Boroko

Hari ini, iseng-iseng saya mencari desa saya, Boroko, di mesin pencari Google. Keisengan ini dipicu oleh rasa rindu tak terkira, sehabis membaca edisi khusus majalah Tempo, menyambut 62 tahun kemerdekaan Indonesia.

Saya memang secara khusus memesan majalah Tempo ke penjual majalah ini di New York, setelah melihat penggalan berita onlinenya. Saya ingin tahu, bagaimana liputan Tempo soal era demokrasi liberal di dekade 1950an. Dan saya senang dengan edisi khusus kali ini. Dua jempol jari untuk Tempo.

Hal lain yang menarik dari edisi khusus ini, adalah berita-cum iklan menyangkut gerak “pembangunan” di beberapa daerah. Dari ujung pulau Sulawesi, muncul liputan soal propinsi Gorontalo, propinsi Sulawesi Utara, dan kotamadya Bitung. Saya agak kecewa, karena tidak menemukan liputan tentang kabupaten Bolaang Mongondow, tempat di mana desa Boroko terletak.

Itulah sebabnya, kemudian, saya menuliskan kata Boroko di mesin pencari Google. Siapa tahu ada beritanya. Tak dinyana, begitu tombol search saya pencet, ternyata ada begitu banyak berita tentang desa tercinta saya itu. Luar biasa.

Tiba-tiba saya merasa telah menjadi orang tua pikun, yang tak lagi mengerti tentang perkembangan zaman, karena tak sanggup lagi mengikuti derap laju informasi. Boroko ternyata telah naik pangkat kini. Ia bukan lagi menjadi ibukota kecamatan Kaidipang tapi, telah menjadi ibukota kabupaten Bolaang Mongondow Utara (disingkat Bolmut). Padahal, barusan pada Jumat kemarin, saya cerita pada istri saya, betapa Boroko, yang tepat berada di perbatasan antara propinsi Gorontalo dan Sulawesi Utara, bukan wilayah yang menarik bagi para pejabat. Ia adalah wilayah yang secara geografis jauh dari pusat kekuasaan kedua daerah tersebut.

Membaca berita itu, saya bangunkan istri saya yang lagi tidur dengan damainya.

Honey, honey, bangun, bangun.”

“Ada apa?” tanyanya sambil memaksakan diri untuk membuka mata.

“Eh, Boroko udah jadi ibukota kabupaten lho?”

“Oh, jadi toh? Selamat ya, itu khan yang diceritakan orang-orang waktu kita pulang kampung dulu?”

Ya, saya tentu saja ingat. Setelah reformasi, sekali dua kali saya pulang kampung, untuk menengok keluarga tercinta. Dalam masa pulang kampung itu, orang ramai berbicara tentang keinginan untuk mendirikan kabupaten baru yang terpisah dari kabupaten Bolaang Mongondow. Demam pemekaran memang tengah melanda hampir seluruh wilayah nusantara. Bahkan, kecamatan Kaidipang pun telah mekar menjadi dua, kecamatan Kaidipang dan kecamatan Kaidipang Barat. Waktu itu, kalau tidak salah, nama kabupaten baru itu sudah dicanangkan, Kabupaten Binadouw. Wilayahnya mulai dari kecamatan Sangkup, Sang Tombolang, Bintauna, Bolang Itang, Kaidipang, dan Kaidipang Barat.

Menanggapi cerita dan aspirasi luas untuk memekarkan diri itu, saya hanya menjadi pendengar yang pasif. Saya sudah tak tahu lagi perkembangan terbaru di desa saya. Saya tak lagi mengerti komposisi kekuatan politik di sana. Secara politik, saya juga tidak tertarik dengan isu pemekaran. Tetapi, saya sangat menghargai aspirasi bapak, ibu, om, tante, saudara, dan teman main sekampung. Saya tahu persis, bagaimana wilayah Pantai Utara (sebutan lain untuk wilayah Bolaang Mongondow Utara), selalu menjadi anak tiri dari kabupaten lama.

Dan kini, cita-cita itu telah terwujud. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2007, pada tanggal 2 Januari 2007. Dari profil daerah yang terpampang di http://www.sulut.go.id/dataweb/kabbolmut.pdf, terbaca bahwa luas kabupaten baru ini adalah 1.843,92km2, terdiri atas enam kecamatan, 52 desa dan satu kelurahan, dengan jumlah penduduk mencapai 81.879 juta jiwa.

Senangnya, saya bisa membaca Boroko dari internet. Dari berita yang saya baca di www.swarakita-manado.com, dan www.hariankomentar.com, pada tujuhbelasan kemarin, untuk pertama kalinya hari kemerdekaan dirayakan di ibukota kabuptan baru itu. Menurut berita, ribuan orang bergembira ria memadati upacara yang dipimpin oleh bupati H.R. Makagansa. Walaupun sederhana, upacara berlangsung khidmat. Usai upacara dilakukan tabur bunga di pelabuhan Boroko nan-indah. Tapi, itu belum cukup. Serangkaian kegiatan telah menanti: lomba olahraga, kesenian, taptu (saya lupa ini singkatan dari apa), lomba kebersihan, serta lomba gerak jalan. Dan, ini yang hebat, tak mau kalah dengan reality show American Idol, ada juga lomba Bolmut Idol.

Rasa senang bercampur haru membelit ulu hati saya. Semoga rakyat Bolmut, makin sejahtera.***

2 Comments:

  1. ais kai said...
    Wah, asyik bacanya.
    Oh, ya iseng-iseng kita sempat membuka kata bolaang mongondow utara, lalu ada blog Coen.
    Ternyata so lama nda bakudapa.
    Salam dari Manado

    Ais
    M.Furqon A.A Pontoh said...
    Ass..Om coen,.maaf blognya baru kebuka..om,artikel bolmong secara keseluruhan dong..terutama menuju propinsi TOTABUAN.

Post a Comment



Newer Post Older Post Home