berita itu dirilis lewat situs berita resmi milik Partai Komunis Kuba, Digital Granma Internacional. "Saya tak akan menerima posisi sebagai Presiden Dewan Negara dan Panglima Militer," tulis Castro. Sidang majelis dilangsungkan Selasa pekan ini.

Sejak pertengahan 2006, Castro sakit dan harus operasi di bagian perut. Sejak itu dia tak pernah lagi tampil di depan umum. Tak jelas apa penyakitnya, hanya disebut-sebut dia mengalami pendarahan usus. Itu tampaknya menjadi alasan mundur. Meski tak lagi berpidato, dia masih kerap tampil di televisi serta pada sejumlah foto resmi.

Lelaki berjanggut yang badannya berayun-ayun ketika berpidato itu kini lebih banyak melakukan "refleksi dan meditasi". Sejak pekan lalu, setiap hari ada satu tulisannya di situs Granma. Refleksi Fidel mencakup soal politik, ekonomi, dan ideologi. Terakhir, misalnya, dia menulis tentang politik Amerika lewat lima seri tulisan. Meski kini hanya menulis, Fidel mengatakan tak akan meninggalkan politik. "Ini bukan ucapan selamat tinggal," ujarnya. Dia ingin tetap berjuang sebagai prajurit. Bukan prajurit bersenjata, tapi prajurit ide.

Reaksi pertama tentu datang dari Presiden Amerika Serikat, musuh tradisional Fidel. Saat George W. Bush berkunjung ke Rwanda dan lima negara Afrika lain pekan lalu, ia ingin ada transisi demokratik di Kuba. "Bukan sekadar suksesi di dalam kediktatoran," ujarnya. Tentu ucapan itu sudah kerap didengar Fidel dari mulut Presiden Amerika.

Sejak berkuasa, Fidel menyaksikan sepuluh Presiden AS naik-turun ke Gedung Putih. Pada 1959, lelaki yang lahir di Biran, Kuba Timur, itu memimpin 800 personel, mengalahkan 30 ribu prajurit diktator Fulgencio Batista. Setelah melancarkan gerilya, dia menduduki Havana, mengusir Batista, lalu menjadi legenda. Pemberontakan itu semula didukung Amerika, belakangan Fidel menyatakan pemberontakan itu sebagai kemenangan komunisme.

Sejak itu, Amerika yang merasa tertipu mencoba menjatuhkan Fidel. Embargo ekonomi dilancarkan, tetapi "El Comandante" bertahan dengan merapat ke Uni Soviet. Lalu, berbagai upaya pembunuhan atas dirinya diorganisir CIA, termasuk peristiwa Teluk Babi pada 1961. Semua gagal dan hanya membuat dia kian membenarkan sikap menindas "elemen kapitalisme dan imperialisme" di Kuba. Ujungnya, Fidel Castro menjadi diktator.

Tekanan Amerika juga membuat Kuba harus mencari akal untuk bertahan. Mungkin itu sebabnya Fidel Castro tetap menggenjot ideologi komunisme. Lihatlah di Calle Obispo, sepotong jalan di kawasan kolonial Old Havana. Ada plakat besar tertempel di museum Komite Pertahanan Revolusi, organisasi warga yang dibentuk Fidel pada 1960. Museum itu baru didirikan tahun lalu. Plakatnya berbunyi: Sr Bush: este pueblo no puede ser enganado ni comprado (Tuan Bush, rakyat kami tak bisa ditipu atau dibeli). Di dinding terpatri pidato-pidato Fidel dan jumlah anggota Komite, yang sampai 2007 mencapai 8,4 juta dari 11 juta warga Kuba.

Setelah Uni Soviet bubar, Kuba memang kerepotan. Ekonominya menciut 35 persen sepanjang 1989-1993. Banyak yang menduga Kuba bakal runtuh, toh negeri cerutu itu bertahan. Fidel segera menyatakan "periode khusus" ketika Kuba boleh menerima modal asing, mempromosikan turisme, terutama hotel, pertambangan nikel, telekomunikasi, dan minyak bumi. Ekonomi sedikit membaik, tapi Fidel terpaksa menghentikannya pada 1996. Akibat modal masuk itu, ada jurang pendapatan di tengah rakyat.

Dibanding Cina dan Vietnam, dua negara komunis yang melaju setelah mencangkok kapitalisme, Kuba memang lebih lambat. Untunglah ada Hugo Chavez, pemimpin Venezuela, yang mengidolakan Fidel. Venezuela lalu ibarat Uni Soviet bagi Kuba. Keduanya melakukan ekonomi barter. Chavez meminta 20 ribu dokter, guru olahraga, dan ahli keamanan dari Kuba untuk bekerja di negerinya. Sebagai balasan, Venezuela mengucurkan minyak sejumlah 92 ribu barel per hari ke Kuba, dan menyetor US$ 800 juta pada 2006, dan US$ 1,5 juta (setara Rp 14 miliar) pada 2007.

Berkat Venezuela, ekonomi Kuba kembali bergerak. Negeri itu bisa punya energi listrik lumayan baik. Apalagi, ketika bantuan kredit dari Cina datang. Kuba mengganti armada bus reot mereka dengan buatan Cina yang lebih hemat bahan bakar. Meski begitu, negara itu masih terbebat problem pendapatan rendah. Biaya hidup pun melangit.

Gaji seorang buruh pabrik, misalnya, berkisar 400 peso. Dokter? Jangan kaget, hanya 700 peso. Angka itu pun kalau ditukar ke dolar di pasar gelap hanya berkisar US$ 17-30 (setara Rp 150-180 ribu). Peso hanya cocok membeli sembako bersubsidi. Setiap bulan, lewat Komite Pertahanan Revolusi, warga dijatah 2,25 kilo beras per orang. Ditambah setengah liter minyak goreng. Kalau stok lagi ada, warga bisa kebagian kedelai, gula, sardin, daging, sabun dan pasta gigi. Ini semua cuma bisa bertahan sepekan.

Meski begitu, soal kesehatan dan pendidikan, Kuba boleh menepuk dada. Mereka bisa menggratiskan rumah sakit dan sekolah, tetapi ada masalah besar juga. Dengan ekonomi morat-marit, sekolah kini kekurangan guru. Banyak tenaga pengajar pindah ke sektor turisme. Di sektor itu duit lebih menjanjikan. Soal fasilitas kesehatan pun kini terancam gawat. Gedung rumah sakit banyak yang lapuk. Peralatan medis dan obat pun terbatas.

Banyak pengamat mengatakan, jika Fidel mundur, maka Kuba bakal berubah. Namun, jika Raul Castro, 76 tahun, yang menggantikannya maka perubahan mungkin tak terlalu besar. Raul adalah adik kandung Fidel, kini adalah pejabat presiden, sejak sang abang absen 19 bulan karena sakit. Dia juga Menteri Pertahanan. Meski dikenal pragmatis, Raul adalah motor dari Partai Komunis Kuba. Pada Juli lalu dia berjanji membuat "perubahan struktural dan konseptual", tapi belum begitu jelas ke mana arah ekonomi dan politik Kuba nanti.

Jika Raul tidak naik, calon kedua menjadi penting. Namanya Carlos Lage, anggota Politbiro dan Ketua Dewan Menteri Negara. Umurnya 51 tahun. Artinya, ketika Fidel dan kawan-kawannya menggulingkan Batista, dia baru tiga tahun. Karena itu, Lage termasuk generasi muda yang tak terkait pengalaman politik kaum tua. Sebagai penasihat ekonomi Fidel, dia diharapkan menjadi motor perubahan.

Sejak Raul Castro pegang kendali, politik Kuba sedikit lebih lega. Para seniman dan penulis agak relatif bebas. Raul juga pernah minta maaf kepada bekas pejabat yang terkena "revolusi kebudayaan" pada 1970-an. Tapi, memang, kritik hanya boleh dilakukan terbatas. Warga boleh menghujat isu ekonomi, dan korupsi birokrasi. Soal politik belum boleh disentil. "Kalau kami bicara jelek soal Fidel, kami bisa di penjara," ujar Rodrigo, warga Havana.

Fidel dan revolusi Kuba kini berada di persimpangan. Rakyat akan mencatat dia sebagai pemimpin setia kepada revolusi. Dia bukan pemimpin korup dan kaya-raya seperti diktator lain. Fidel adalah pemimpin yang tak bisa berpisah dari rakyat, seperti cintanya kepada revolusi. Dan, revolusi baginya tak lain adalah pengabdian absolut memenuhi kebutuhan rakyat.

Suatu kali, setahun setelah menggulingkan diktator Batista pada 1959, filsuf dan sastrawan Prancis Jean-Paul Sartre bertandang ke Kuba. Perjalanan itu akhirnya dibukukan dalam Sartre on Cuba, yang terbit sekitar 1961. Di sana, terekam satu dialog menarik antara Fidel dan filsuf eksistensialisme itu. Sartre bertanya, apakah Fidel akan memenuhi semua permintaan rakyat?

+ "Ya, karena semua permintaan merefleksikan kebutuhan."

- "Bagaimana jika mereka meminta bulan?"

Fidel terdiam. Dia mengisap cerutunya dalam-dalam.

+ "Kalau itu mereka minta, berarti rakyat memang membutuhkannya."

Fidel baru saja menyatakan "pensiun" pekan lalu. Mungkin, dia mengingat kembali dialog setengah abad lampau. Seperti bulan, kebutuhan rakyat kini tampak terang: perubahan di Kuba.

Nezar Patria (Granma, Economist)
---------------

Re: [IndoProgress] Nezar Patria-Bulan di Atas Kuba: a critique

Dear all,

Membaca laporan Nezar ini, aku seperti membaca laporan media-media kapitalis liberal, tentang peralihan kekuasaan di Kuba. Media seperti The Independent atau Guardian banyak menulis, bahwa perubahan yang kini terjadi di Kuba, belumlah seperti yang diinginkan.

Coba baca tulisan Rory Carroll di the Guardian pada 25 February, "The dearth of suspense underscored the authorities' tight control over the island and its 11 million people, many of whom hanker for relief from poverty harsher than that experienced in eastern Europe before the fall of the Berlin wall."

Media-media ini juga menilai peralihan kekuasaan di Kuba tak lebih seperti peralihan kekuasaan di sebuah kerajaan, atau khas seperti peralihan kekuasaan di Korsel. Mereka menghendaki peralihan kekuasaan berlangsung secara "normal" dan "damai."

Kita tentu saja mahfum argumen seperti ini sangatlah politis, tidak ilmiah. Dimanapun, jika terjadi peralihan kekuasan yang damai, rejim baru tentu berusaha melanjutkan kebijakan rejim lama. Coba lihat dari rejim Clinton yang demokrat ke rejim Bush yang Neocon, keduanya sama-sama agresor dan menjalankan kebijakan ekonomi yang sama: neoliberal. Atau peralihan kekuasaan dari Tony Blair ke Gordon Brown, apa perbedaan signifikannya? Juga dari Gus Dur ke Megawati lantas ke SBY, beda substansialnya apa?

Kecuali perubahan kekuasaan itu berlangsung radikal seperti dari Orde Soekarno ke Orde Soeharto, jelas ada perubahan kebijakan yang juga radikal. Atau dari Batista ke Castro.

Nezar juga menulis bahwa setelah berkuasa, Castro kemudian menjadi diktator. Patut ditanyakan, dalam pengertian seperti apa kata Diktator yang dimaksud Nezar? Kalau menggunakan teori pembagian kekuasaan atas tiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, maka benar bahwa Castro berkuasa secara diktator. Tapi, Kuba memang tidak mengadopsi demokrasi liberal, apalagi jika itu bermakna the way of American politics.

Saya pernah menulis agak panjang soal demokrasi di Kuba ini di Jurnal terbitan insist Yogyakarta pada 2005, di mana saya menunjukkan bahwa partisipasi rakyat dalam setiap jenjang pemilihan umum di Kuba sangatlah tinggi. Dan mereka yang terpilih dalam Pemilu, tidak selalu merupakan calon dari Partai Komunis Kuba.

Selain itu, Nezar menulis bahwa hubungan antara Venezuela dan Kuba ibarat hubungan antara Uni Sovyet dan Kuba. "Venezuela lalu seperti ibarat Sovyet kedua bagi Kuba," tulisanya. Aah, tentu ini pengibaratan yang berlebihan. Dalam kasus hubungan Kuba-Sovyet, posisi Kuba adalah subordinat, sementara dalam hubungan Kuba-Venezuela, hubungan keduanya adalah setara. Secara politik bahkan keduanya sangatlah berbeda, walaupun Chavez merupakan pengagum Castro.

Di bagian lain, Nezar menulis bahwa Kritik hanya boleh dilakukan secara terbatas dan para seniman dan penulis baru merasa lebih bebas ketika Raul Castro menjabat sebagai acting president. Nezar mungkin kekurangan informasi. Dari segi penerbitan buku, misalnya, Kuba sangatlah produktif. Kita ambil contoh sejak dimulainya pelaksanaan Festival Buku pada 1982, selalu diramaikan oleh besarnya animo penerbit dan pengunjung. Pada pelaksanaan Cuban Book Fair yang ke-17 tahun ini, misalnya, jumlah penerbit yang berpartisipasi sebanyak 145 dimana 90 di antaranya berasal dari luar negeri. Coba bandingkan dengan jumlah partisipan penerbitan buku di Indonesia.

Mau tahu berapa jumlah buku yang terbit setiap tahun di Kuba? Pada masa krisis ekonomi tahun 1990an, jumlah buku yang terbit "cuma" 50 juta eksemplar. Kini berdasarkan laporan Cuban Books Institute, jumlah buku yang terbit pasca krisis hanya bertambah "sedikit" menjadi 60 juta eksemplar. Cuban Institute sendiri tahun ini hanya bisa menjual buku lebih dari 8 juta eksemplar. Dari segi topik, kecuali buku-buku mesum, hampir semua buku ilmiah yang terbit di Barat bisa di jumpai di Kuba.

Setelah memuji soal prestasi Kuba di bidang pendidikan dan kesehatan, Nezar menulis bahwa jumlah guru di Kuba semakin berkurang. Masak iya? Hingga kini, Kuba adalah negara dengan jumlah guru terbesar di Amerika Latin. Dari segi komposisi jumlah guru-murid, untuk tingkat sekolah dasar dari setiap 20 murid dilayani oleh satu orang pengajar. Untuk tingkat sekolah menengah, satu orang pengajar melayani 15 murid. Bahkan, di negara seperti AS, komposisi seperti ini tak akan bisa ditemukan.

Lalu soal gedung-gedung rumah sakit yang lapuk dan peralatan yang terbatas. Nezar melupakan satu hal, bahwa selama lebih dari 40 tahun Kuba diembargo secara ekonomi oleh AS untuk semua bidang, termasuk fasilitas medis. Tapi, kalau Nezar pernah menonton film Sicko karya Michael Moore, tentu Nezar bisa melihat dengan jelas betapa fasilitas kedokteran di Kuba yang masih diembargo itu, sangatlah modern. Lebih dari itu, gedung rumah sakit yang megah, bukan ukuran yang akurat bagi kelayakan pelayanan medis. Indonesia tentu contoh terbaik soal ini.

Lantas soal gaji yang cekak. Bung Nezar, orang memburu uang setinggi-tingginya, karena takut akan resiko yang mengancam masa depan hidupnya. Takut, jika ia sakit tak mampu membiayai pengobatannya, takut jika anaknya gede tak mampu menyekolahkan karena biaya pendidikan yang melangit, atau takut jika ia tak mampu membeli barang-barang luks seperti mobil, baju-baju mewah, emas perhiasan, yang merupakan simbol jati diri kemodernan. Tapi, jika pendidikan gratis, kesehatan gratis, dan simbol kemodernan adalah solidaritas, empati, dan kejujuran, lantas buat apa memburu harta bertumpuk?

Pada akhirnya, terima kasih untuk laporan Nezar ini. Saya kira, ini laporan tentang Kuba yang relatif berimbang. Dan kini, Raul Castro telah resmi menjadi presiden Kuba, tanpa arak-arak panser dan demonstrasi massa yang brutal.

-C
-----------------

Re: [IndoProgress] Re: Nezar Patria-Bulan di Atas Kuba: a critique

Terimakasih masukan kawan-kawan,

Artikel itu cuma mau bilang kalau ada masalah di Kuba (aduh, masak sih Coen, aku ngomong gitu aja gak boleh hehehe). Sumber data di laporan itu adalah the economist, dan aku sadar sepenuh2nya kalau media itu sangat pro neolib. Tapi aku juga mengecek Granma, organ propaganda resmi Partai Komunis Kuba. Data ekonomi kebanyakan diakses dari the economist, tapi soal suasana hati warga kuba, aku tanya lagi ke dua orang rekan di Tempo yang pernah mengunjungi Havana beberapa waktu lalu. Menurut mereka (ah, seandainya saja aku sendiri bisa ke Havana), memang banyak tenaga pintar dan profesional tertarik menjadi pemandu wisata, dan memimpikan pekerjaan yang pantas dan berduit. Kita boleh bilang mungkin mereka terkena infeksi kapitalisme, tapi begitulah faktanya. Aku kira tak bijak juga menutup hal-hal begitu hanya kita takut 'iman' kita kepada Kuba rusak hehehe. Itu adalah kenyataan yang dilihat oleh rekan Tempo di Havana (baca juga laporan yang menarik dalam selingan Tempo tiga tahun lalu yang ditulis Hermien Kleden).

Betul, banyak tenaga guru, dokter, insinyur pertanian yang jago-jago. Aku pikir inilah berkah sosialisme yang memberikan pengetahuan kepada semua orang. Tapi, ada fakta lain, bahwa ekonomi Kuba memang sedang ada problem. Sosialisme Kuba masih berjuang memncari jalan keluar. Bahkan Raul mengakui, bahwa rakyat mereka masih miskin. Aku tentu saja menghormati segala upaya Fidel untuk bertahan, dan menjadi benteng ideologi sosialisme bagi Amerika Latin, meskipun harus sesak napas karena tekanan yang besar dari Amerika Serikat dan kawan-kawan.

Tetapi, sekali lagi, kekuatan Kuba adalah pada moralitas kepemimpinan dari El Comandante. Dia teladan pemimpin yang mencintai rakyat, dan mengabdikan hidupnya buat revolusi. Aku melihat dokumenter yang dibuat oleh Oliver Stone, bagaimana Fidel sangat lelah menghadapi semua tekanan itu, dan bekerja keras mempertahankan kepentingan rakyat di Kuba. Oliver Stone juga menyorot bagaimana rakyat Kuba mencintai dia. Fidel yakin komunisme masih sebagai jalan keluar, meskipun dia tak tahu apakah generasi selanjutnya akan bisa bertahan sekukuh dirinya. Jarinya bergetar meneken tumpukan dokumen dan surat2 di meja kerja yang sangat sederhana. Dia memang sudah lanjut usia. Semangat sosialisme yang membuatnya kuat, karena yakin apa yang dia buat adalah untuk kepentingan rakyat Kuba, dan bukan buat pribadinya. Fidel harus mengencangkan kendali ideologi dan politik (ini maksudku, bahwa dia menjadi diktator dalam konteks mempertahankan kepentingan rakyat Kuba), karena hanya dengan jalan itu dia bisa membersihkan pengaruh AS yang menyusup ke Kuba. Tapi, upaya itu kan juga harus kongkrit, karena toh rakyat Kuba juga tahu mereka dalam keadaan sulit dan harus kuat 'iman'nya bertahan dari gempuran kapitalisme global.

Tentu kita senang kalau Kuba berhasil mencari jalan keluar dan merevitalisasi energi sosialisme di sana. Setidaknya, ada harapan lain yang masih mungkin, untuk hidup lebih baik dari tawaran tunggal neoliberal. Itu pula gunanya melihat dan melaporkan hal-hal yang tak menyenangkan. Bukankah kebenaran ada dimanapun juga, termasuk di tempat yang paling kotor?

N
--------------

Re: [IndoProgress] Re: Nezar Patria-Bulan di Atas Kuba: a critique

Nez,

Thank's ya atas replynya. Tentu saja ada problem di Kuba, dan ini bukan hal yang aneh. Kalau tak ada problem, baru itu yang benar-benar problem kkhan?

Misalnya, secara internal soal perubahan struktur masyarakat dari sisi usia, antara mereka yang punya pengalaman langsung dengan revolusi 1959 dengan generasi baru yang tak punya sentuhan langsung. Tentu ada gap dalam memaknai revolusi. Secara eksternal, tentu saja sikap AS dan sekutunya yang tak berubah.

Tapi, bukan itu yang kupersoalkan dalam artikelmu itu (tentu tak perlu kuulang di sini). Dan ini tak ada hubungan dengan soal "iman," kayak Kuba itu Mekkah, hehehehe.

Btw, dokumentari Oliver Stone itu (di sini) menarik sekali memang. Sebagai penambah bumbu cerita soal Fidel, coba juga lihat film yang ini (di sini). Menurut gua, film ini menggambarkan agak lengkap soal sosok Fidel, pencapaian-pencapaiannya, dan komentar para oposan terhadapnya.

Selamat menikmati,
-C

"Buku adalah jendela dunia."

Slogan ini saya baca pertama kali dari katalog buku penerbit Mizan, Bandung, pada awal dekade 90an. Dan saya percaya dengan slogan itu. Itu sebabnya, setiap terjadi pembakaran atas buku, saya selalu sedih dan marah. Para pejabat keji itu tak tahu, bahwa mereka tidak hanya membakar buku tapi, juga telah membakar dunia.

Tetapi, entah kenapa, pejabat di Indonesia, terutama birokrat hukum, selalu menempatkan diri mereka sebagai orang dungu. Mereka pikir, mereka bertindak benar, hendak melindungi rakyat dari pengaruh buruk buku "tak bermutu." Sungguh, sungguh ironis. Dan itulah yang mereka lakukan pada Juli lalu, dengan membakar buku secara massal.

Tindakan barbar itu, tentu saja harus dilawan. Dan saya secara sadar melibatkan diri dalam barisan perlawanan itu. Di tengah-tengah situasi itu, muncul surat terbuka dari Arya Gunawan, seorang mantan wartawan BBC London, yang kini bergiat di lembaga PBB, UNESCO, Jakarta. Dalam surat terbuka itu, Arya mengatakan bahwa para penentang pembakaran buku itu, melupakan satu fakta penting bahwa Pramoedya Ananta Toer (PAT), juga pernah terlibat dalam aksi bakar buku pada dekade 1960an. Surat Arya yang menyebar ke berbagai jaringan surat elektronik (mailing list) itu, membuat saya tertegun. Apa benar PAT pernah terlibat pembakaran buku? Tapi, rupanya bukan saya saja yang mempertanyakan informasi dari Arya ini. Di berbagai milis, pertanyaan senada juga muncul.

Saya kemudian menulis surat kepada Arya, melalui rekan saya Andreas Harsono:

"Saya sendiri, ketika membaca info dari Arya soal Pram bakar buku, merasa ragu. Pram adalah pustakawan tersohor pada masanya, ini kata sejarawan senior Ong Hok Ham, pada saat peluncuran buku Pram "Kronik Sejarah Indonesia." Coba gimana bisa nulis Kronik, yang sumbernya dari berbagai macam aliran, kalau ia sendiri pernah bakar buku orang?

Lalu Arya bilang, sumber datanya dari buku Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto. Bung Arya, kok bisa anda tidak kritis terhadap sumber? Soalnya, pelaku sejarah yang lain, seperti Mas Goen atau Rm. Magnis yang sangat teliti itu, masak alpa kalau Pram pernah bakar buku. Artinye, sebagai wartawan atau intelektual, anda harus kritis terhadap klaim satu pihak. Jangan terburu-buru ambil kesimpulan trus disebar-sebarin. Kayak buku "Prahara Budaya" itu kitab suci aja."

-C
~~~~~~~~~~~~

Surat saya ini, bersama surat-surat senada, kemudian mendapatkan tanggapan panjang lebar dari Arya Gunawan (klik di
sini. Terhadap tanggapan Arya ini, saya memberikan tanggapan balik, sebagai berikut:

Bung Arya,

Saya sungguh kagum dengan militansi anda, untuk meyakinkan saya bahwa Pram memang pernah membakar buku atau paling tidak "diam" ketika ada pembakaran buku. Saya sendiri telah kehilangan militansi semacam itu.



Sayang sekali, surat anda yang panjang lebar itu tidak membantu sama sekali dalam mendukung militansi itu. Lebih sedihnya lagi, untuk orang sekaliber anda yang luas pergaulan dan telah banyak makan asam garam dunia jurnalistik, data-data yang anda usung sebagai "fakta," sangatlah sumir.



Pertama, anda sama sekali tidak cover both sides (sesuatu yang paling minimal dalam standar jurnalistik yang benar), dalam pengutipan sumber. Anda terus saja menjejalkan opini (bukan fakta keras) dari para penentang Pram dan Lekra. Anda sama sekali tidak mempertimbangkan bahwa Pram sendiri pernah membantah keterlibatannya dalam aksi bakar buku. 



Bung, pembakaran adalah kejahatan yang serius, dan anda menyulutnya menjadi kontroversi ketika melibatkan diri seorang Pram. Bagaimana mungkin anda bisa tiba pada kesimpulan bahwa Pram terlibat pembakaran buku, hanya dari satu sumber, dari mereka yang menentangnya, khususnya lagi dari "Prahara Budaya."? Tentu saja kalau anda melakukan metode cover both side, anda mesti meragukan klaim Prahara Budaya." Ditambah catatan, kontroversi itu tentu tidak otomatis selesai. Maka, anda tetap tidak boleh mengambil kesimpulan serampangan begitu. Majulah ke tahap selanjutnya, disiplin verifikasi. Kalau anda mengelak bahwa anda tidak punya cukup waktu, kenapa lantas menjatuhkan wibawa anda dengan kesimpulan mentah? 



Ah, bung Arya, militansi anda mengingatkan saya ketika baru mulai menjadi aktivis mahasiswa tahun 90an. Padahal, zaman sudah berubah, militansi saja tidak cukup bung. Ketelitian, kesabaran, kebajikan untuk membuka diri terhadap kebenaran yang lain, sungguh-sungguh lebih penting.



Kedua, anda mengutip kata-kata "pembersihan" yang ditulis oleh Pram dalam lembar budaya Lentera di koran Harian Rakyat (HR) (katakanlah saya terima bahwa HR tgl 3 itu valid adanya). Dengan kata "pembersihan" itu, bung anggap Pram telah menyulut, atau memprovokasi pembakaran buku.

Bung, lagi-lagi saya terpaksa mengatakan bahwa anda terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Anda sama sekali tidak meneliti secara seksama "politik bahasa" pada masa itu, dan dengan beraninya melakukan interpretasi dalam konteks politik bahasa kekinian, suatu tindakan yang a-historis. Anda sungguh-sungguh mengabaikan semiotika di sini. Lupakah anda, bahwa di masa itu, slogan-slogan semacam revolusi, ganyang, hancurkan, bangun lagi, kontra-revolusi, Amerika kita setrika, Inggris kita linggis, retool, oldefo-conefo, adalah bahasa yang umum dipakai semua pihak? Bahkan tentara yang paling konservatif dan reaksioner pun, memakai istilah revolusi dalam slogan-slogannya. 


Coba anda bandingkan, antara pidato atau tulisan Pram yang seperti itu, dengan pidato atau tulisan seorang Isa Anshary, tokoh Masyumi yang paling anti PKI? Sama-sama keras bung. Toh, kita tidak bisa bilang bahwa Isa Anshary terlibat pembantaian terhadap anggota atau simpatisan PKI. Iya khan?



Dan anda juga tahu, bahasa yang lemah gemulai, tidak berarti membawa pesan damai. Mau contoh? Coba pulang sedikit ke masa Orba, dimana para pemimpin suka sekali bilang "amankan (tangkap)," "sesuaikan (naikkan harga)," "gebuk (sikat)," "pembangunan (tunduk patuh)," "anti-pembangunan (pengkhianat)," "Pancasila (dogmatisme)," dsb. 



Ketiga, katakanlah Pram memang benar menulis dengan keras, sekeras-kerasnya terhadap lawan-lawan politiknya. Bung, apa yang salah dengan itu? Apa yang salah dengan polemik? Saya kasih contoh sederhana polemik yang keras:



COEN: Arya itu provokator, ingin mengalihkan persoalan dari bakar buku.

ARYA: Saya bukan mengalihkan persoalan, saya mengingatkan Coen agar dia jangan lupa pada sejarah. Yang provokator itu Coen.



COEN: Kok bisa Arya terus mengelak. Dasar provokator. Sekali provokator tetap provokator.



ARYA: Lha yang provokator itu Coen. Buktinya, ia tak juga mengerti apa maksud saya, dan terus saja menuduh saya provokator.



Apa yang salah dengan polemik paling keras macam begini? Tentu tidak ada, paling-paling, yang membaca pada muntah. Polemik kok dangkal begitu. Menjadi soal, ketika para polemikus ini melakukan tindakan kekerasan fisik kepada lawan polemiknya. 



Nah, menurut Anda, pada saat itu siapa yang melakukan serangan fisik kepada lawan polemiknya? Mas Goen bilang bahwa beberapa aktivis Manifes Kebudayaan, dihalang-halangi kegiatannya, diberhentikan dari jabatannya, atas pengaruh atau desakan Lekra. Dari mana kita bisa memastikan bahwa memang semua tindakan pemberangusan itu adalah hasil dari pengaruh atau desakan Lekra? Yang pasti, yang menghalang-halangi itu adalah polisi. Lha, jangan juga menutup mata bahwa banyak kok aktivitas PKI yang dihalang-halangi oleh Tentara. Dan beberapa anggota Manifes punya kesaman aspirasi politik dengan tentara. 



Kalau polemik terbuka anda nilai sebagai provokasi, betapa berbahayanya. Provokasi dilakukan oleh setan jalanan, mereka yang pengecut, yang suka memancing di air keruh. Pram jauh dari itu. Dia secara terbuka mengemukakan pendapat-pendapatnya, dan tidak pernah melarang orang membantahnya. Dia tidak pernah melarang Mochtar Lubis atau Rosihan Anwar, atau Wiratmo Soekita, untuk menuliskan pendapatnya. Bahwa Pram dominan saat itu, ya karena secara politik PKI memang partai terbesar saat itu.



Keempat, bung Arya, anda terlalu berlebih-lebihan memandang pengaruh Pram terhadap organisasi PKI. Benar Pram secara individu sudah diperhitungkan kala itu tapi, suaranya sungguh tidak dominan apalagi menentukan dalam struktur pengambilan keputusan PKI. Dia juga bukan anggota PKI dan tidak duduk dalam struktur tertinggi PKI. Bahkan, di HR sendiri, Pram kalah wibawa dengan Nyoto, sang pemred yang begitu berpengaruh. 



Dalam perbandingan saat ini, Pram bukanlah kiai Hilmi yang duduk di dewan syuro PKS, yang suaranya begitu powerfull.



Sehingga ketika anda menarik kesimpulan bahwa artikel Pram di Lentera itu memberikan pengaruh besar pada tindakan aktivis PKI, anda lagi-lagi menarik kesimpulan yang prematur.***

Boroko

Hari ini, iseng-iseng saya mencari desa saya, Boroko, di mesin pencari Google. Keisengan ini dipicu oleh rasa rindu tak terkira, sehabis membaca edisi khusus majalah Tempo, menyambut 62 tahun kemerdekaan Indonesia.

Saya memang secara khusus memesan majalah Tempo ke penjual majalah ini di New York, setelah melihat penggalan berita onlinenya. Saya ingin tahu, bagaimana liputan Tempo soal era demokrasi liberal di dekade 1950an. Dan saya senang dengan edisi khusus kali ini. Dua jempol jari untuk Tempo.

Hal lain yang menarik dari edisi khusus ini, adalah berita-cum iklan menyangkut gerak “pembangunan” di beberapa daerah. Dari ujung pulau Sulawesi, muncul liputan soal propinsi Gorontalo, propinsi Sulawesi Utara, dan kotamadya Bitung. Saya agak kecewa, karena tidak menemukan liputan tentang kabupaten Bolaang Mongondow, tempat di mana desa Boroko terletak.

Itulah sebabnya, kemudian, saya menuliskan kata Boroko di mesin pencari Google. Siapa tahu ada beritanya. Tak dinyana, begitu tombol search saya pencet, ternyata ada begitu banyak berita tentang desa tercinta saya itu. Luar biasa.

Tiba-tiba saya merasa telah menjadi orang tua pikun, yang tak lagi mengerti tentang perkembangan zaman, karena tak sanggup lagi mengikuti derap laju informasi. Boroko ternyata telah naik pangkat kini. Ia bukan lagi menjadi ibukota kecamatan Kaidipang tapi, telah menjadi ibukota kabupaten Bolaang Mongondow Utara (disingkat Bolmut). Padahal, barusan pada Jumat kemarin, saya cerita pada istri saya, betapa Boroko, yang tepat berada di perbatasan antara propinsi Gorontalo dan Sulawesi Utara, bukan wilayah yang menarik bagi para pejabat. Ia adalah wilayah yang secara geografis jauh dari pusat kekuasaan kedua daerah tersebut.

Membaca berita itu, saya bangunkan istri saya yang lagi tidur dengan damainya.

Honey, honey, bangun, bangun.”

“Ada apa?” tanyanya sambil memaksakan diri untuk membuka mata.

“Eh, Boroko udah jadi ibukota kabupaten lho?”

“Oh, jadi toh? Selamat ya, itu khan yang diceritakan orang-orang waktu kita pulang kampung dulu?”

Ya, saya tentu saja ingat. Setelah reformasi, sekali dua kali saya pulang kampung, untuk menengok keluarga tercinta. Dalam masa pulang kampung itu, orang ramai berbicara tentang keinginan untuk mendirikan kabupaten baru yang terpisah dari kabupaten Bolaang Mongondow. Demam pemekaran memang tengah melanda hampir seluruh wilayah nusantara. Bahkan, kecamatan Kaidipang pun telah mekar menjadi dua, kecamatan Kaidipang dan kecamatan Kaidipang Barat. Waktu itu, kalau tidak salah, nama kabupaten baru itu sudah dicanangkan, Kabupaten Binadouw. Wilayahnya mulai dari kecamatan Sangkup, Sang Tombolang, Bintauna, Bolang Itang, Kaidipang, dan Kaidipang Barat.

Menanggapi cerita dan aspirasi luas untuk memekarkan diri itu, saya hanya menjadi pendengar yang pasif. Saya sudah tak tahu lagi perkembangan terbaru di desa saya. Saya tak lagi mengerti komposisi kekuatan politik di sana. Secara politik, saya juga tidak tertarik dengan isu pemekaran. Tetapi, saya sangat menghargai aspirasi bapak, ibu, om, tante, saudara, dan teman main sekampung. Saya tahu persis, bagaimana wilayah Pantai Utara (sebutan lain untuk wilayah Bolaang Mongondow Utara), selalu menjadi anak tiri dari kabupaten lama.

Dan kini, cita-cita itu telah terwujud. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2007, pada tanggal 2 Januari 2007. Dari profil daerah yang terpampang di http://www.sulut.go.id/dataweb/kabbolmut.pdf, terbaca bahwa luas kabupaten baru ini adalah 1.843,92km2, terdiri atas enam kecamatan, 52 desa dan satu kelurahan, dengan jumlah penduduk mencapai 81.879 juta jiwa.

Senangnya, saya bisa membaca Boroko dari internet. Dari berita yang saya baca di www.swarakita-manado.com, dan www.hariankomentar.com, pada tujuhbelasan kemarin, untuk pertama kalinya hari kemerdekaan dirayakan di ibukota kabuptan baru itu. Menurut berita, ribuan orang bergembira ria memadati upacara yang dipimpin oleh bupati H.R. Makagansa. Walaupun sederhana, upacara berlangsung khidmat. Usai upacara dilakukan tabur bunga di pelabuhan Boroko nan-indah. Tapi, itu belum cukup. Serangkaian kegiatan telah menanti: lomba olahraga, kesenian, taptu (saya lupa ini singkatan dari apa), lomba kebersihan, serta lomba gerak jalan. Dan, ini yang hebat, tak mau kalah dengan reality show American Idol, ada juga lomba Bolmut Idol.

Rasa senang bercampur haru membelit ulu hati saya. Semoga rakyat Bolmut, makin sejahtera.***

Older Posts