Di kampung saya, desa Boroko, kecamatan Kaidipang, kabupaten Bolaang Mongondow, provinsi Sulawesi Utara (ini kebiasaan kalau nulis alamat surat jaman sekolah dulu), bulan puasa adalah sebenar-benarnya bulan penuh rahmat.
Bagi kami yang masih kanak-kanak, sekira di bawah sepuluh tahun, bulan puasa juga bulan bertabur rejeki. Ibu saya dan nenek saya tercinta, pada bulan puasa ini, setiap hari pasti bikin kue, kolak, atau wajik dari ketan item yang enaknya luuuaaar biasa. Biasanya, ketika lagi masak-memasak itu, saya bersama adik saya pasti menemani keduanya di dapur. Sedikit-sedikit, tangan ini nyolong barang-barang mentah yang ada di sekitar: gula merah (gula jawa atau gula aren), atau susu cap nona.
Saat berbuka puasa, adalah saat paling ditunggu-tunggu. Kami sekeluarga, duduk satu meja. Ayah saya duduknya pasti di kepala meja, dia punya gelas khusus, lebih tepatnya mangkok, hadiah dari istrinya yaitu, ibu saya, hehehehe. Cepat-cepat saya dan adik saya, duduk di meja makan, tujuannya apalagi kalau bukan ngutil. Dan biasanya, kakak perempuan saya yang jadi Polwan.
Buka puasa selalu dimulai dengan proses pembacaan doa. Walaupun duduk di kepala meja, tugas membaca doa dilakukan ibu saya. Sambil memejamkan mata dengan teduh dan hikmat, mulutnya merapal: bismillahhirrahmannirrahim, allahummalakasumtu….. Begitu doa selesai dibaca, saya dan adik saya adalah pejuang garis depan dalam membantai makanan di atas meja. Tentu saja tak bermasalah, karena paling banyak kami hanya makan sedikit.
Ibu saya punya aturan, buka puasa sebaiknya makan yang manis-manis: teh atau kopi, lantas sesendok-dua kolak. Setelah itu cepat-cepat sholat maghrib yang dikomandani bapak saya. Kita baru diperkenankan makan sepuasnya setelah itu, hingga menjelang sholat tarawih.
Sholat tarawih adalah momen kegembiraan yang lain. Kami, anak-anak kecil di kampung nan sunyi itu, menjadikan sholat tarawih sebagai tempat beribadah sekaligus bermain. Biasanya saya sholat di masjid Kuala (Kuala sebenarnya nama sebuah desa, dan hanya ada satu masjid di situ), karena lebih dekat jaraknya dari rumah. Lagi-lagi, bulan puasa memang betul-betul bulan yang meriah, ibarat pasar malam. Di sekitar masjid yang diterangi dua tiga lampu lampu petromax, banyak sekali orang berjualan kacang goreng, kacang rebus, kue-kue basah, pisang, gula-gula (permen), atau rokok. Nah, setiap ke masjid, pasti kami minta uang seperak-dua perak, yang pada saat itu masih bernilai. Satu bungkus kacang goreng seukuran telapak tangan, harganya dua perak.
Di masjid, menjelang sholat isya, tak ada yang istimewa. Begitu mau sholat tarawih, baru momen keceriaan itu muncul. Oh ya, tarawih di masjid ada dua babak. Babak pertama adalah sholat 21 rakaat, setelah itu disusul yang delapat rakaat. Nah, kami pasti ikut yang 21 itu. Ada dua keistimewaan sholat 21 ini, pertama imamnya ketika membaca surat-surat cepatnya minta ampun. Seperti keretalah, tak ada jeda sama sekali. Kebiasaan membaca cepat ini, terutama imam keturunan Arab itu, tak berubah hingga ia meninggal dunia. Momen kedua, adalah saat mengucapkan Amin tiba. Wah, kami berlomba-lomba untuk membaca paling keras, tepatnya berteriak: Aaaamiiiinnn. Asyiknya, tak ada yang marah, lagi khusyuk sih.
Setelah tharawih, permainan lain sudah menunggu: petasan bambu, kami menyebutnya bermain petas-petasan. Sepotong bambu sepanjang dua meter, dengan sebotol minyak tanah, diteman lampu minyak kecil, sungguh menggembirakan. Karena penerangan yang kurang, baru besoknya kelihatan kalau bulu mata sudah banyak berkurang.
Demikianlah kegembiraan itu terus berlanjut hingga menjelang lebaran. Hari raya, begitulah kami menyebutnya. Dua minggu sebelum hari raya, nenek, ibu, dan kakak perempuan saya sudah sibuk di dapur membikin segala macam ragam kue-kue. Lagi-lagi, saya bersama adik saya jadi seksi bikin sibuk, hehehe. Sementara ayah dan kakak lelaki tertua saya, mulai membeli cat dari batu kapur. Halaman rumah mulai dibersihkan, rumpur-rumput kecil mulai dicangkul, demikian juga got-got di depan rumah. Kami berlomba dengan para tetangga untuk mendandani dan membersihkan rumah masing-masing. Seminggu sebelum lebaran, setiap malam kami mulai memajang lampu-lampu botol minyak kecil-kecil di rumah sebagai penerang. Kata ayah saya, ini kewajiban agama.
Tidak itu saja, momen lebaran berarti musim pergantian baju dan sepatu. Ibu saya mulai belanja kain ke pasar, lalu pergi ke tukang jahit. Kebiasaan ibu saya membelikan baju ini, bahkan berlanjut hingga saya kuliah di Manado. Kadang yang dibeli tak sesuai mode, tapi saya sungguh senang memakainya. Kasih ibu sepanjang masa memang, terima kasih mami (teringat Mami, air mata ini meleleh tanpa bisa ditahan).
Begitu lebaran tiba, sholat ied selesai, semua kami pasti tampil dengan baju baru, sepatu baru, rambut baru. Pokoknya semua serba baru. Di masjid, seusai sholat kami segera menunggu-nunggu kebiasaan orang kaya di kampung, untuk melemparkan uang ke tengah-tengah kerumunan anak-anak. Itulah babak pertama perayaan lebaran. Setelah itu dengan berombongan, kami memasuki satu rumah ke rumah lainnya. Biasanya yang pertama kali kami kunjungi adalah keluarga terdekat, setelah itu tetangga sebelah-menyebelah. Salam Alaikum. Minal Aidin Wal Faidzin. Setelah itu duduk manis di ruang tamu, lirik sana lirik sini, menunggu dengan harap-harap cemas hidangan teh atau kopi atau sirup bersama kue-kuenya.
Ya, di kampung saya, lebaran memang betul-betul sebuah pesta kemenangan. Rumah saya baru tutup setelah lewat pukul 12 tengah malam. Apalagi kebiasaan di kampung, berlebaran itu beramai-ramai. Karena ibu saya adalah seorang guru sekolah menengah pertama, maka tamu kami umumnya adalah anak sekolah dan mereka yang sekolah lanjut di kota dan lagi berlibur.
Sesekali, kami merayakan lebaran di rumah oma saya di Gentuma, sebuah desa di pesisir pantai, yang kini merupakan bagian dari provinsi Gorontalo. Di desa ini, lebaran tak seramai di kampung saya. Keluarga besar oma semuanya beragama Kristen Protestan.
Setelah saya lulus SMP dan pindah ke kota untuk sekolah lanjutan atas dan kuliah, kegembiraan merayakan lebaran pelan-pelan menyusut. Tak ada pesta, tak ada kesembiraan. Habis sholat di lapangan terbuka ya sudah, pulang ke kos-kosan. Lebih-lebih ketika di tinggal Jakarta. Kini, di New York, AS, tiba-tiba saya merindukan suasana bulan ramadhan dan lebaran di kampung saya: beribadah dengan penuh kegembiraan.
Mami, papi, kak Is, Ci’Nen, adik U, selamat hari raya iedul Fitri, minal aidin wa faidzin, mohon maaf lahir dan batin.
Labels: Personal