Bakar Buku, Bakar Dunia

"Buku adalah jendela dunia."

Slogan ini saya baca pertama kali dari katalog buku penerbit Mizan, Bandung, pada awal dekade 90an. Dan saya percaya dengan slogan itu. Itu sebabnya, setiap terjadi pembakaran atas buku, saya selalu sedih dan marah. Para pejabat keji itu tak tahu, bahwa mereka tidak hanya membakar buku tapi, juga telah membakar dunia.

Tetapi, entah kenapa, pejabat di Indonesia, terutama birokrat hukum, selalu menempatkan diri mereka sebagai orang dungu. Mereka pikir, mereka bertindak benar, hendak melindungi rakyat dari pengaruh buruk buku "tak bermutu." Sungguh, sungguh ironis. Dan itulah yang mereka lakukan pada Juli lalu, dengan membakar buku secara massal.

Tindakan barbar itu, tentu saja harus dilawan. Dan saya secara sadar melibatkan diri dalam barisan perlawanan itu. Di tengah-tengah situasi itu, muncul surat terbuka dari Arya Gunawan, seorang mantan wartawan BBC London, yang kini bergiat di lembaga PBB, UNESCO, Jakarta. Dalam surat terbuka itu, Arya mengatakan bahwa para penentang pembakaran buku itu, melupakan satu fakta penting bahwa Pramoedya Ananta Toer (PAT), juga pernah terlibat dalam aksi bakar buku pada dekade 1960an. Surat Arya yang menyebar ke berbagai jaringan surat elektronik (mailing list) itu, membuat saya tertegun. Apa benar PAT pernah terlibat pembakaran buku? Tapi, rupanya bukan saya saja yang mempertanyakan informasi dari Arya ini. Di berbagai milis, pertanyaan senada juga muncul.

Saya kemudian menulis surat kepada Arya, melalui rekan saya Andreas Harsono:

"Saya sendiri, ketika membaca info dari Arya soal Pram bakar buku, merasa ragu. Pram adalah pustakawan tersohor pada masanya, ini kata sejarawan senior Ong Hok Ham, pada saat peluncuran buku Pram "Kronik Sejarah Indonesia." Coba gimana bisa nulis Kronik, yang sumbernya dari berbagai macam aliran, kalau ia sendiri pernah bakar buku orang?

Lalu Arya bilang, sumber datanya dari buku Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto. Bung Arya, kok bisa anda tidak kritis terhadap sumber? Soalnya, pelaku sejarah yang lain, seperti Mas Goen atau Rm. Magnis yang sangat teliti itu, masak alpa kalau Pram pernah bakar buku. Artinye, sebagai wartawan atau intelektual, anda harus kritis terhadap klaim satu pihak. Jangan terburu-buru ambil kesimpulan trus disebar-sebarin. Kayak buku "Prahara Budaya" itu kitab suci aja."

-C
~~~~~~~~~~~~

Surat saya ini, bersama surat-surat senada, kemudian mendapatkan tanggapan panjang lebar dari Arya Gunawan (klik di
sini. Terhadap tanggapan Arya ini, saya memberikan tanggapan balik, sebagai berikut:

Bung Arya,

Saya sungguh kagum dengan militansi anda, untuk meyakinkan saya bahwa Pram memang pernah membakar buku atau paling tidak "diam" ketika ada pembakaran buku. Saya sendiri telah kehilangan militansi semacam itu.



Sayang sekali, surat anda yang panjang lebar itu tidak membantu sama sekali dalam mendukung militansi itu. Lebih sedihnya lagi, untuk orang sekaliber anda yang luas pergaulan dan telah banyak makan asam garam dunia jurnalistik, data-data yang anda usung sebagai "fakta," sangatlah sumir.



Pertama, anda sama sekali tidak cover both sides (sesuatu yang paling minimal dalam standar jurnalistik yang benar), dalam pengutipan sumber. Anda terus saja menjejalkan opini (bukan fakta keras) dari para penentang Pram dan Lekra. Anda sama sekali tidak mempertimbangkan bahwa Pram sendiri pernah membantah keterlibatannya dalam aksi bakar buku. 



Bung, pembakaran adalah kejahatan yang serius, dan anda menyulutnya menjadi kontroversi ketika melibatkan diri seorang Pram. Bagaimana mungkin anda bisa tiba pada kesimpulan bahwa Pram terlibat pembakaran buku, hanya dari satu sumber, dari mereka yang menentangnya, khususnya lagi dari "Prahara Budaya."? Tentu saja kalau anda melakukan metode cover both side, anda mesti meragukan klaim Prahara Budaya." Ditambah catatan, kontroversi itu tentu tidak otomatis selesai. Maka, anda tetap tidak boleh mengambil kesimpulan serampangan begitu. Majulah ke tahap selanjutnya, disiplin verifikasi. Kalau anda mengelak bahwa anda tidak punya cukup waktu, kenapa lantas menjatuhkan wibawa anda dengan kesimpulan mentah? 



Ah, bung Arya, militansi anda mengingatkan saya ketika baru mulai menjadi aktivis mahasiswa tahun 90an. Padahal, zaman sudah berubah, militansi saja tidak cukup bung. Ketelitian, kesabaran, kebajikan untuk membuka diri terhadap kebenaran yang lain, sungguh-sungguh lebih penting.



Kedua, anda mengutip kata-kata "pembersihan" yang ditulis oleh Pram dalam lembar budaya Lentera di koran Harian Rakyat (HR) (katakanlah saya terima bahwa HR tgl 3 itu valid adanya). Dengan kata "pembersihan" itu, bung anggap Pram telah menyulut, atau memprovokasi pembakaran buku.

Bung, lagi-lagi saya terpaksa mengatakan bahwa anda terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Anda sama sekali tidak meneliti secara seksama "politik bahasa" pada masa itu, dan dengan beraninya melakukan interpretasi dalam konteks politik bahasa kekinian, suatu tindakan yang a-historis. Anda sungguh-sungguh mengabaikan semiotika di sini. Lupakah anda, bahwa di masa itu, slogan-slogan semacam revolusi, ganyang, hancurkan, bangun lagi, kontra-revolusi, Amerika kita setrika, Inggris kita linggis, retool, oldefo-conefo, adalah bahasa yang umum dipakai semua pihak? Bahkan tentara yang paling konservatif dan reaksioner pun, memakai istilah revolusi dalam slogan-slogannya. 


Coba anda bandingkan, antara pidato atau tulisan Pram yang seperti itu, dengan pidato atau tulisan seorang Isa Anshary, tokoh Masyumi yang paling anti PKI? Sama-sama keras bung. Toh, kita tidak bisa bilang bahwa Isa Anshary terlibat pembantaian terhadap anggota atau simpatisan PKI. Iya khan?



Dan anda juga tahu, bahasa yang lemah gemulai, tidak berarti membawa pesan damai. Mau contoh? Coba pulang sedikit ke masa Orba, dimana para pemimpin suka sekali bilang "amankan (tangkap)," "sesuaikan (naikkan harga)," "gebuk (sikat)," "pembangunan (tunduk patuh)," "anti-pembangunan (pengkhianat)," "Pancasila (dogmatisme)," dsb. 



Ketiga, katakanlah Pram memang benar menulis dengan keras, sekeras-kerasnya terhadap lawan-lawan politiknya. Bung, apa yang salah dengan itu? Apa yang salah dengan polemik? Saya kasih contoh sederhana polemik yang keras:



COEN: Arya itu provokator, ingin mengalihkan persoalan dari bakar buku.

ARYA: Saya bukan mengalihkan persoalan, saya mengingatkan Coen agar dia jangan lupa pada sejarah. Yang provokator itu Coen.



COEN: Kok bisa Arya terus mengelak. Dasar provokator. Sekali provokator tetap provokator.



ARYA: Lha yang provokator itu Coen. Buktinya, ia tak juga mengerti apa maksud saya, dan terus saja menuduh saya provokator.



Apa yang salah dengan polemik paling keras macam begini? Tentu tidak ada, paling-paling, yang membaca pada muntah. Polemik kok dangkal begitu. Menjadi soal, ketika para polemikus ini melakukan tindakan kekerasan fisik kepada lawan polemiknya. 



Nah, menurut Anda, pada saat itu siapa yang melakukan serangan fisik kepada lawan polemiknya? Mas Goen bilang bahwa beberapa aktivis Manifes Kebudayaan, dihalang-halangi kegiatannya, diberhentikan dari jabatannya, atas pengaruh atau desakan Lekra. Dari mana kita bisa memastikan bahwa memang semua tindakan pemberangusan itu adalah hasil dari pengaruh atau desakan Lekra? Yang pasti, yang menghalang-halangi itu adalah polisi. Lha, jangan juga menutup mata bahwa banyak kok aktivitas PKI yang dihalang-halangi oleh Tentara. Dan beberapa anggota Manifes punya kesaman aspirasi politik dengan tentara. 



Kalau polemik terbuka anda nilai sebagai provokasi, betapa berbahayanya. Provokasi dilakukan oleh setan jalanan, mereka yang pengecut, yang suka memancing di air keruh. Pram jauh dari itu. Dia secara terbuka mengemukakan pendapat-pendapatnya, dan tidak pernah melarang orang membantahnya. Dia tidak pernah melarang Mochtar Lubis atau Rosihan Anwar, atau Wiratmo Soekita, untuk menuliskan pendapatnya. Bahwa Pram dominan saat itu, ya karena secara politik PKI memang partai terbesar saat itu.



Keempat, bung Arya, anda terlalu berlebih-lebihan memandang pengaruh Pram terhadap organisasi PKI. Benar Pram secara individu sudah diperhitungkan kala itu tapi, suaranya sungguh tidak dominan apalagi menentukan dalam struktur pengambilan keputusan PKI. Dia juga bukan anggota PKI dan tidak duduk dalam struktur tertinggi PKI. Bahkan, di HR sendiri, Pram kalah wibawa dengan Nyoto, sang pemred yang begitu berpengaruh. 



Dalam perbandingan saat ini, Pram bukanlah kiai Hilmi yang duduk di dewan syuro PKS, yang suaranya begitu powerfull.



Sehingga ketika anda menarik kesimpulan bahwa artikel Pram di Lentera itu memberikan pengaruh besar pada tindakan aktivis PKI, anda lagi-lagi menarik kesimpulan yang prematur.***

2 Comments:

  1. ais kai said...
    Wah, asyik bacanya.
    Oh, ya iseng-iseng kita sempat membuka kata bolaang mongondow utara, lalu ada blog Coen.
    Ternyata so lama nda bakudapa.
    Salam dari Manado

    Ais
    coen husain pontoh said...
    Hei Ais,

    Bagimana ngana pe khabar? So jadi tuang basar dang, hehehe. I miss u all, gua jadi ingat dulu-dulu ketika begadang di kantor Manado Post yang lama, yang di perempatan jalan itu.

    Salam juga dari NY,

    -C

Post a Comment



Newer Post Older Post Home