DALAM satu minggu terakhir ini, saya merasakan kebahagiaan yang sangat. Saya bertemu muka dengan kawan lama, Eri Sutrisno. Mas Eri, demikian saya menyapanya, adalah kawan lama saya ketika masih aktif sebagai kontributor majalah Pantau, sekira tahun 2001 hingga 2003.
Selain ketemu Eri, saya juga ketemu pak RTS Masli. Pak Masli, secara personal adalah orang asing buat saya. Saya tak pernah kenal sebelumnya, juga tak pernah bertemu muka. Saya hanya mengetahui pak Masli dari jaringan surat elektronik Pantau, bahwa pak Masli, kini terlibat dalam organisasi Pantau.
Jadi, ketemu Eri maupun pak Masli, bagi saya ibarat ketemu kawan lama. Saya ketemu Eri pada hari Sabtu malam dan berlanjut hingga Minggu, sedangkan dengan pak Masli, keesokan harinya. Saya mengajak Eri menghabiskan setengah malam di jalan-jalan kota Manhattan, terutama yang dikenal sebagai the earth of Manhattan yakni, dari 34 St, hingga 47 St.
Dengan iklim yang mulai cerah seperti sekarang ini, jantung kota Manhattan tak pernah sepi pengunjung. Pejalan kaki berdesakkan, sepanjang malam kota terang-benderang di penuhi lampu-lampu yang dipancarkan dari papan reklame dan penerang jalan. Saya melihat Eri asyik dengan kamera digitalnya, ia mengarahkannya ke tempat-tempat yang dikiranya menarik. Di tempat-tempat tertentu, saya memotretnya.
Tak terasa, malam telah lewat. Saatnya pulang. Sial, kereta yang menuju ke arah hotel penginapan Eri tak beroperasi. “Ada perbaikan jalur,” begitu bunyi pengumuman. Jadi, saya terpaksa harus mengambil jalur yang berpindah-pindah. Jadinya, kami harus naik turun tangga, melewati lorang-lorang kereta bawah tanah, berpindah dari satu kereta ke kereta lainnya. Tak jarang, kami salah jalan, sehingga harus bertanya sana-sini.
“Orang di sini lebih ramah dari orang di Jakarta,” begitu komentar Eri.
“Lho kenapa begitu?”
“Kalo di Jakarta kamu nanya sana-sini, orang langsung ngerti kamu orang baru. Bukannya ditunjukin jalan, malah bisa-bisa kamu di gertak.”
Saya teringat ketika dulu masih indekos di Manado, dekade 80an. Kalau pulang malam dan tersesat, jangan coba-coba bertanya pada orang-orang yang lagi cangkringan di pinggir jalan. Bisa dikerjain.
“Pokoknya jalan trus, pura-pura sok tahu,” begitu pesan teman saya.
Keesokan hari, bersama dengan pak Kusoy, yang menjadi pemandu Eri selama di Amerika, kami berkeliling Manhattan, menggunakan bis wisata. Dari Midtown, melaju ke Down Town. Pak Kusoy dan Eri ingin berkunjung ke Patung Liberty yang terkenal itu. Tapi, hari ini agak dingin, sementara antrean untuk naik Feri begitu panjang. Saya lihat Eri gemetaran, rupanya ia tidak mempersiapkan pakaian musim dingin. Kasihan, ia tersiksa sekali. Saya usul agar ia beli topi kupluk dan sarun tangan.
Seperti dengan Eri, saya juga mengajak pak Masli jalan-jalan di Times Square. Pak Masli sangat senang jalan. Pertama kali, kami minum-minum di Rockefeller Center. Pak Masli orang yang hobi ngobrol. Ia cerita apa saja, mulai dari kegiatannya selama di Amerika, kondisi tanah air yang carut-marut, Jakarta yang berantakan, hingga kebanggaannya menjadi bagian dari komunitas Pantau.
“Setelah lima belas tahun lalu, ini kali kedua saya datang ke Amerika,” ujarnya ketika dalam perjalanan menunju ke China Town.
Ya, pak Masli ingin makan yang pedas-pedas. Ia minta diantar ke restoran Thailand. Dan China Town adalah salah satu jawabannya. Kami makan sup Tom Yam, ikan goreng dan sayur tahu. Lahap sekali.
Tetapi, perjumpaan saya dengan kawan lama juga terjadi di dunia maya. Di blog saya yang lain, coenpontoh.wordpress.com, seseorang yang bernama Uchelee atau Ucili, meinggalkan pesan. Saya lihat Ucili, punya blog, langsung saja saya berselancar ke sana.
Ucili adalah nama panggilan dari Rusdi Djalil. Ia adalah kawan lama saya, sewaktu kuliah di Manado. Kami, saat itu sama-sama aktivis, Ucili di Forum Komunikasi Mahasiswa Muslim (FKMM) Manado, dan saya di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Manado. Melihat blognya Ucili, saya jadi ingat masa lalu, seorang teman yang kumal dan lusuh tapi, lucu sekali. Jangan kaget, jika Ucili kini adalah ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Halmahera, yang heboh itu.
Ingat Ucili, ingat Katamsi Ginano. Ini dua orang yang selalu bersama. Beberapa waktu lalu, saya berkorespondensi dengannya. Katamsi boleh dibilang adalah mentornya Ucili di bidang jurnalistik. Dan seperti Ucili, Katamsi orang “gila.” Penampilannya amburadul, setiap kata yang meluncur dari lidahnya tajam seperti mata pedang. Ia juga tangkas dalam berdebat, tanpa kenal lelah.
Saya dengar kini Katamsi bekerja di PT Newmont, salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia. Jika ini benar, saya kira para aktivis anti tambang, harus menyiapkan segudang peluru untuk “bertengkar” dengan Katamsi. Tetapi, saya punya rahasia untuk meredamnya, hehehehehe.***
Terima kasih ya telah berkunjung. Kok blognya nggak bisa dibuka sih?
-C
begitulah kata pepatah untuk menggambarkan kebahagiaan bertemu muka. hehe
tabik
eko
Semoga sehat di negeri orang.
Salam buat Nyonya.
Tetap semangat!!
Semoga bisa ketemu di lain hari.