Idul Fitri

Di kampung saya, desa Boroko, kecamatan Kaidipang, kabupaten Bolaang Mongondow, provinsi Sulawesi Utara (ini kebiasaan kalau nulis alamat surat jaman sekolah dulu), bulan puasa adalah sebenar-benarnya bulan penuh rahmat.

Bagi kami yang masih kanak-kanak, sekira di bawah sepuluh tahun, bulan puasa juga bulan bertabur rejeki. Ibu saya dan nenek saya tercinta, pada bulan puasa ini, setiap hari pasti bikin kue, kolak, atau wajik dari ketan item yang enaknya luuuaaar biasa. Biasanya, ketika lagi masak-memasak itu, saya bersama adik saya pasti menemani keduanya di dapur. Sedikit-sedikit, tangan ini nyolong barang-barang mentah yang ada di sekitar: gula merah (gula jawa atau gula aren), atau susu cap nona.

Saat berbuka puasa, adalah saat paling ditunggu-tunggu. Kami sekeluarga, duduk satu meja. Ayah saya duduknya pasti di kepala meja, dia punya gelas khusus, lebih tepatnya mangkok, hadiah dari istrinya yaitu, ibu saya, hehehehe. Cepat-cepat saya dan adik saya, duduk di meja makan, tujuannya apalagi kalau bukan ngutil. Dan biasanya, kakak perempuan saya yang jadi Polwan.

Buka puasa selalu dimulai dengan proses pembacaan doa. Walaupun duduk di kepala meja, tugas membaca doa dilakukan ibu saya. Sambil memejamkan mata dengan teduh dan hikmat, mulutnya merapal: bismillahhirrahmannirrahim, allahummalakasumtu….. Begitu doa selesai dibaca, saya dan adik saya adalah pejuang garis depan dalam membantai makanan di atas meja. Tentu saja tak bermasalah, karena paling banyak kami hanya makan sedikit.

Ibu saya punya aturan, buka puasa sebaiknya makan yang manis-manis: teh atau kopi, lantas sesendok-dua kolak. Setelah itu cepat-cepat sholat maghrib yang dikomandani bapak saya. Kita baru diperkenankan makan sepuasnya setelah itu, hingga menjelang sholat tarawih.

Sholat tarawih adalah momen kegembiraan yang lain. Kami, anak-anak kecil di kampung nan sunyi itu, menjadikan sholat tarawih sebagai tempat beribadah sekaligus bermain. Biasanya saya sholat di masjid Kuala (Kuala sebenarnya nama sebuah desa, dan hanya ada satu masjid di situ), karena lebih dekat jaraknya dari rumah. Lagi-lagi, bulan puasa memang betul-betul bulan yang meriah, ibarat pasar malam. Di sekitar masjid yang diterangi dua tiga lampu lampu petromax, banyak sekali orang berjualan kacang goreng, kacang rebus, kue-kue basah, pisang, gula-gula (permen), atau rokok. Nah, setiap ke masjid, pasti kami minta uang seperak-dua perak, yang pada saat itu masih bernilai. Satu bungkus kacang goreng seukuran telapak tangan, harganya dua perak.

Di masjid, menjelang sholat isya, tak ada yang istimewa. Begitu mau sholat tarawih, baru momen keceriaan itu muncul. Oh ya, tarawih di masjid ada dua babak. Babak pertama adalah sholat 21 rakaat, setelah itu disusul yang delapat rakaat. Nah, kami pasti ikut yang 21 itu. Ada dua keistimewaan sholat 21 ini, pertama imamnya ketika membaca surat-surat cepatnya minta ampun. Seperti keretalah, tak ada jeda sama sekali. Kebiasaan membaca cepat ini, terutama imam keturunan Arab itu, tak berubah hingga ia meninggal dunia. Momen kedua, adalah saat mengucapkan Amin tiba. Wah, kami berlomba-lomba untuk membaca paling keras, tepatnya berteriak: Aaaamiiiinnn. Asyiknya, tak ada yang marah, lagi khusyuk sih.

Setelah tharawih, permainan lain sudah menunggu: petasan bambu, kami menyebutnya bermain petas-petasan. Sepotong bambu sepanjang dua meter, dengan sebotol minyak tanah, diteman lampu minyak kecil, sungguh menggembirakan. Karena penerangan yang kurang, baru besoknya kelihatan kalau bulu mata sudah banyak berkurang.

Demikianlah kegembiraan itu terus berlanjut hingga menjelang lebaran. Hari raya, begitulah kami menyebutnya. Dua minggu sebelum hari raya, nenek, ibu, dan kakak perempuan saya sudah sibuk di dapur membikin segala macam ragam kue-kue. Lagi-lagi, saya bersama adik saya jadi seksi bikin sibuk, hehehe. Sementara ayah dan kakak lelaki tertua saya, mulai membeli cat dari batu kapur. Halaman rumah mulai dibersihkan, rumpur-rumput kecil mulai dicangkul, demikian juga got-got di depan rumah. Kami berlomba dengan para tetangga untuk mendandani dan membersihkan rumah masing-masing. Seminggu sebelum lebaran, setiap malam kami mulai memajang lampu-lampu botol minyak kecil-kecil di rumah sebagai penerang. Kata ayah saya, ini kewajiban agama.

Tidak itu saja, momen lebaran berarti musim pergantian baju dan sepatu. Ibu saya mulai belanja kain ke pasar, lalu pergi ke tukang jahit. Kebiasaan ibu saya membelikan baju ini, bahkan berlanjut hingga saya kuliah di Manado. Kadang yang dibeli tak sesuai mode, tapi saya sungguh senang memakainya. Kasih ibu sepanjang masa memang, terima kasih mami (teringat Mami, air mata ini meleleh tanpa bisa ditahan).

Begitu lebaran tiba, sholat ied selesai, semua kami pasti tampil dengan baju baru, sepatu baru, rambut baru. Pokoknya semua serba baru. Di masjid, seusai sholat kami segera menunggu-nunggu kebiasaan orang kaya di kampung, untuk melemparkan uang ke tengah-tengah kerumunan anak-anak. Itulah babak pertama perayaan lebaran. Setelah itu dengan berombongan, kami memasuki satu rumah ke rumah lainnya. Biasanya yang pertama kali kami kunjungi adalah keluarga terdekat, setelah itu tetangga sebelah-menyebelah. Salam Alaikum. Minal Aidin Wal Faidzin. Setelah itu duduk manis di ruang tamu, lirik sana lirik sini, menunggu dengan harap-harap cemas hidangan teh atau kopi atau sirup bersama kue-kuenya.

Ya, di kampung saya, lebaran memang betul-betul sebuah pesta kemenangan. Rumah saya baru tutup setelah lewat pukul 12 tengah malam. Apalagi kebiasaan di kampung, berlebaran itu beramai-ramai. Karena ibu saya adalah seorang guru sekolah menengah pertama, maka tamu kami umumnya adalah anak sekolah dan mereka yang sekolah lanjut di kota dan lagi berlibur.

Sesekali, kami merayakan lebaran di rumah oma saya di Gentuma, sebuah desa di pesisir pantai, yang kini merupakan bagian dari provinsi Gorontalo. Di desa ini, lebaran tak seramai di kampung saya. Keluarga besar oma semuanya beragama Kristen Protestan.

Setelah saya lulus SMP dan pindah ke kota untuk sekolah lanjutan atas dan kuliah, kegembiraan merayakan lebaran pelan-pelan menyusut. Tak ada pesta, tak ada kesembiraan. Habis sholat di lapangan terbuka ya sudah, pulang ke kos-kosan. Lebih-lebih ketika di tinggal Jakarta. Kini, di New York, AS, tiba-tiba saya merindukan suasana bulan ramadhan dan lebaran di kampung saya: beribadah dengan penuh kegembiraan.

Mami, papi, kak Is, Ci’Nen, adik U, selamat hari raya iedul Fitri, minal aidin wa faidzin, mohon maaf lahir dan batin.

Bermain Tenis

Sejak dua minggu lalu, saya punya hobi baru: Bermain Tenis. Jangan banyangkan, saya bermain di stadion Flushing Meadows, yang hanya berjarak 15 menit, dari tempat saya tinggal jika menggunakan kereta api bawah tanah (subway). Flushing Meadows, terletak di daerah Flushing, adalah tempat dimana setiap tahunnya diselenggarakan kejuaraan tenis Amerika Terbuka.

Ide bermain tenis ini datang dari istri saya. Ketika itu, kami berdua hendak berbelanja ke supermarket Target. Kami berencana membeli rak buku dan topi pelindung panas. Buku sudah berserakan di mana-mana, sementara istri saya paling tak suka dengan yang namanya ketidakteraturan. Pada saat yang sama, New York sedang dilanda suhu panas tak terkira, melampaui 100 derajat Fahrenheit.

Ketika melewati taman, di daerah Elmhurst, tiba-tiba istri saya ketiban ide. “Mas, kenapa kamu nggak coba bermain tenis?” Yah, di taman itu, memang tersedia areal untuk bermain tenis, walaupun bukan lapangan tenis. Maksudnya, ada lapangan tempat orang bisa bermain tenis, dan di tengah lapangan itu, dibangun dinding beton yang cukup tinggi, yang berfungsi sebagai lawan. Jadi, kalau kita memukul bola, maka pantulannya akan sekuat bola yang kita pukul.

“Wah, seumur-umur aku nggak pernah bermain tenis.”

Permainan tenis memang sangat asing buat saya. Beda dengan tenis meja. Waktu masih di tingkat sekolah dasar, saya adalah juara kecamatan dalam olah raga ini, yang kemudian diutus untuk berlaga di tingkat kabupaten. Sayangnya kalah. Ketika menjadi penghuni penjara Kalisosok, Sidoarjo, Surabaya, antara tahun 1997-98, saya boleh bersombong ria, karena tak mendapat lawan tanding yang sepadan.

Olah raga lain yang akrab, bahkan menjadi keahlian lain saya, adalah sepak takraw. Ini permainan yang dilakukan oleh enam orang, sambil menendang bola yang terbuat dari rotan. Masing-masing tim terdiri dari tiga orang. Posisi saya dalam permainan ini, semacam striker dalam cabang sepakbola. Saya paling senang melakukan smash sambil berjumpalitan di udara.

Selain itu, bulutangkis dan terutama sepakbola, adalah kegemaran saya yang lain. Sejak mengenal Maradona, di usia tujuh tahun, saya selalu berminat terhadap olah raga terpopuler ini. Bersama sepakbola, badan ini sudah tak terhitung cacatnya: jatuh terinjak, terkilir, baku pukul di lapangan, hingga patah tulang kaki dan tangan.

“Gak masalah,” ujar istriku setengah memaksa. “Khan cuma untuk olahraga ringan,” tambahnya. “Nanti, sampai di Target, kita beli raket tenis ama bolanya, deh.”

Kalau istri sudah bicara, apalagi yang bisa menjadi argumentasi balik? Maka, ketika sampai di Target, malah yang dibeli bukannya rak buku, tapi raket dan bola tenis. Sejak itu, setiap akhir pekan, saya bersama istri bermain tenis bersama.

Bermain tenis, ternyata bukan permainan yang mudah. Bahkan sangat menguras tenaga. Semula, ketika memegang raket pertama kalinya, saya coba membayangkan diri sebagai Michael Chang, jawara tenis Amerika keturunan Cina. Setelah satu dua kali memukul bola dan berlari ke sana ke mari, saya akhirnya menghapus bayangan Chang dari pikiran saya.

“Makanya aku tak mau menganggap diriku sebagai Maria Sarapova,” ujar istriku sambil tertawa ngeledek.

Karena permainan ini dilakukan di ruang publik, maka rumus yang berlaku adalah “siapa cepat dia dapat.” Jika Anda telat datang di lapangan, maka harus siap-siap untuk sabar menunggu. Tak ada aturan bahwa setiap orang hanya boleh bermain satu jam atau dua jam. Saya, misalnya, baru berhenti kalau benar-benar napas sudah sampai di tenggorokan, dan kaki sudah tidak bisa diajak berlari.

Hari ini, saya datang ke lapangan pukul 5 pagi.

Tour De Library

Awal tahun 2004. Washington D.C

Atas undangan pemerintah Amerika Serikat dalam Visiting Fellowship Programnya, saya akhirnya menginjakkan kaki di sini, setelah sebelumnya berada di beberapa negara bagian dan mengikuti semua jadwal yang sudah ditetapkan.

Saya menunggu-nunggu saat ini. Berdiri di hadapan bangunan gagah bertuliskan The Library of Congress.

Inilah perpustakaan terbesar yang pernah saya lihat. Bangunannya kukuh, menjulang tinggi. Koleksinya jutaan. Oleh seorang kurator Filipina, saya diajak berjalan-jalan, menuju ke section tentang Indonesia.

Beragam buku tentang Indonesia terpajang di sana. Ada karya Mc Turnan Kahin, Ben Anderson, hingga karya Pramoedya dalam bahasa Indonesia. Dari sini, saya di ajak ke ruang baca. Ruangan ini menyimpan koleksi buku yang –menurut kuratornya- jika dideretkan satu per satu, panjangnya setara jarak Washington menuju New York.

Di ruang baca ini, saya seperti memasuki sebuah istana nan megah. Didesain agak melingkar dengan atap menjulang, di seputaran dindingnya terhampar lukisan-lukisan indah. Buat saya, membaca di tengah keindahan seperti ini adalah ajakan masuk ke dunia literatur tanpa merasa capek sedikitpun. Saya rela tersesat disini.

Kota selanjutnya adalah Buffalo, kota terbesar kedua di negara bagian New York setelah New York City. Saya tahu kota ini identik dengan Niagara-nya. Maka, tentu saja, sebelum mengunjungi dan melihat seperti apa perpustakaan lokalnya, saya menikmati dahulu Air Terjun Niagara. Sayang, karena masih berada dalam puncak musim dinginnya, dan salju dimana-mana, Niagara tak seindah foto-foto di kartu pos yang biasa dijual di toko-toko souvenir.

Perpustakaan pemerintah Buffalo, meskipun bersifat lokal, tetap memiliki koleksi yang bervariasi yang –lagi-lagi- jika dideretkan seluruhnya, bisa mencapai panjang lima kilometer sendiri. Terbitan abad ke 18 hingga Harry Potter edisi kedua bisa ditemukan di bangunan berlantai lima ini.

Lima puluh persen anggota perpustakaannya adalah penduduk kota Buffalo. Setiap anggota berhak meminjam lima buku untuk dibawa pulang selama dua minggu. Jika dalam waktu enam bulan, sang anggota berkelakuan baik, tidak merusak buku, mengembalikan tepat pada waktunya, ia boleh meminjam buku sebanyak 18 buah selama dua minggu itu.

Menarik untuk mengetahui, beberapa ruangan di perpustakaan ini didedikasikan pada orang-orang tertentu. Sebut saja ruang Mark Twain. Tentu saja di sini, digelar semua karya dari penulis kesohor bernama asli Samuel Clemens ini. Ruangan ini bisa dinamai demikian karena pengarang The Adventures of Tom Sawyer dan Huckleberry Finn ini pernah singgah di kota itu. Selain, tentu saja, sebagai penghormatan atas hasil-hasil karyanya.

Suara langkah-langkah kaki yang riuh terdengar memasuki ruang Mark Twain. Saya melihat segerombolan anak-anak lagi tour ke sana. Kata pemandu saya, tour ini merupakan kegiatan rutin mereka bekerjasama dengan sekolah di Buffalo. Tujuannya memperkenalkan kecintaan pada buku sejak dini. Hmm, bagus.

Saya sempat menyebut bahwa perpustakaan ini amat variatif. Tidak cuma mengoleksi buku-buku serius dari jurusan ilmu sosial maupun ilmu alam, tapi juga novel-novel Harlequien, pun Chicklit. Buku anak-anak juga tersedia. Komik ada.

Awal tahun 2005. Perpustakaan lokal Los Angeles, California.

Ini perpustakaan yang kecil. Tapi tetap nyaman. Mendaftar menjadi anggota sangat mudah. Tinggal tunjukkan kartu identitas yang kita punya, foto diri, mengisi formulir, lalu diberi kartu anggota.

Memang sih, koleksi bukunya terbatas sekali. Tapi, akses internetnya bebas, meski dibatasi hanya satu jam. Tak cuma buku, disini juga ada video, DVD, dan majalah dari segala jenis. Banyak sekali anak-anak yang membaca disini. Saya ingat betul, saat saya sedang melihat-lihat buku di bagian biografi, ada seorang anak kecil, barangkali usia tujuh tahunan, sedang membaca biografi Oprah Winfrey. Selain membaca, mereka juga serius membaca komik, bermain game melalui internet, hingga yang sekadar berlarian ke sana ke mari.

Pernah memasuki perpustakaan a la ruko? Saya pernah.

Tempatnya ada di kota Terre Haute, kota yang cenderung bernuansa desa di negara bagian Indiana.

Kota ini tak memiliki transportasi umum seperti di New York. Berbeda dengan New York dimana mayoritas orang berjalan kaki, di sini semua orang mengandalkan mobil pribadi untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Dari Indiana State University, jarak menuju ke ‘ruko’ berisi buku-buku ini sekitar 20 menit, memakai sepeda. Saya sedikit terhenyak mengetahui ada public library di deretan toko-toko dan mini market. Saya masuk, dan langsung merasakan kenyamanan. Para petugas perpustakaannya ibu-ibu yang sudah tua. Saya memandang ke kiri dan kanan (bukan sekeliling) dan merasakan betapa kecilnya perpustakaan ini. Lebih kecil dari ruko di Bekasi. Fasilitas internet di sini gratis, dan bisa dipakai selama kita mau. Kecuali jika sedang ramai, maka kita dijatah untuk memakainya satu jam saja.

Ketersediaan bahan bacaan yang luas bagi publik di sini begitu penting dan diperhatikan oleh pemerintah setempat. Pantas saja, jika saya naik kendaraan umum, entah itu bus, pesawat, atau kereta api, saya sering melihat orang asyik dengan bacaannya masing-masing. Tidak perlu keluar uang untuk bisa membaca buku.

Buku terbaru hingga terklasik dapat diakses. Kalau salah satu perpustakaan tidak punya koleksi buku yang kita inginkan, tidak berarti kita gagal meminjamnya. Kita diminta menunggu dalam waktu satu atau dua minggu, dan dipastikan buku itu akan tersedia. Perpustakaan ini akan mengorder buku tersebut dari perpustakaan lain.

Lain kali, saya ingin mencari perpustakaan a la bonbin.

Sebuah Pengalaman Pribadi

Dalam waktu satu tahunan ini, saya menyaksikan dari dekat denyut salah satu kota tersibuk di dunia: New York, Amerika Serikat. Dengan populasi lebih dari delapan juta, New York selain kota yang begitu besar dan padat, jugalah kota yang paling beragam. Semua bangsa ada di sini, semua warna kulit, semua rupa rambut, dan semua macam bahasa. Ada.

Kota yang biasa disebut sebagai Big Apple ini, adalah kota yang terkenal sebagai kota berbiaya hidup termahal di Amerika Serikat, kota dengan transportasi umum terbaik, juga kota dengan iklim kebebasan yang secara kasat mata bisa dilihat di mana saja. Bebas berbicara, bebas berpikir dan mengeluarkan pendapat, bebas beragama (ataupun tidak), dan bebas berekspresi, termasuk di dalamnya adalah kebebasan berbusana. Yang terakhir ini sudah terasa begitu lumrah hingga dianggap sebagai hiburan, atau sebentuk kreasi pribadi yang patut dihormati. Sebagaimana semua orang menyaksikan dengan antusias Parade Gay di sepanjang Fifth Avenue, memotret riang kaum gay yang melenggang dengan satu atau dua helai benang saja di badan. Tidak ada yang akan meributkan hal ini apalagi sampai membuat para anggota dewan merasa perlu bertindak dengan mengeluarkan aturan-aturan berbusana. Di bawah label: pornografi.Sesuatu yang saat ini sedang terjadi di tanah air.

Tak ada yang sebetulnya jauh berbeda antara busana para New Yorker dengan busana yang dipakai kaum perempuan di Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, misalnya. Sama-sama senang dengan berbagai model busana terbaru. Sama-sama berani memakainya dengan sepenuh jiwa dan raga. Sama-sama nyaman memamerkan pusar atau sebagian pinggul yang kelebihan lemak dengan memakai celana hipster. Senang menyembulkan sebagian (besar) belahan dada, atau memakai pakaian ketat hingga yang tampak adalah cetak biru tubuh asli si pemakai busana. Dari dulu itu sudah terjadi di depan mata. Menjadi pemandangan sehari-hari tanpa harus jadi kecemasan tersendiri.

Saya terheran-heran: Ada apakah yang terjadi dengan mata orang-orang di Indonesia saat ini?

Di New York, soal berbusana bukan merupakan persoalan besar dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun sering saya melihat perempuan berpakaian minim, tidak demikian halnya saat musim dingin tiba. Baik lelaki terutama perempuan, sudah berbusana dengan style yang diperuntukkan untuk musim itu. Serba tertutup dan berlapis-lapis, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Itupun tak luput dari yang namanya model busana. Dari yang basic (asal menutupi badan dan melindungi dingin), sampai yang ketat dan berumbai-rumbai. Disini, orang begitu peduli dengan gaya, atau style, atau model busana. Maka para disainer pakaian tak hanya piawai memproduksi model bikini, namun juga pakaian musim dingin. Kita baru akan melihat tubuh-tubuh minim busana secara bebas pada musim semi dan terutama musim panas. Jika di Indonesia kita baru bisa melihat bule berbikini di pantai Sanur Bali, atau di Pulau Bunaken, Sulawesi Utara, maka di New York, pada musim panas, pemandangan seperti itu bisa kita lihat di taman kota.

Datanglah ke Central Park, sebuah taman kota terbesar di New York, dan Anda akan melihat perempuan berbikini yang sedang berbaring menjemur kulit di bawah terik mentari yang panas menyengat.Pemandangan itulah yang saya lihat ketika bersantai di Central Park pada musim panas tahun lalu. Ada yang berjemur bersama pasangannya sambil tidur tengkurap, ada pula yang berjemur sendirian. Saya lihat, mereka ada yang benar-benar hanya berjemur , ada pula yang tampak serius membaca buku. Tidak ada yang kemudian menjadi pusing dengan pemandangan kulit-kulit yang ingin dimandikan matahari itu. Yang ada saat itu, sekelompok orang sedang bernyanyi, saya sendiri sedang asyik menyaksikan pementasan gamelan Bali yang ditingkahi dengan tarian Bali yang indah. Para penarinya, laki-perempuan, tidak hanya berasal dari Indonesia, tapi juga ada bule dan sebagian Filipino. Sementara di jalan utama di kompleks Central Park, tampak serombongan orang yang tengah melakukan jogging, sebagiannya lagi bersepeda. Semua berjalan apa adanya, tak saling peduli dan tak saling ganggu. Darimanapun asal budaya sebelumnya. Sekolot apapun awalnya.

Dampak yang saya rasakan dan lihat dari rekan sepergaulan saya yang multikultural itu, memang beragam. Tapi, paling jauh hanya omongan personal. Teman saya Miguel, asal Ekuador, misalnya, ketika melihat perempuan berpakaian mini, matanya mengerling sambil tersenyum-senyum. Sesekali ia bersiul pelan, nyaris tak terdengar. Lain lagi dengan Abdul, yang dari Pakistan, pura-pura tak melihat tak pula tersenyum. Andrew yang asal Filipina, cuek saja. Atau Budatsir dari India, yang terpaku kaku melihat pameran lekuk tubuh itu.

Bagaimana reaksi Anda jika melihat adegan cium yang panas di depan mata? Saya pernah melihat orang saling berciuman mesra di sebuah mall besar di daerah Jakarta Selatan. Tidak ada yang meributkan adegan itu. Sebagian saya lihat menjadi jengah sendiri. Tapi tidak ada yang kemudian datang ke tempat itu dan menegur si pelaku adegan cium itu untuk berhenti. “Sirik tanda tak mampu,” begitu kata istri saya iseng jika benar ada petugas yang datang menegur. Sama seperti halnya orang-orang saat melihat sepasang kekasih berciuman panas di atas sebuah kursi taman Bryant Park, salah satu taman yang sering dijadikan sebagai tempat peragaan busana para disainer di seluruh dunia. Saya adalah salah satu saksi adegan panas ciuman di Bryant Park. Tepatnya ketika saya dipotret untuk kebutuhan buku terbitan yayasan Pantau. Semeter dari tempat saya dipotret, adegan itu berlangsung beriringan dengan komando visualisasi dari Rohana, juru potret saya.

“Apakah mereka tak takut ditangkap polisi atau petugas penjaga taman?” iseng-iseng saya bertanya pada sang fotografer bule itu.

“Tidak, kecuali kalau mereka sudah sampai pada berhubungan seksual di tempat itu,” jawabnya singkat.

Kedengarannya memang begitu bebas ya, tetapi tidak demikian. Kota besar seperti New York membebaskan warganya untuk berbuat apa saja, berekspresi apa saja, namun semuanya berjalan di koridor yang memiliki batas normal. Seperti apa sih yang disebut keluar dari batasan normal itu disini?

Sekali waktu, suatu pagi musim gugur, bertempat di Queens Mall, yang terletak di Woodhaven Boulevard, Queens, saya melihat seorang perempuan cantik keturunan Cina, berjalan pelan-pelan sambil mencopoti satu persatu pakaiannya. Dengan santai ia berjalan dan akhirnya berlari-lari sampai akhirnya tak ada satu helai pun benang menempel di tubuhnya. Tubuh montok dan mulusnya itu dipertontonkan dengan suka cita. Ia pun menjadi tontonan orang ramai. Sebagian orang tampak terkejut dan terhenyak. Saya sendiri tertawa tak percaya pada apa yang saya lihat. Tak berapa lama kemudian, sebuah mobil polisi mendekat. Perempuan cantik berkulit kuning itu pun segera dipakaikan jas penutup badan dan tangannya diborgol. Masyarakat sekitar tak lagi gempar. Dan perempuan tadi pun telah diamankan.

Di sini, perempuan tampaknya lebih dilindungi oleh UU ketimbang laki-laki. Suami yang memukul istrinya, entah dilaporkan entah tidak, jika ketahuan polisi, si suami bisa diajukan ke pengadilan. Tak ada alasan bahwa ini masalah pribadi atau urusan rumah tangga. Jika ada perempuan seksi lewat di depan hidung kita lalu kita bersiul dan si perempuan tersinggung, ia bisa melaporkan kita ke polisi. Dan polisi akan langsung bertindak, tanpa harus membuat perempuan si pelapor merasa malu terlebih dahulu atau keluar duit banyak untuk bisa membuat laporannya diproses. Tak ada yang porno dalam soal ini.

Porno, mengutip Romo Franz Magnis Suseno, adalah segala apa yang merendahkan manusia menjadi obyek nafsu seksual saja.

Tentu saja hal itu ada di kota sekompleks New York.

Salah satu salurannya adalah TV kabel. Bagi penggemar tontonan pornografi, televisi kabel di New York, siap memuaskan kebutuhan seksual para pemirsanya. Ada yang gratis, ada pula yang harus dibayar. Yang gratis digeber selepas jam dua belas malam hingga menjelang subuh. Kategori seks tontonan ini melebihi adegan seks Sharon Stone dan Michael Douglas dalam Basic Instinct atau Angelina Jolie dan Antonio Banderas dalam Original Sin. Untuk mencegah anak-anak menonton film gratisan ini, setiap TV Kabel selalu melengkapi penggunanya dengan pengunci channel. Hanya bisa dibuka dengan password yang diketahui oleh si pengunci (biasanya adalah orangtua atau siapapun yang merasa bertanggung jawab mengontrol konsumsi mata anak-anak usia remaja).

Sekarang, bagaimana dengan peredaran majalah yang dikategorikan porno? Di New York, seperti juga di Jakarta atau di kota-kota lainnya di Indonesia, ada banyak pedagang kaki lima yang menjual koran dan majalah. Di sini, kios-kios kecil itu bersebut Newstand. Kehadiran newstand ini hampir selalu ada di setiap sudut kota. Begitu mudah dijangkau siapa saja. Di Newstand, koran atau majalah yang dijual bervariasi. Mulai dari koran kuning hingga koran serius, dari majalah gosip hingga majalah yang isinya adalah pamer badan, seperti Maxim dan FHM.

Jika ingin melihat majalah pamer badan, tinggal datang ke 42 Street Port Authority. Tempat ini adalah salah satu spot tersibuk di New York: stasiun kereta api dan bis di New York. Di Newstand yang ada di dalam kompleks stasiun itu, kita bisa menjumpai majalah bergambar syur yang bebas dibuka. Majalah ini tidak diberi sampul, ada yang berbahasa Inggris, ada pula yang berbahasa Spanyol. Saya sempat membuka-buka majalah tersebut tapi tidak tahu apakah majalah ini dijual terbatas pada kelompok umur tertentu. Yang jelas, mayoritas para penjual itu selalu menanyai setiap orang yang membeli rokok dengan “Can I See Your ID, Please?”
Saya belum pernah mendengar pertanyaan yang sama untuk mereka yang membeli majalah seperti Maxim atau FHM yang tingkat buka-bukaanya tak sesyur Playboy atau Penthouse. Entah kenapa, saya juga tidak pernah menemui majalah Playboy atau Penthouse di setiap Newstand yang saya datangi.

Berdasarkan laporan kriminal FBI tahun 2004 yang dirilis di New York Crime Statistic 2004, statistik jenis kriminal dan kekerasan di New York sebagian besar melebihi angka statistik kriminal dan kekerasan secara nasional di Amerika, diantaranya yang menonjol adalah pembunuhan (sebanyak 570 kejadian), dan perampokan (24373 kejadian). Tapi tidak demikian halnya dengan angka pemerkosaan yang jumlah kejadiannya lebih kecil dari angka statistik kriminal dan kekerasan secara nasional di Amerika. Artinya, kebebasan berekspresi pada busana tak ada hubungannya sama sekali dengan pikiran ngeres atau naiknya birahi yang ingin saluran tak berjuntrung.

Maka, sekali lagi, saya terheran-heran dengan apa yang terjadi di tanah air tercinta. Minim busana sudah tercipta dari dulu di beberapa kota di Indonesia: Bali, atau Papua. Juga yang memasukkan unsur gaya seperti yang terjadi di beberapa kota besarnya. Berekspresi kian bebas terjadi, tanpa membuat orang menjadi huru-hara mengerem birahi. Dari dulu itu sudah terjadi di depan mata. Menjadi pemandangan sehari-hari tanpa harus jadi kecemasan tersendiri.

Jadi, ada apakah yang terjadi dengan mata orang-orang di Indonesia saat ini?

Newer Posts Older Posts Home