Perpustakaan Toko Buku

Hari ini, mestinya saya pergi ke China Town, yang terletak di Manhattan Bawah (Down Town). Tetapi, begitu kereta api bawah tanah, berhenti di Times Square Manhattan, yang terletak di 42St, mendadak pikiran saya berubah.

Waktu menunjukkan pukul 11.00. Saya memutuskan untuk berputar 360 derajat, menuju ke Manhattan Atas (Up Town). Saya ingin sekali ke toko buku Labyrinth, yang terletak di 113 St, berdekatan dengan kampus Universitas Columbia. Ya, Labyrinth Books ini, adalah salah satu toko buku favorit saya dan istri. Ini toko buku yang tidak terlalu besar dan megah dibanding toko buku Gramedia, misalnya, tapi, terbilang lengkap dalam menjual aneka buku dan jurnal ilmu sosial. Sudah hampir dua bulan saya tak menyambanginya.

Saya tiba di Labyrinth pukul 12.10. Buru-buru saya menuju ke rak yang memajang segala rupa aneka jurnal. Dari jurnal kritik sastra, sejarah, filsafat, sosial, feminisme, gay, hingga ekonomi-politik. Kata orang, kalau ingin tahu perkembangan ilmu terbaru, bacalah jurnal. Tangan saya membuka satu demi satu jurnal-jurnal itu. Dan a ha, saya temukan edisi terbaru dari jurnal Socialism and Democracy, yang diterbitkan Routledge. Edisi teranyarnya membahas tentang “Class Struggles in China.”

Dari rak jurnal ini, kaki saya menapak satu demi satu anak tangga Labyrinth menuju ke lantai dua. Di sepanjang anak tangga ini, disusun buku-buku yang harganya berkisar antara $3.00 hingga $6.00. Padahal buku-buku yang disusun itu sampulnya masih licin, dan tahun penerbitannya rata-rata di atas tahun 2000-an.

Di lantai dua, lantai favorit saya, saya segera menuju ke seksi political science. Satu dua buku saya comot dari raknya. Dari sana saya bergerak ke seksi Marxism yang berhadap-hadapan dengan seksi Amerika Latin. Lagi-lagi, saya mencomot satu dua buku. Setelah itu, saya berpindah ke seksi Asian Study, khususnya seksi tentang China. Kembali satu dua buku telah berpindah tempat.

Saya menghitung, ada sepuluh buku di keranjang saya. Cukup sudah. Setelah itu, saya menuju ke sudut ruangan toko buku itu, dan duduk di atas sebuah kursi hitam nan empuk. Satu per satu buku-buku tersebut saya baca, ada yang saya baca dengan menggunakan metode baca cepat ada pula yang saya agak serius. Dengan metode baca cepat, bab-bab yang sudah pernah saya baca atau yang akrab dengan bacaan saya selama ini, saya lewati. Yang agak serius saya baca, misalnya buku klasik dari Peter Evans, "Dependent Development: The Alliance of Multinational State and Local Capital in Brazil." Buku ini kembali saya baca untuk coba memahami masalah “Lumpur Panas Lapindo.” Dalam bukunya ini Evans menjelaskan tentang kolaborasi segitiga antara perusahaan multinasional, negara, dan pengusaha lokal, dalam mengeruk sumberdaya alam setempat. Saya menduga ini juga yang terjadi dalam kasus Lumpur Panas Lapindo itu.

Tidak terasa, saya duduk di kursi itu hingga waktu menunjukkan pukul 5.30. Dan, selama itu, tidak ada satu petugas pun yang menegur saya, dengan mengatakan, “maaf mas, ini bukan perpustakaan.”

Tetapi, kejadian dimana toko buku yang sekaligus menjadi perpustakaan, bukan khas Labyrinth. Jaringan toko buku raksasa seperti, Barnes & Nobles, bahkan menyediakan semacam ruang baca yang lengkap dengan kursinya. Istri saya paling senang ke Barnes, terutama yang berlokasi di Union Square di 14St. Ia bahkan menjadi salah satu anggotanya. Jika sudah ke sana, kami berdua, setelah memperoleh buku atau majalah yang diinginkan, langsung menuju ke lantai tiga, beli minuman dan sepotong dua potong roti. Di lantai tiga ini, juga tersedia ruang baca lengkap dengan kursinya tapi, biasanya selalu penuh karena berkaitan dengan rumah kopi Starbucks. Karena itu, kami selalu memilih lantai empat, bersantai ria di sana sambil menikmati buku-buku atau majalah-majalah terbaru tanpa takut ada petugas yang mengusik.

Jika perut sudah bermain keroncong, baru teringat bahwa saatnya untuk pulang. Beli buku atau tidak, terserah anda. Tapi, biasanya, selalu saja kami harus antri di depan kasir. Seperti hari ini, Jurnal Socialism and Democracy, akhirnya masuk ke dalam tas jinjing saya. ***

Gambar diambil di sini

3 Comments:

  1. Berontak said...
    Coen,

    Aku Made. Kau masih punya emailku? Aku ada di sebrang Sungai Hudson. Tolong email deh. Kau masih ada di Manhattan sekarang?

    Kalau bisa kita ketemu deh.
    Unknown said...
    Bung Coen
    So lama kang nyanda baku dapa sekarang ente so di Amrik. Aku Teddy mantan aktivis SMID Manado sekarang di Surabaya jadi jurnalis www.beritajatim.com. Heibat...heibat. Ngana dapat Salam dari Sholeh mantan satu penjara di Medaeng.
    Anonymous said...
    Bung Made,

    Maaf ya baru bisa balas sekarang. Aku juga berharap kita bisa ketemu, cerita-cerita lagi soal Maluku yang mengerikan itu, hehehe. Sayang sekali, aku tak punya lagi alamat imel bung. Semuanya tertinggal di Jakarta.

    Untuk Teddy,

    Wah, ngana yang hebat, bukang kita. Jadi wartawan itu khan pekerjaan luar biasa dan prestisius. Kalau ada kesempatan lagi, suatu waktu aku mau lagi jadi wartawan.

    Salam balik buat Sholeh,
    -C

Post a Comment



Newer Post Older Post Home