Dua Film

Boleh dibilang, saya seorang pecandu film. Saya benar-benar ketagihan dengan gambar hidup ini. Semuanya bermula, dari Boroko, desa terpencil, tempat saya pertama kali menangis di dunia ini.

Kira-kira itu terjadi pada dekade 1970an. Suatu malam, kami sekeluarga datang ke lapangan sepakbola yang terletak di pusat desa. Malam itu, saya kira, seluruh warga kampung tumpah-ruah di lapangan besar itu. Kami semua, warga kampung, dari kakek-nenek hingga cucu-cucu, duduk beralas daun pisang menonton film hitam-putih dari layar tancap, yang diputar oleh sebuah perusahaan obat Bodrex. Saya ingat, malam itu, ada dua film yang diputar. Satu film koboi, satu film silat.

Sejak malam itu, saya telah jatuh hati pada hiburan ini. Tetapi, hiburan dari Bodrex, tak setiap tahun datang. Boroko, tetaplah desa tertutup: tak ada generator apalagi televisi. Radio menjadi sumber berita, cerita, dan lagu. Pada 1985, saya hijrah ke Kotamobagu, ibukota kabupaten Bolaang Mongondow. Di kota ini, (ketika jalan darat masih darurat) menghabiskan waktu sehari perjalanan mobil, saya menempuh pendidikan menengah atas.

Di Kotamobagu-lah, saya kembali menikmati gambar hidup. Gratis pula. Kebetulan, paman saya dari pihak ibu, Paade Mat, adalah penjaga keamanan di salah satu bioskop terbesar di kota itu. Kalau tak salah ingat, Totabuan, nama bioskop itu. Dari Paade Mat, setiap minggu saya dapat dua karcis gratis. Free pass, istilahnya. Dan setiap dua hari, di bioskop Totabuan, pasti nongol film baru. Dari film India, Kungfu Cina, hingga film-film nasional.

Selama tiga tahun tinggal di Kotamobagu, hobi saya menonton film betul-betul terpuaskan. Aktor-aktor seperti Amitah Bachan, Ti Lung, Brigitte Lin Ching Shia, atau Roy Marten, adalah bintang-bintang yang saya hapal di luar kepala. Saya kira, masa-masa itu, masa keemasan industri perbioskopan. Dan masa dimana dua kali seminggu masuk bioskop, tinggal kenangan ketika saya harus angkat kaki dari Kotamobagu. Di Manado, tak ada lagi free pass. Kesibukan kuliah dan organisasi, memaksa saya untuk masuk bioskop pada saat-saat istimewa saja.

Lebih-lebih setelah tinggal di Jakarta, penghujung tahun 1990an. Masuk bioskop, sungguh telah menjadi sebuah kemewahan. Hobi saya pada gambar hidup ini baru kembali tersalurkan, ketika saya menjadi kontributor majalah Pantau. Suatu hari, saya menerima segepok uang sangat besar dari Pantau, sebagai honor atas dimuatnya tulisan saya. Dari uang itu, saya belanja tivi dan dvd player. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Jakarta lagi booming dvd bajakan. Jalan Sabang dan WTC Kuningan, adalah dua tempat yang mesti saya kunjungi setiap minggunya.

Ketika kemudian kaki ini menginjak tanah New York, hobi menonton tak juga berkurang. Setiap akhir pekan, saya dan istri punya dua jadwal rutin. Toko buku dan bioskop. Jika film yang kami tonton sangat berkesan, kami akan mengoleksinya dalam bentuk dvd. Minggu ini tak ada film yang cukup menarik untuk ditonton. Tapi tak apa. Kami adalah salah satu pelanggan di dua buah toko penyewaan dvd. Pada Jumat kemarin, kami menyewa tiga film. Saya milih film laga Hollywood. “Behind Enemy Lines II Axis of Evil,” judulnya. Saya pilih film ini, karena sekuel pertamanya telah saya tonton. Sekalian pikir saya.

“Kamu benar-benar mau nonton film itu?” tanya istri saya ketika sedang berjalan ke arah kasir.

Setelah mandi dan makan malam, saya mulai memutar film itu. Istri saya tak ikut, dia tidak berselera dengan film begituan. Dia sedang menunggu gilirannya untuk memutar “Traffic.” Bagi saya, menonton film lebih banyak sebagai pelepas lelah. Tetapi, “Behind Enemy Lines II,” benar-benar membuat saya lelah. Ini film propaganda, saya tahu itu sejak tangan ini menyentuhnya pertama kali. Toh saya juga menikmati “Rambo” atau “The Taylor of Panama.”

“Film bodoh, konyol, bikin tambah capek.”

Istri saya hanya bisa tersenyum. Saya jadinya males nonton “Traffic,” padahal saya ingin menyaksikan aksi dari Benicio del Toro.

Hari sabtu, istri saya mengajak cuci mata di toko buku Borders, yang terletak di 34 Street, salah satu dari area yang disebut sebagai jantungnya kota Manhattan. Baru sekitar enam bulan Borders nongol di sana.

“Aku mau beli ‘American History X’ dan ‘The Illusionist.”

Istri saya ingin mengoleksi dan melihat lagi akting Edward Norton. Di rak kecil kami, si Norton ini udah ada beberapa biji.

“Yuk nonton ‘American History X.’ Aku jamin kamu senang deh. “

Benar juga. Kesebelan yang sangat pada “Behind Enemy Lines II,” mencair. Edward Norton dan jalinan cerita yang disuguhkannya, membuat saya terpaku. Saya baru kembali tertawa lebar, ketika mendadak ada suara “Kembali ke Laptop.”

0 Comments:

Post a Comment



Newer Post Older Post Home