Beberapa waktu yang lalu, satu peristiwa politik menarik, terjadi di Kuba. Sebabnya, adalah mundurnya Fidel Castro dari pucuk tertinggi pemerintahan negeri penghasil cerutu itu. Pengunduran diri Castro yang berkuasa hampir 50 tahun lamanya itu, tentu saja menarik perhatian banyak pihak di seluruh dunia. Bagaimana masa depan sosialisme di Kuba, mampukah Kuba bertahan dari perang ekonomi yang dilancarkan Amerika beserta sekutunya, apakah akan terjadi kegoncangan politik pasca Castro?

Semua pertanyaan itu melahirkan beragam penafsiran. Hal yang sama tak luput dari seorang Nezar Patria, salah satu wartawan muda majalah Tempo, paling berbakat saat ini. Nezar kebetulan membuat laporan khusus untuk Tempo, berkaitan dengan pergantian kekuasaan dari Castro ke adiknya Raul Castro. Laporan Nezar itulah yang kemudian menjadi bahan diskusi kami. Perlu saya kemukakan di sini, laporan soal Kuba juga muncul di media lain, seperti Kompas. Tapi, saya secara khusus menanggapi laporan Nezar, karena Nezar adalah kawan lama saya.

Kami, dulu, di masa kediktatoran rejim Orde Baru, sama-sama aktif di organisasi Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Di organisasi ini, Nezar adalah senior saya, ia menempati posisi sebagai sekretaris jenderal SMID pusat, sementara saya adalah ketua departemen pendidikan dan propaganda SMID cabang Manado. Di SMID, Nezar dikenal sebagai seorang teoritikus dan organisatoris yang mumpuni dan tak banyak bicara. Di tangannya, kendali organisasi SMID berjalan secara rapi.

Di masa-masa akhir kekuasaan Soeharto, Nezar, yang akrab dipanggil Inez, ini menjadi salah satu korban penculikan yang selamat. Setelah reformasi berlangsung, Nezar memilih karir sebagai wartawan. Dan saya kira, dengan pengetahuan dan pengalamannya, tak heran jika cepat menjadi bintang di Tempo.

Berdiskusi dengan Nezar (melalui jaringan surat elektronik atau milis IndoPROGRSS), membuat saya terkenang dengan masa lalu, yang kerjanya adalah diskusi, rapat, mengorganisir, dan merancang aksi jalanan.

Berikut ini jalannya diskusi tersebut:

==============
Tempo, Edisi. 01/XXXVII/25 Februari - 02 Maret 2008
Luar Negeri

Bulan di Atas Kuba

Setelah hampir separuh abad berkuasa, Fidel Castro akhirnya mundur.
Pemimpin baru di persimpangan jalan. Jenderal Raul Castro, adik Fidel, salah satu calon penggantinya.

TAK ada yang abadi. Begitu juga penguasa Kuba Fidel Castro dan kekuasaannya. "El Comandante"-begitu Castro disebut-membuat pernyataan penting pada Selasa pekan lalu: dia tak mau lagi dipilih sebagai Presiden Kuba pada sidang Majelis Nasional. Berita itu dirilis lewat situs berita resmi milik Partai Komunis Kuba, Digital Granma Internacional. "Saya tak akan menerima posisi sebagai Presiden Dewan Negara dan Panglima Militer," tulis Castro. Sidang majelis dilangsungkan Selasa pekan ini.

Sejak pertengahan 2006, Castro sakit dan harus operasi di bagian perut. Sejak itu dia tak pernah lagi tampil di depan umum. Tak jelas apa penyakitnya, hanya disebut-sebut dia mengalami pendarahan usus. Itu tampaknya menjadi alasan mundur. Meski tak lagi berpidato, dia masih kerap tampil di televisi serta pada sejumlah foto resmi.

Lelaki berjanggut yang badannya berayun-ayun ketika berpidato itu kini lebih banyak melakukan "refleksi dan meditasi". Sejak pekan lalu, setiap hari ada satu tulisannya di situs Granma. Refleksi Fidel mencakup soal politik, ekonomi, dan ideologi. Terakhir, misalnya, dia menulis tentang politik Amerika lewat lima seri tulisan. Meski kini hanya menulis, Fidel mengatakan tak akan meninggalkan politik. "Ini bukan ucapan selamat tinggal," ujarnya. Dia ingin tetap berjuang sebagai prajurit. Bukan prajurit bersenjata, tapi prajurit ide.

Reaksi pertama tentu datang dari Presiden Amerika Serikat, musuh tradisional Fidel. Saat George W. Bush berkunjung ke Rwanda dan lima negara Afrika lain pekan lalu, ia ingin ada transisi demokratik di Kuba. "Bukan sekadar suksesi di dalam kediktatoran," ujarnya. Tentu ucapan itu sudah kerap didengar Fidel dari mulut Presiden Amerika.

Sejak berkuasa, Fidel menyaksikan sepuluh Presiden AS naik-turun ke Gedung Putih. Pada 1959, lelaki yang lahir di Biran, Kuba Timur, itu memimpin 800 personel, mengalahkan 30 ribu prajurit diktator Fulgencio Batista. Setelah melancarkan gerilya, dia menduduki Havana, mengusir Batista, lalu menjadi legenda. Pemberontakan itu semula didukung Amerika, belakangan Fidel menyatakan pemberontakan itu sebagai kemenangan komunisme.

Sejak itu, Amerika yang merasa tertipu mencoba menjatuhkan Fidel. Embargo ekonomi dilancarkan, tetapi "El Comandante" bertahan dengan merapat ke Uni Soviet. Lalu, berbagai upaya pembunuhan atas dirinya diorganisir CIA, termasuk peristiwa Teluk Babi pada 1961. Semua gagal dan hanya membuat dia kian membenarkan sikap menindas "elemen kapitalisme dan imperialisme" di Kuba. Ujungnya, Fidel Castro menjadi diktator.

Tekanan Amerika juga membuat Kuba harus mencari akal untuk bertahan. Mungkin itu sebabnya Fidel Castro tetap menggenjot ideologi komunisme. Lihatlah di Calle Obispo, sepotong jalan di kawasan kolonial Old Havana. Ada plakat besar tertempel di museum Komite Pertahanan Revolusi, organisasi warga yang dibentuk Fidel pada 1960. Museum itu baru didirikan tahun lalu. Plakatnya berbunyi: Sr Bush: este pueblo no puede ser enganado ni comprado (Tuan Bush, rakyat kami tak bisa ditipu atau dibeli). Di dinding terpatri pidato-pidato Fidel dan jumlah anggota Komite, yang sampai 2007 mencapai 8,4 juta dari 11 juta warga Kuba.

Setelah Uni Soviet bubar, Kuba memang kerepotan. Ekonominya menciut 35 persen sepanjang 1989-1993. Banyak yang menduga Kuba bakal runtuh, toh negeri cerutu itu bertahan. Fidel segera menyatakan "periode khusus" ketika Kuba boleh menerima modal asing, mempromosikan turisme, terutama hotel, pertambangan nikel, telekomunikasi, dan minyak bumi. Ekonomi sedikit membaik, tapi Fidel terpaksa menghentikannya pada 1996. Akibat modal masuk itu, ada jurang pendapatan di tengah rakyat.

Dibanding Cina dan Vietnam, dua negara komunis yang melaju setelah mencangkok kapitalisme, Kuba memang lebih lambat. Untunglah ada Hugo Chavez, pemimpin Venezuela, yang mengidolakan Fidel. Venezuela lalu ibarat Uni Soviet bagi Kuba. Keduanya melakukan ekonomi barter. Chavez meminta 20 ribu dokter, guru olahraga, dan ahli keamanan dari Kuba untuk bekerja di negerinya. Sebagai balasan, Venezuela mengucurkan minyak sejumlah 92 ribu barel per hari ke Kuba, dan menyetor US$ 800 juta pada 2006, dan US$ 1,5 juta (setara Rp 14 miliar) pada 2007.

Berkat Venezuela, ekonomi Kuba kembali bergerak. Negeri itu bisa punya energi listrik lumayan baik. Apalagi, ketika bantuan kredit dari Cina datang. Kuba mengganti armada bus reot mereka dengan buatan Cina yang lebih hemat bahan bakar. Meski begitu, negara itu masih terbebat problem pendapatan rendah. Biaya hidup pun melangit.

Gaji seorang buruh pabrik, misalnya, berkisar 400 peso. Dokter? Jangan kaget, hanya 700 peso. Angka itu pun kalau ditukar ke dolar di pasar gelap hanya berkisar US$ 17-30 (setara Rp 150-180 ribu). Peso hanya cocok membeli sembako bersubsidi. Setiap bulan, lewat Komite Pertahanan Revolusi, warga dijatah 2,25 kilo beras per orang. Ditambah setengah liter minyak goreng. Kalau stok lagi ada, warga bisa kebagian kedelai, gula, sardin, daging, sabun dan pasta gigi. Ini semua cuma bisa bertahan sepekan.

Meski begitu, soal kesehatan dan pendidikan, Kuba boleh menepuk dada. Mereka bisa menggratiskan rumah sakit dan sekolah, tetapi ada masalah besar juga. Dengan ekonomi morat-marit, sekolah kini kekurangan guru. Banyak tenaga pengajar pindah ke sektor turisme. Di sektor itu duit lebih menjanjikan. Soal fasilitas kesehatan pun kini terancam gawat. Gedung rumah sakit banyak yang lapuk. Peralatan medis dan obat pun terbatas.

Banyak pengamat mengatakan, jika Fidel mundur, maka Kuba bakal berubah. Namun, jika Raul Castro, 76 tahun, yang menggantikannya maka perubahan mungkin tak terlalu besar. Raul adalah adik kandung Fidel, kini adalah pejabat presiden, sejak sang abang absen 19 bulan karena sakit. Dia juga Menteri Pertahanan. Meski dikenal pragmatis, Raul adalah motor dari Partai Komunis Kuba. Pada Juli lalu dia berjanji membuat "perubahan struktural dan konseptual", tapi belum begitu jelas ke mana arah ekonomi dan politik Kuba nanti.

Jika Raul tidak naik, calon kedua menjadi penting. Namanya Carlos Lage, anggota Politbiro dan Ketua Dewan Menteri Negara. Umurnya 51 tahun. Artinya, ketika Fidel dan kawan-kawannya menggulingkan Batista, dia baru tiga tahun. Karena itu, Lage termasuk generasi muda yang tak terkait pengalaman politik kaum tua. Sebagai penasihat ekonomi Fidel, dia diharapkan menjadi motor perubahan.

Sejak Raul Castro pegang kendali, politik Kuba sedikit lebih lega. Para seniman dan penulis agak relatif bebas. Raul juga pernah minta maaf kepada bekas pejabat yang terkena "revolusi kebudayaan" pada 1970-an. Tapi, memang, kritik hanya boleh dilakukan terbatas. Warga boleh menghujat isu ekonomi, dan korupsi birokrasi. Soal politik belum boleh disentil. "Kalau kami bicara jelek soal Fidel, kami bisa di penjara," ujar Rodrigo, warga Havana.

Fidel dan revolusi Kuba kini berada di persimpangan. Rakyat akan mencatat dia sebagai pemimpin setia kepada revolusi. Dia bukan pemimpin korup dan kaya-raya seperti diktator lain. Fidel adalah pemimpin yang tak bisa berpisah dari rakyat, seperti cintanya kepada revolusi. Dan, revolusi baginya tak lain adalah pengabdian absolut memenuhi kebutuhan rakyat.

Suatu kali, setahun setelah menggulingkan diktator Batista pada 1959, filsuf dan sastrawan Prancis Jean-Paul Sartre bertandang ke Kuba. Perjalanan itu akhirnya dibukukan dalam Sartre on Cuba, yang terbit sekitar 1961. Di sana, terekam satu dialog menarik antara Fidel dan filsuf eksistensialisme itu. Sartre bertanya, apakah Fidel akan memenuhi semua permintaan rakyat?

+ "Ya, karena semua permintaan merefleksikan kebutuhan."

- "Bagaimana jika mereka meminta bulan?"

Fidel terdiam. Dia mengisap cerutunya dalam-dalam.

+ "Kalau itu mereka minta, berarti rakyat memang membutuhkannya."

Fidel baru saja menyatakan "pensiun" pekan lalu. Mungkin, dia mengingat kembali dialog setengah abad lampau. Seperti bulan, kebutuhan rakyat kini tampak terang: perubahan di Kuba.

Nezar Patria (Granma, Economist)
---------------

Re: [IndoProgress] Nezar Patria-Bulan di Atas Kuba: a critique

Dear all,

Membaca laporan Nezar ini, aku seperti membaca laporan media-media kapitalis liberal, tentang peralihan kekuasaan di Kuba. Media seperti The Independent atau Guardian banyak menulis, bahwa perubahan yang kini terjadi di Kuba, belumlah seperti yang diinginkan.

Coba baca tulisan Rory Carroll di the Guardian pada 25 February, "The dearth of suspense underscored the authorities' tight control over the island and its 11 million people, many of whom hanker for relief from poverty harsher than that experienced in eastern Europe before the fall of the Berlin wall."

Media-media ini juga menilai peralihan kekuasaan di Kuba tak lebih seperti peralihan kekuasaan di sebuah kerajaan, atau khas seperti peralihan kekuasaan di Korsel. Mereka menghendaki peralihan kekuasaan berlangsung secara "normal" dan "damai."

Kita tentu saja mahfum argumen seperti ini sangatlah politis, tidak ilmiah. Dimanapun, jika terjadi peralihan kekuasan yang damai, rejim baru tentu berusaha melanjutkan kebijakan rejim lama. Coba lihat dari rejim Clinton yang demokrat ke rejim Bush yang Neocon, keduanya sama-sama agresor dan menjalankan kebijakan ekonomi yang sama: neoliberal. Atau peralihan kekuasaan dari Tony Blair ke Gordon Brown, apa perbedaan signifikannya? Juga dari Gus Dur ke Megawati lantas ke SBY, beda substansialnya apa?

Kecuali perubahan kekuasaan itu berlangsung radikal seperti dari Orde Soekarno ke Orde Soeharto, jelas ada perubahan kebijakan yang juga radikal. Atau dari Batista ke Castro.

Nezar juga menulis bahwa setelah berkuasa, Castro kemudian menjadi diktator. Patut ditanyakan, dalam pengertian seperti apa kata Diktator yang dimaksud Nezar? Kalau menggunakan teori pembagian kekuasaan atas tiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, maka benar bahwa Castro berkuasa secara diktator. Tapi, Kuba memang tidak mengadopsi demokrasi liberal, apalagi jika itu bermakna the way of American politics.

Saya pernah menulis agak panjang soal demokrasi di Kuba ini di Jurnal terbitan insist Yogyakarta pada 2005, di mana saya menunjukkan bahwa partisipasi rakyat dalam setiap jenjang pemilihan umum di Kuba sangatlah tinggi. Dan mereka yang terpilih dalam Pemilu, tidak selalu merupakan calon dari Partai Komunis Kuba.

Selain itu, Nezar menulis bahwa hubungan antara Venezuela dan Kuba ibarat hubungan antara Uni Sovyet dan Kuba. "Venezuela lalu seperti ibarat Sovyet kedua bagi Kuba," tulisanya. Aah, tentu ini pengibaratan yang berlebihan. Dalam kasus hubungan Kuba-Sovyet, posisi Kuba adalah subordinat, sementara dalam hubungan Kuba-Venezuela, hubungan keduanya adalah setara. Secara politik bahkan keduanya sangatlah berbeda, walaupun Chavez merupakan pengagum Castro.

Di bagian lain, Nezar menulis bahwa Kritik hanya boleh dilakukan secara terbatas dan para seniman dan penulis baru merasa lebih bebas ketika Raul Castro menjabat sebagai acting president. Nezar mungkin kekurangan informasi. Dari segi penerbitan buku, misalnya, Kuba sangatlah produktif. Kita ambil contoh sejak dimulainya pelaksanaan Festival Buku pada 1982, selalu diramaikan oleh besarnya animo penerbit dan pengunjung. Pada pelaksanaan Cuban Book Fair yang ke-17 tahun ini, misalnya, jumlah penerbit yang berpartisipasi sebanyak 145 dimana 90 di antaranya berasal dari luar negeri. Coba bandingkan dengan jumlah partisipan penerbitan buku di Indonesia.

Mau tahu berapa jumlah buku yang terbit setiap tahun di Kuba? Pada masa krisis ekonomi tahun 1990an, jumlah buku yang terbit "cuma" 50 juta eksemplar. Kini berdasarkan laporan Cuban Books Institute, jumlah buku yang terbit pasca krisis hanya bertambah "sedikit" menjadi 60 juta eksemplar. Cuban Institute sendiri tahun ini hanya bisa menjual buku lebih dari 8 juta eksemplar. Dari segi topik, kecuali buku-buku mesum, hampir semua buku ilmiah yang terbit di Barat bisa di jumpai di Kuba.

Setelah memuji soal prestasi Kuba di bidang pendidikan dan kesehatan, Nezar menulis bahwa jumlah guru di Kuba semakin berkurang. Masak iya? Hingga kini, Kuba adalah negara dengan jumlah guru terbesar di Amerika Latin. Dari segi komposisi jumlah guru-murid, untuk tingkat sekolah dasar dari setiap 20 murid dilayani oleh satu orang pengajar. Untuk tingkat sekolah menengah, satu orang pengajar melayani 15 murid. Bahkan, di negara seperti AS, komposisi seperti ini tak akan bisa ditemukan.

Lalu soal gedung-gedung rumah sakit yang lapuk dan peralatan yang terbatas. Nezar melupakan satu hal, bahwa selama lebih dari 40 tahun Kuba diembargo secara ekonomi oleh AS untuk semua bidang, termasuk fasilitas medis. Tapi, kalau Nezar pernah menonton film Sicko karya Michael Moore, tentu Nezar bisa melihat dengan jelas betapa fasilitas kedokteran di Kuba yang masih diembargo itu, sangatlah modern. Lebih dari itu, gedung rumah sakit yang megah, bukan ukuran yang akurat bagi kelayakan pelayanan medis. Indonesia tentu contoh terbaik soal ini.

Lantas soal gaji yang cekak. Bung Nezar, orang memburu uang setinggi-tingginya, karena takut akan resiko yang mengancam masa depan hidupnya. Takut, jika ia sakit tak mampu membiayai pengobatannya, takut jika anaknya gede tak mampu menyekolahkan karena biaya pendidikan yang melangit, atau takut jika ia tak mampu membeli barang-barang luks seperti mobil, baju-baju mewah, emas perhiasan, yang merupakan simbol jati diri kemodernan. Tapi, jika pendidikan gratis, kesehatan gratis, dan simbol kemodernan adalah solidaritas, empati, dan kejujuran, lantas buat apa memburu harta bertumpuk?

Pada akhirnya, terima kasih untuk laporan Nezar ini. Saya kira, ini laporan tentang Kuba yang relatif berimbang. Dan kini, Raul Castro telah resmi menjadi presiden Kuba, tanpa arak-arak panser dan demonstrasi massa yang brutal.

-C
-----------------

Re: [IndoProgress] Re: Nezar Patria-Bulan di Atas Kuba: a critique

Terimakasih masukan kawan-kawan,

Artikel itu cuma mau bilang kalau ada masalah di Kuba (aduh, masak sih Coen, aku ngomong gitu aja gak boleh hehehe). Sumber data di laporan itu adalah the economist, dan aku sadar sepenuh2nya kalau media itu sangat pro neolib. Tapi aku juga mengecek Granma, organ propaganda resmi Partai Komunis Kuba. Data ekonomi kebanyakan diakses dari the economist, tapi soal suasana hati warga kuba, aku tanya lagi ke dua orang rekan di Tempo yang pernah mengunjungi Havana beberapa waktu lalu. Menurut mereka (ah, seandainya saja aku sendiri bisa ke Havana), memang banyak tenaga pintar dan profesional tertarik menjadi pemandu wisata, dan memimpikan pekerjaan yang pantas dan berduit. Kita boleh bilang mungkin mereka terkena infeksi kapitalisme, tapi begitulah faktanya. Aku kira tak bijak juga menutup hal-hal begitu hanya kita takut 'iman' kita kepada Kuba rusak hehehe. Itu adalah kenyataan yang dilihat oleh rekan Tempo di Havana (baca juga laporan yang menarik dalam selingan Tempo tiga tahun lalu yang ditulis Hermien Kleden).

Betul, banyak tenaga guru, dokter, insinyur pertanian yang jago-jago. Aku pikir inilah berkah sosialisme yang memberikan pengetahuan kepada semua orang. Tapi, ada fakta lain, bahwa ekonomi Kuba memang sedang ada problem. Sosialisme Kuba masih berjuang memncari jalan keluar. Bahkan Raul mengakui, bahwa rakyat mereka masih miskin. Aku tentu saja menghormati segala upaya Fidel untuk bertahan, dan menjadi benteng ideologi sosialisme bagi Amerika Latin, meskipun harus sesak napas karena tekanan yang besar dari Amerika Serikat dan kawan-kawan.

Tetapi, sekali lagi, kekuatan Kuba adalah pada moralitas kepemimpinan dari El Comandante. Dia teladan pemimpin yang mencintai rakyat, dan mengabdikan hidupnya buat revolusi. Aku melihat dokumenter yang dibuat oleh Oliver Stone, bagaimana Fidel sangat lelah menghadapi semua tekanan itu, dan bekerja keras mempertahankan kepentingan rakyat di Kuba. Oliver Stone juga menyorot bagaimana rakyat Kuba mencintai dia. Fidel yakin komunisme masih sebagai jalan keluar, meskipun dia tak tahu apakah generasi selanjutnya akan bisa bertahan sekukuh dirinya. Jarinya bergetar meneken tumpukan dokumen dan surat2 di meja kerja yang sangat sederhana. Dia memang sudah lanjut usia. Semangat sosialisme yang membuatnya kuat, karena yakin apa yang dia buat adalah untuk kepentingan rakyat Kuba, dan bukan buat pribadinya. Fidel harus mengencangkan kendali ideologi dan politik (ini maksudku, bahwa dia menjadi diktator dalam konteks mempertahankan kepentingan rakyat Kuba), karena hanya dengan jalan itu dia bisa membersihkan pengaruh AS yang menyusup ke Kuba. Tapi, upaya itu kan juga harus kongkrit, karena toh rakyat Kuba juga tahu mereka dalam keadaan sulit dan harus kuat 'iman'nya bertahan dari gempuran kapitalisme global.

Tentu kita senang kalau Kuba berhasil mencari jalan keluar dan merevitalisasi energi sosialisme di sana. Setidaknya, ada harapan lain yang masih mungkin, untuk hidup lebih baik dari tawaran tunggal neoliberal. Itu pula gunanya melihat dan melaporkan hal-hal yang tak menyenangkan. Bukankah kebenaran ada dimanapun juga, termasuk di tempat yang paling kotor?

N
--------------

Re: [IndoProgress] Re: Nezar Patria-Bulan di Atas Kuba: a critique

Nez,

Thank's ya atas replynya. Tentu saja ada problem di Kuba, dan ini bukan hal yang aneh. Kalau tak ada problem, baru itu yang benar-benar problem kkhan?

Misalnya, secara internal soal perubahan struktur masyarakat dari sisi usia, antara mereka yang punya pengalaman langsung dengan revolusi 1959 dengan generasi baru yang tak punya sentuhan langsung. Tentu ada gap dalam memaknai revolusi. Secara eksternal, tentu saja sikap AS dan sekutunya yang tak berubah.

Tapi, bukan itu yang kupersoalkan dalam artikelmu itu (tentu tak perlu kuulang di sini). Dan ini tak ada hubungan dengan soal "iman," kayak Kuba itu Mekkah, hehehehe.

Btw, dokumentari Oliver Stone itu (di sini) menarik sekali memang. Sebagai penambah bumbu cerita soal Fidel, coba juga lihat film yang ini (di sini). Menurut gua, film ini menggambarkan agak lengkap soal sosok Fidel, pencapaian-pencapaiannya, dan komentar para oposan terhadapnya.

Selamat menikmati,
-C

2 Comments:

  1. pecundang kesepian said...
    Hai bung, aku juga orang Sulut. Orang Manado. Kebetulan pas cari nama bung di google, aku bisa dpt alamat blognya bung. Aku jg kenal baik dng Onie (Rahman Pontoh) sudara bung yg skrg so di Boroko trus.
    Blognya bagus.
    Aku jg punya blog sendiri. Galery karya (maklum, aku seniman)
    alamatnya di : sastra-nanusa.blogspot.com
    Kalo bung ada waktu, pasiar2 jo ka situ.
    coen husain pontoh said...
    Bung Andre,

    Makase jo so datang pa kita pe blog. Eeeh, kita so ba kunjung le pa ngana pe blog and tha gang, dan kita uka skali baca-baca depe isi. Bagitu kua', jang parnah mangalah deng keadaan. Hidup memang so susah tapi, kita manusia selalu harus bisa keluar dari kesusahan itu.

    Butul jo ngoni bilang, hanya orang pa malas yang banyak alasan.

    Eeeh, trus si Onnie bekeng apa di Boroko? Apa jo dia so jadi birokrat di sana? hehehehe

    -C

Post a Comment



Newer Post Older Post Home